Rabu, 26 April 2017

Ilmuan Lukisan



“Kamu tahu kenapa banyak orang menyukai seni?”

“Kenapa?”

“Sebagian karena hanya menyukai seni, sebagiannya lagi karena mereka penghasil seni.”

“Maksudnya?”

“Di dunia ini, ada orang yang bertugas menjadi pembuat seni, sisanya adalah orang yang hanya menjadi penikmat, tanpa bisa membuat.”

“Yang ke dua seperti kita?”

Aku tertawa, “Kali ini mungkin iya.”

            Suasana Pasar Seni di waktu matahari hampir meninggi tidaklah ramai, hanya satu dua orang yang kebetulan luang, lalu berpikir untuk datang dan melihat-lihat dan berselfie, tidak terlalu berbeda dengan tujuan kita ke sini.

            Baiklah, tidak ada penjaga tiket, dan gerbang terbuka. Mungkin mereka mempersilakan masuk tanpa membeli tiket. Jadi, sebelum mereka berganti pikiran, sebaiknya kami masuk saja tanpa tiket, alias gratis. Tapi catat, ini bukan upaya kami untuk tidak menghargai seni, menghargai seni bisa dengan cara yang lain kan? Dengan mengagumi sepenuh hati contohnya, jangan katakan ini alibi, oke?

            Kita melanjutkan melewati pintu gedung. Sudah kukatakan tidak ramai, hanya ada dua perempuan muda seumuran kita yang sedang merentangkan tongkat selfienya membelakangi lukisan. Lalu aku dan temanku pura-pura menjadi penikmat lukisan ulung dengan tidak segera selfie, kami memerhatikan lukisan dengan sungguh-sungguh (yang ini tidak pura-pura) dan sesekali mengomentari lukisannya, seolah kami adalah ilmuan lukisan.

“Mana ada ilmuan lukisan? Biasanya ilmuan itu bergerak di bidang sains.”

“Tentu saja ada, tahu tidak? Lukisan Monalisa?”

“Tahu dong....”

“Yaudah, bagus kalau tahu.”

“Begitu doang?”

“Kalau iya?” Aku tertawa. Sementara raut muka temanku jengkel.

“Baiklah, sedikit kujelaskan. Anggap saja yang bicara ini adalah ilmuan lukisan,” Air mukanya semakin makin muntah. “Jadi, lukisan Monalisa itu sampai sekarang masih misterius, sebenarnya perempuan yang dilukis oleh Leonardo Davinci itu siapa? Nah, banyak yang berspekulasi, atau anggap saja berhipotesis. Mereka layak lah disebut ilmuan lukisan. Lukisan-lukisan terdahulu itu mengandung pesan-pesan tertentu, dan studinya tidak mudah untuk menangkap pesan apa yang terkandung dalam lukisan. Tahu film The Davinci Code?”

“Iya tahu, kenapa?”

“Tidak apa-apa, nanya aja.” Aku tersenyum manis, yang segera disambut cubitan dari temanku.

            Sekarang di depan kami terpajang lukisan seorang perempuan berkebaya yang sedang membatik menggunakan canting. Warnanya tidak mencolok, coklat dengan ornamen seperti lilin untuk membuat batik. Matanya terlihat sendu, tetapi damai.  Sementara itu di sudut lain dua perempuan masih asik berselfie.

            Lalu pandangan kami beralih ke lukisan perempuan berkerudung bendera Amerika yang berjudul Islamopobia. Dua perempuan yang berselfie mengakhiri sesi selfie di ruang ini, dan bergegas menuju ruang sebelah. Itu berarti tinggal aku dan temanku. Maka kami bebas untuk mengambil foto. Lagipula kenapa juga kami menunggu mereka pergi untuk mengambil foto? Entahlah.


            Di sudut lain ada lukisan bocah yang tengah belajar, berlatar jaman dahulu, karena dia ditemani lampu templok. Baiklah kali ini aku bisa mengambil fotoku bersama lukisan. Berjarak beberapa lukisan, ada lukisan Sang Proklamator, Bung Karno yang tengah duduk.



            Setelah semua lukisan kami lihat, kami bergegas ke ruang sebelah. Lalu tersuguh lukisan para tokoh, seperti KH. Hasyim Asy’ari, Abdurrahman Wahid, Gus Muh, ada juga beberapa artis dan lain-lain.



            Puas mengelilingi tiap inci gedung, kami keluar dengan rasa penuntasan terhadap rasa penasaran.  Tetapi sepertinya ada yang berbeda. Apa ya?

“Loh, ada penjaga tiketnya, Net!”

“Eh, iya ada.”

“Terus gimana nih?”

“Gak gimana-gimana, ya tinggal keluar, yok....”


Dan kamipun keluar dengan selamat. :D

Inet Bean
26 April 2017