Bahasa-Bahasa Perempuan
Cerpenhttps://decaires.wordpress.com/2011/07/03/perempuan-itu/ |
Malam
adalah kamu. Malam yang dengan bulan, tapi bukan bulan biasa, yang lebih dari
tujuh puluh tahun muncul sekali, sebab kamu muncul sekali setelah bumi merubah
energi mulia menjadi kamu. Kamu yang dari air, dari binatang, lalu kamu.
Seperti
saat bulan menjelma menjadi matahari pukul tujuh belas, kamu bertanya tentang
sebab-musababnya, lalu kujawab dia hanya ingin melihatmu lebih dekat, sebab
malam itu serupa malam seribu bulan. Tapi itu bukan yang kutuju, maka aku
mengafirmasi. Bahwa dirimu serupa bulan yang menjelma matahari pukul tujuh
belas, yang berwarna biru, yang diteman rasi bintang sqorpio.
“Tapi
kenapa?” tanyamu.
Itu
adalah bahasamu, bukan seperti bahasa-bahasa perempuan biasa. Sebab mereka
terbiasa menonton sinetron dengan alur sangat manis tapi pahit, membaca novel
romance tapi bohong, membeli karcis bioskop pada malam minggu yang fana. Kamu
selalu tidak peduli pada asas feminisme, kemanja-manjaan, atau pada lipstik
merah, bedak tahan air, alis sempurna, pipi yang seperti babi baru lahir.
Tentu
saja, sejak Ayahmu berperan sebagai pedofil, hidupmu serupa boneka pemuas kemaluan
pria, “tetapi bahkan dia tidak punya malu?” katamu. Aku tergelak. Mungkin kamu
mau bilang ini adalah ironi yang tragis sekaligus bengis. Disebut apakah
kemaluan jika malu telah dibakar habis oleh kebanalan?
Dia
tidak punya malu, bahkan arwah-arwah takut padanya. Bagaimana mungkin rasa
takut ada dalam ujung hidungnya? Kamu pernah meminjam buku yang berjudul
Hari-hari Terakhir Socrates, lalu berpusing kedalamnya. Lalu selepas itu
bahasamu lebih tidak seperti bahasa-bahasa perempuan biasa. Kamu berceloteh
tentang kesucian. Pada akhirnya meluncur dari bibir mungilmu.
“Apa
aku masih suci?” Bertanya pada bayang-bayangmu yang hitam, mengikuti tiap inci
tubuhmu.
Bahkan
kamu lebih suci dari orang-orang yang mengaku suci, dari orang berkostum agama
yang mengkomersilkannya, dari orang yang kehilangan imajinasinya. Sesuci cahaya
embun pada bougenvil saat dramatis kita bertemu. Kamu tidak takut padaku. Tidak
terlintas di benakmu bahwa mungkin saja kamu lepas dari lubang buaya satu dan
terjerembab di lubang komodo. Aku baru saja kehilangan istri dan anak-anakku
Aku bercerita padamu bahwa bagiku
kehilangan istri tidak membuatku bersedih, justru ada hawa kelegaan yang
mengalir dalam lubang di hatiku. Dua anakku turut menjadi korban kebengisan.
Aku menemukan mereka saat aku pulang dari luar kota untuk membeli keperluan
tokoku, istriku sudah kaku dalam keadaan telanjang, kedua anakku yang berusia
tujuh dan dua tahun mati ketakutan, mata mereka menonjol hampir keluar.
Mendadak darahku membeku, dan aku tidak mengingat apapun kecuali saat aku
terbangun, aku sudah berada di rumah sakit.
Sesaat setelah sadar, kutatap
langit-langit rumah sakit yang putih, lalu tiba-tiba hawa kehilangan
menggerayangi tubuhku. Setetes butiran bening jatuh begitu saja dari sudut mataku.
Ingatanku kembali saat perjumpaan awal kita yang tidak romantis, yang membawa
luka dari lingkaran nasib yang bengis.
Di jembatan perbatasan antara kotamu
dan kotaku, yang kini telah bertransformasi lebih modern dan berkelas. Kamu
berdiri di salah satu sisi jembatan, memandang laut lepas. Ada kebekuan waktu
yang membuatku sejenak melupakan masalahku. Masih kuingat dengan jelas kamu mengenakan
dress berwarna gading dengan cardigan merah.
#Tantangankelasfiksi4
7 komentar
Tulis komentar8
Replywaww kereen ..
Replyntapsss...
ReplyUwoooww kereen masyaallah...
ReplyDiksinyaa, Mba Ineett...mewah tumpah-tumpah😍😍
Uwoooww kereen masyaallah...
ReplyDiksinyaa, Mba Ineett...mewah tumpah-tumpah😍😍
Terhanyut....
Reply😭😭😭
Makasih semuaa.... hehe
Reply-Terima kasih telah berkunjung di blog ini. Silahkan tinggalkan kritik, saran untuk perkembangan.