Saat Waktu Hanya Ilusi
Cerpenhttp://resepmasakanmaut.blogspot.co.id/2016/09/resep-cara-membuat-tempe-mendoan-khas-super-enak-lezat.html |
Oleh: Inet Bean
Saat waktu
hanya ilusi ketika kita duduk di bawah kejinggaan cahaya mentari, menyerupai
lensa yang memotret sebagian tubuh dari arah timur. Sementara deburan ombak
seumpama penambah kesyahduan penghapus waktu.
Masih ada
satu-dua penjual es kelapa muda, gorengan, mie ayam hingga bakso yang belum
menunjukkan tanda-tanda bergeming. Demi melihat raut kelelahan seorang kakek
yang setia menunggu pembeli, kau mengajakku ke sana.
Kita berjalan
bersisihan, kau memegang tanganku, mengisi di antara jari-jariku, erat. Seakan
kau bilang ‘aku akan terus menggenggam tanganmu, sampai kapanpun.’
Lagi pula kita sudah tahu masalah pada diri kita
masing-masing. Penyebab kau pergi dan kenapa aku membiarkanmu pergi begitu
saja. Tetapi itu hanya casing luar saja, di belakang itu kita tak kuasa menahan
sepi yang sesak.
“Mbah, taseh
enten mendoane?” Kau memikirkan mungkin saja kakek itu akan lebih fasih
berbahasa Jawa.
“Nggeh, niki
taseh,” jawab kakek, tersenyum ramah, tampak guratan-guratan yang seakan berbicara
bahwa tiap guratan mewakili tiap zaman. “Sekedap, tak goreng riyen nggeh?”
“Nggeh,
Mbah...” Kita membalas senyuman ramahnya
Dari
percakapan antara kau dan kakek, aku mengetahui. Namanya Suryadi, biasanya
dipanggil Mbah Di. Dulu ia berjualan bersama istrinya, namun sejak dua tahun
lalu Mbah Di berjualan sendiri lantaran istrinya meninggal, sementara anak
satu-satunya telah menikah dan merantau bersama suaminya di Ibu Kota.
Kau dan Mbah
Di sudah tampak akrab walau baru bertemu, seakan kawan lama yang baru berjumpa.
Sementara itu aku hanya menyimak, sesekali ikut tersenyum saat keduanya
tertawa, memerhatikan jemari Mbah Di yang begitu cekatan membuat mendoan.
Mbah Di menenggelamkan tempe kira-kira berukuran lima
kali lima sentimeter ke wadah berisi adonan dari tepung, daun bawang, garam,
dan rempah-rempah lainnya. Dan mengangkatnya untuk kemudian di tenggelamkan
dalam minyak goreng panas di wajan.
Tidak perlu
menunggu lama, mendoan dan teh panas sudah tersaji di hadapan kita. Karena mendoan memang tidak perlu sampai kering, seakan setengah matang.
“Kau tahu?
dulu, Ibuku berasal dari Kota Mendoan,” Kau mengambil satu mendoan yang masih
menguarkan kepul asap. ”Kenapa ya? Aku seperti tidak asing dengan Mbah Di? Apakah
karena keramahannya atau jangan-jangan dia kakekku?”
Aku tersedak, sementara itu Mbah Di hanya tersenyum ramah seperti tadi, entah dia mendengar pertanyaanmu atau tidak.
#TantanganCerpenKuliner
24 November 2016
4 komentar
Tulis komentareh, mendoang tuh bahasa mana sih net? di solo kita nyebutnya mendoan, ga pake "g".
ReplyPekalongan sih, tapi mungkin kupingku aja yang agak soak, ahahaha
Replymendoan enak di makan hangat2 pa lagi saat cuaca dingin, uhmmm..yummyyyy
Replymendoan enak di makan hangat2 pa lagi saat cuaca dingin, uhmmm..yummyyyy
Reply-Terima kasih telah berkunjung di blog ini. Silahkan tinggalkan kritik, saran untuk perkembangan.