Jika Sumpah atas Nama Tuhan Tak Lagi Mempan
Jika sumpah atas nama Tuhan tak
lagi mempan, maka dengan apalagi manusia-manusia berikrar? Apa jadinya jika tuhan
hanya untuk pajangan-pajangan rumah saja? Apa yang bisa menghalangi manusia
tidak mengingkari aturan Tuhan? Ah kan aturan tuhan mereka jadikan mainan? Tapi
aturan tuhan yang mana? Atau jangan-jangan mereka ingin menjadi tuhan?
“Ah kau ini, apakah dirimu
sendiri sudah bisa mengikuti aturan Tuhan?”
Apakah sebentuk pertanyaan harus
berakhir pada pertanyaan pula? Lalu apa gunanya ada pertanyaan jika tidak ada
jawaban? Apa gunanya mempertanyakan kalau jawabannya adalah mempertanyakan
kembali? Dunia adalah pertanyaan. Manusia yang punya perasaan dan impian tidak
akan tenang hidupnya sebelum mendapat jawaban.
“Sudah sejak lama aturan tuhan
dijadikan mainan, tidak terkecuali mereka yang mengaku dekat dengan Tuhan”
Manusia itu makhluk yang penuh
perhitungan. Bahkan kepada Tuhan pun mereka hitung-hitungan. Apakah Tuhan juga
perhitungan? Darimana kita bisa tahu jawaban dari Tuhan? Apakah kita harus
tidur dulu lalu bangun lalu tidur lagi dan di dalam mimpi tiba-tiba saja Dia
memberikan jawabannya? Atau kita bertanya pada wakil Tuhan setelah lonceng
berdentang tiga kali? Bagaimana jika jawabannya terletak pada semedi yang
panjang? Atau pada lilin-lilin merah yang menyala? Mana yang lebih bisa
menjawab atau yang lebih bisa menjamin sumpah selalu mempan?
Kadang pada saat kesenangan
menghampiri mereka melupakan sumpah, dan di saat kemalangan atas konsekuensinya
mereka kembali bersumpah atas nama Tuhan. Begitukan mereka memperalat tuhan? Hanya
untuk kepentingan pribadi. Sekarang ini tidak juga yang mengaku dekat dengan
Tuhan, nyatanya mereka tetap tidak puas dengan yang Tuhan beri.
“Kau ini, begitu saja heran.”
Semua orang pasti heran. Apa yang
mereka cari? Kedudukan yang tinggi? Sudah. Uang? Sangat lebih dari kata cukup. Lalu
untuk apa lagi? Di tempat lain seorang ibu bahkan menawarkan pilihan akan makan
siang saja atau malam saja pada anak-anaknya. Tinggal dengan terlunta-lunta,
berpindah dari satu kontrakan ke kontrakan yang lain. Bagaimana kalau kita
bicarakan keadilan Tuhan?
“Kau ini semakin ngaco saja. Manusia
tidak akan pernah merasa puas.”
Aku ini tidak paham soal
keadilan. Barangkali kau benar, semua ini soal rasa puas dan tidak puas, atau
mungkin soal bahagia dan tidak bahagia, rasa cukup dan tidak cukup. Bagi kita
bisa makan tiga kali sehari saja itu sudah sebentuk kenikmatan.
“Bahagia datangnya dari hati.”
Mereka melupakan hati, melupakan
hal-hal sederhana, melupakan hidup, melupakan mati, melupakan...
“Jangan lupa untuk bernafas....”
1 Februari 2017
2 komentar
Tulis komentarBeruntungnya meski lupa makan tetap bisa napas.
ReplyKalo lupa napas mati dong mbk :D
Reply-Terima kasih telah berkunjung di blog ini. Silahkan tinggalkan kritik, saran untuk perkembangan.