Shopie Agape Razaq
Cerpenhttp://www.yeoner.com/p/68146.html |
Namaku Shopie Agape Razaq. Nama itu bukan nama sembarangan,
kedua orang tuaku telah berkhalwat di kamar mereka selama setengah jam untuk
akhirnya memutuskan nama tersebut. Sambil sesekali aku memengaruhi pikiran mereka
dengan cara menangis saat nama yang cukup aneh terpikirkan untuk diberikan
kepadaku.
Mereka sempat berpikir untuk menamaiku Plati. Diambil dari
nama Plato, filsuf besar yang berasal dari Yunani. Mereka berpikir kalau
akhiran i itu untuk nama perempuan. Dalam bahasa arab, anti yang berarti
kamu untuk perempuan, dan dalam nama-nama pewayangan, huruf i pun biasa untuk
nama anak perempuan, seperti Drupadi yang diambil dari nama ayahnya, Drupada,
Madri yang berayah Madra.
Ah, itulah pikiran ngawur Ayahku. Untungnya Mama tidak
menyetujuinya. Mama kemudian mengusulkan
untuk menamaiku Shopie, dan aku setuju dengan cara menyungingkan senyumku.
Shopie itu artikan saja Filsafat. Mereka penggemar berat filsafat. Tetapi aku
justru tidak terlalu suka. Memusingkan.
Sambungan namaku selanjutnya adalah Agape, kita artikan saja
Cinta. Katanya aku ini melambangkan cinta mereka yang suci, dan Razaq itu nama
Ayahku, biar keren aja kek orang-orang.
Itulah sedikit sejarah namaku. Tentang aku sendiri, kini aku
sedang menyuruh sahabatku untuk menuliskan ini, masalahnya biar aku tidak lupa
bagaimana caraku pertama kali bertemu dengannya. Aduh aku malu mengatakannya.
Bertemu dia. Dia itu seorang cowo yang menggemaskan.
Baiklah, waktu itu sedang MOS SMA. Tidak ada yang perlu
dikhawatirkan, sebab aku telah mempersiapkan segalanya dengan sangat teliti,
bahkan aku sampai di sekolah bertepatan Pak Satpam membuka gerbang, aku yang
pertama, yes. Tapi cowo yang kumaksud bukan Pak Satpam ya?
Aku berjalan masuk setelah basa-basi menyapa Pak Satpam,
tidak lama aku berjalan ada yang menyuruhku berenti. Kukira aku yang pertama,
ternyata bukan. Ah!
“Stop!!!” katanya. Di depanku ada cowo, kira-kira lima meter
jarakku dengannya, dia berpakaian dengan gaya sepertiku, gaya peserta MOS.
Aku melihatnya, dengan tatapan tanda tanya.
“Kamu hanya boleh menginjak warna merah.”
“Kenapa?”
“Sudah tradisi.”
“Tradisi?”
“Iya, cepatlah, lewati dengan hanya menginjak warna merah.”
Aspal itu diwarnai selang-seling. Merah di pinggir kanan,
lalu dibaris selanjutnya di tengah, dan dibaris selanjutnya di pinggir kiri, dan
selanjutnya tidak beraturan. Benar-benar merepotkan, tradisi macam apa itu?
Aku berjalan dengan hati-hati agar hanya menginjak warna
merah dan menjaga keseimbangan tubuhku. Mirip permainan waktu kecil, jika
didaerahku namanya jengklean. Panjang aspal yang diwarnai warna-warni
itu sekitar empat meter.
“Hahaha, selamat...”
“Selamat apa?”
“Ternyata kamu bisa menari juga, Shopie.”
“Menari?”
“Ya, tadi aku mengajarimu menari.”
“Katamu tradisi?”
“Menari tradisi bukan?”
“Iya sih.”
“Yasudah.”
“Omong-omong namamu bagus, Shopie Agape Razaq.” Katanya,
sambil tertawa kecil dan meninggalkanku termangu merasa dikibuli. Sial! Aku
melihat peserta MOS lain mulai bermunculan, dan berjalan biasa saja melewati
aspal berwarna-warni.
Sampai di sini dulu ya ceritanya, sahabatku yang menuliskan ini
sudah ngantuk katannya. Perlu kuperkenalkan namanya tidak? Tapi dia bilang
takut terkenal, jadi lain kali saja. Ini episode pertemuan pertama. Cieee haha...
ohya, dia tahu namaku karena membaca name tage yang segede laptop. Sial! Dia tidak
memakai name tage sepertiku. Aku jadi tidak tahu siapa dia.
NB: Terinspirasi dari gaya menulis Ayah Pidi Baiq, karena
baru tiga hari yang lalu baca novelnya, dan terinspirasi dari Mr. Jostein
Gaarder. Aduh, aku bingung tugasnya, jadi begini aja deh. Oke yah?
#TugasFiksi6
-Terima kasih telah berkunjung di blog ini. Silahkan tinggalkan kritik, saran untuk perkembangan.