Kepuasan antara jadi Objek Foto dan Fotografer
Artikelhttp://tipsfotografi.net/fotografer-harus-punya-flare.html |
Di jaman
sekarang, swafoto atau selfie sepertinya sudah menjadi kewajiban ketika ada
acara tertentu atau sedang ada moment yang berkesan, bahkan adapula yang
menjadikan swafoto sebagai obat, tiga kali sehari. Jika tidak swafoto dalam
sehari, terasa ada yang salah dalam hidupnya.
Tetapi yang
miris, sekarang swafoto tidak dilakukan ketika sedang bahagia saja, beberapa
pernah kujumpai, abg yang swafoto saat dia sedang menangis, lalu diposting
dengan caption tentang putus cinta yang memilukan, jujur saja postingan seperti
itu membuat mataku pedih, dan buru-buru ingin mengenyahkannya dari beranda
facebook-ku jika saja bisa.
Jadi,
secara tidak langsung, swafoto dilakukan demi kepuasan hati, mereka
melakukannya untuk mengungkapkan apa yang dirasakan, termasuk kepiluan hati dan
disebarkan di media sosial. Hal itu bisa jadi adalah suatu bahaya psikologi.
Seperti pemuda
Inggris yang depresi akibat sering berswafoto. Ia terobsesi untuk terlihat
fotogenic, bahkan dalam sepuluh jam sudah 200 foto yang dia ambil, akibat dari
tidak terpenuhi keinginannya, dia ingin mengakhiri hidupnya.
Beberapa bahaya
psikologi dari hobi swafoto yang perlu diwaspadai yaitu gangguan penyakit
mental, krisis kepercayaan diri, kepribadian narsis dan kecanduan. bahkan psikiater
pemerintah Thailand telah mengimbau kepada pemuda-pemudinya agar tidak
melakukan swafoto, karena bertambahnya pemuda galau yang membuat jumlah calon
pemimpin generasi baru berkurang.
So,
kurangilah berswafoto. Sebelum kecanduan hai pembaca blog lemping pena.
Lantas
bagaimana soal kepuasan menjadi fotografer? Ah ini akan ku-share berdasarkan
pengalaman pribadi saja, karena jujur saja aku lebih suka mengambil foto dari
pada diambil foto. Aku sadar diri, aku ini tidak fotogenic, aku selalu pede
dengan bilang kenyataannya lebih bagus daripada fotoku yang diambil tapi
dalam hati bilangnya, heuheu.
Makanya aku
lebih suka mengambil foto saja, tak jarang di beberapa acara, aku mendadak jadi
fotografer, entah karena orang lebih berminat di foto, sehingga jika menjadi
fotografer otomatis tidak difoto, atau karena memang aku yang bisa
mengoperasikan kamera LDR, eh DSLR maksudku, padahal jujur saja aku tidak
terlalu bisa mengerti pengaturannya, tapi setidaknya aku lumayan berwawasan
soal mengambil angle, atau sukarela saja jadi fotografer, toh aku suka.
Saat
mengambil foto, dan itu bagus, seperti ada kepuasan tersendiri, seperti
mengabadikan moment istimewa, seperti menghasilkan seni yang estetik. Apasih? Aku
bicara apa coba? Pahamkah? Untuk memahami, kamu coba saja sesekali jadi
fotografer, ingat, tangkap moment istimewa, biasanya foto yang seakan bisa
berbicara.
11 September 2017. Catatan Inet
Bean.
referensi: http://doktersehat.com/hobi-selfie-waspadai-bahaya-psikologi-ini/
6 komentar
Tulis komentarHhaaa... ajarin LDR an net eh pake DSLR maksudnya 😂😂
ReplyTerkadang foto bisa mewakili kata-kata. Keren, Inet :)
ReplyKeduanya bisa tak share mbak Cian... wkwkwk
ReplyMakasih, foto jurnalistik namanya, Bun, hehe
Replyhahaha kalau aku fotoin orang sengaja di blur-in biar gak di suruh motoin lagi wkwkwk
ReplyWah cerdik sekali Kaka, macam kancil, wkwkwk
Reply-Terima kasih telah berkunjung di blog ini. Silahkan tinggalkan kritik, saran untuk perkembangan.