Ilmuan Lukisan
Kisahku
“Kamu tahu
kenapa banyak orang menyukai seni?”
“Kenapa?”
“Sebagian
karena hanya menyukai seni, sebagiannya lagi karena mereka penghasil seni.”
“Maksudnya?”
“Di dunia
ini, ada orang yang bertugas menjadi pembuat seni, sisanya adalah orang yang
hanya menjadi penikmat, tanpa bisa membuat.”
“Yang ke dua
seperti kita?”
Aku tertawa,
“Kali ini mungkin iya.”
Suasana Pasar Seni di waktu matahari
hampir meninggi tidaklah ramai, hanya satu dua orang yang kebetulan luang, lalu
berpikir untuk datang dan melihat-lihat dan berselfie, tidak terlalu berbeda
dengan tujuan kita ke sini.
Baiklah, tidak ada penjaga tiket,
dan gerbang terbuka. Mungkin mereka mempersilakan masuk tanpa membeli tiket. Jadi,
sebelum mereka berganti pikiran, sebaiknya kami masuk saja tanpa tiket, alias
gratis. Tapi catat, ini bukan upaya kami untuk tidak menghargai seni,
menghargai seni bisa dengan cara yang lain kan? Dengan mengagumi sepenuh hati
contohnya, jangan katakan ini alibi, oke?
Kita melanjutkan melewati pintu
gedung. Sudah kukatakan tidak ramai, hanya ada dua perempuan muda seumuran kita
yang sedang merentangkan tongkat selfienya membelakangi lukisan. Lalu aku dan
temanku pura-pura menjadi penikmat lukisan ulung dengan tidak segera selfie, kami
memerhatikan lukisan dengan sungguh-sungguh (yang ini tidak pura-pura) dan
sesekali mengomentari lukisannya, seolah kami adalah ilmuan lukisan.
“Mana ada
ilmuan lukisan? Biasanya ilmuan itu bergerak di bidang sains.”
“Tentu saja
ada, tahu tidak? Lukisan Monalisa?”
“Tahu
dong....”
“Yaudah,
bagus kalau tahu.”
“Begitu
doang?”
“Kalau iya?”
Aku tertawa. Sementara raut muka temanku jengkel.
“Baiklah,
sedikit kujelaskan. Anggap saja yang bicara ini adalah ilmuan lukisan,” Air
mukanya semakin makin muntah. “Jadi, lukisan Monalisa itu sampai sekarang masih
misterius, sebenarnya perempuan yang dilukis oleh Leonardo Davinci itu siapa?
Nah, banyak yang berspekulasi, atau anggap saja berhipotesis. Mereka layak lah
disebut ilmuan lukisan. Lukisan-lukisan terdahulu itu mengandung pesan-pesan
tertentu, dan studinya tidak mudah untuk menangkap pesan apa yang terkandung
dalam lukisan. Tahu film The Davinci Code?”
“Iya tahu,
kenapa?”
“Tidak
apa-apa, nanya aja.” Aku tersenyum manis, yang segera disambut cubitan dari
temanku.
Sekarang di depan kami terpajang
lukisan seorang perempuan berkebaya yang sedang membatik menggunakan canting. Warnanya
tidak mencolok, coklat dengan ornamen seperti lilin untuk membuat batik. Matanya
terlihat sendu, tetapi damai. Sementara itu
di sudut lain dua perempuan masih asik berselfie.
Lalu pandangan kami beralih ke
lukisan perempuan berkerudung bendera Amerika yang berjudul Islamopobia. Dua
perempuan yang berselfie mengakhiri sesi selfie di ruang ini, dan bergegas
menuju ruang sebelah. Itu berarti tinggal aku dan temanku. Maka kami bebas
untuk mengambil foto. Lagipula kenapa juga kami menunggu mereka pergi untuk
mengambil foto? Entahlah.
Di sudut lain ada lukisan bocah yang
tengah belajar, berlatar jaman dahulu, karena dia ditemani lampu templok. Baiklah
kali ini aku bisa mengambil fotoku bersama lukisan. Berjarak beberapa lukisan,
ada lukisan Sang Proklamator, Bung Karno yang tengah duduk.
Setelah semua lukisan kami lihat,
kami bergegas ke ruang sebelah. Lalu tersuguh lukisan para tokoh, seperti KH.
Hasyim Asy’ari, Abdurrahman Wahid, Gus Muh, ada juga beberapa artis dan
lain-lain.
Puas mengelilingi tiap inci gedung,
kami keluar dengan rasa penuntasan terhadap rasa penasaran. Tetapi sepertinya ada yang berbeda. Apa ya?
“Loh, ada
penjaga tiketnya, Net!”
“Eh, iya
ada.”
“Terus
gimana nih?”
“Gak
gimana-gimana, ya tinggal keluar, yok....”
Dan kamipun
keluar dengan selamat. :D
Inet Bean
26 April 2017