Dua Nuansa
Puisi
Absurditas: Khikmah Al-Maula
Ini adalah penjelasanku atas apa yang telah tertulis.
Kisahku. Jika kau bisa mengambil keuntungan dari kerugian akan keuntunganku,
biarkan kita berbagi suatu kepahitan.
Jangan menuduhku. Aku memang miskin kata-kata, kalimatku
compang-camping. Bahkan aku rela memungut tiap kata yang tercecer pada bekas
makananmu.
Aku takut. Bukan karena akan ada yang merasa. Ini bukan soal
satire. Hanya saja hatiku terlalu berat untuk menyimpannya.
Sudah terlalu banyak korban. Lebih banyak dari yang
terbayang. Aku adalah bagian dari mereka. Mungkin kalian juga, dan dia.
Setelah sumpah dengan kepongahannya memaksa untuk patuh. Dan
masing-masing tahu aku mendua. Aku terpaksa meminjam tembok setiap tatapan
sinis dingin menyentuhku, sehingga malu pun beku melihat dua bilik bertetangga.
Seberapa imbang aku adil, senyap lagi-lagi menertawakanku.
Mereka tidak bisa melihatmu, buta. Bukan, sengaja membutakan diri, katanya.
Salah satu dari mereka menampakkan arogansinya. Ini yang
kukatakan menafikan warna pelangi. Aku tidak bisa menerimanya. Cukup. Mata
sinisnya kini sudah bisa kutenggelamkan. Aku sang penantang, angkuh meminjam
mata sinismu.
Kini aku sang penantang. Aku mendamba pada kemajemukan
warna. Begitu cara hatiku memilah, aku dan kata adalah satu.
Terbebas dan terpenjara sama saja akan menuntun pada
penderitaan. Lalu mereka menjelma menjadi pengetahuan sejati.
Aku telah memilih, aku bagian darimu. Wahai Pers...
-Terima kasih telah berkunjung di blog ini. Silahkan tinggalkan kritik, saran untuk perkembangan.