Selasa, 31 Januari 2017

Sesuatu Tentang Mbak Wie


Ketika aku disuruh menulis sesuatu tentang Mbak Wie (panggilan khusus dari Jawa, karena gadis itu berdarah blasteran Jogja-Medan, ini rahasia, jangan bilang siapa-siapa) sesuatu yang aku ingat adalah redaksi ucapannya yang ini, “Mantan calon gebetan”

Walau kelihatannya seperti anak polos yang riang dan lincah, dia sebenernya banyak pengetahuan tentang gebetan loh. Bahkan aku tahu arti gebetan darinya. Penasaran apa kata arti gebetan menurutnya? Tanya aja sendiri. Karena di sini bukan mau membicarakan tentang gebetan, lebih urgen dari itu, yaitu tentang gebetan Mbak Wie.

Ralat. Gebetannya diilangin ya, alias tentang Mbak Wie. Oke oke, jadi menurutku Mbak Wie itu sosok yang bikin iri. Siapa yang nggak iri coba kalau tiap hari kerjaannya posting fotonya di tempat-tempat yang instagram banget. Udah gitu bukunya banyak, uangnya banyak (keknya sih iya), pulsanya banyak, temennya banyak, yang enggak banyak Cuma satu, orangnya. (krik krik...)

Selain bikin iri, dia juga unik. Mungkin dari beribu gadis Medan, hanya dia yang suka nelpon tanpa ada kepentingan berarti. Gila, jadi semua anggota grub ODOP udah pernah ditelponin satu-satu. Termasuk aku.

Awalnya sih dalem hati ini orang ngapain ya tiba-tiba nelpon? Obrolannya pun dari yang enggak penting sampai enggak penting banget. Nah itu dia yang bikin iri selanjutnya, pinter membuat obrolan. Dari mulai pizza sampai pepes pindang.

Apalagi ya? udah lama sih aku enggak chat-chatan sama dia. Uuh jadi kangen, kangen ngeliat ponakan gantengnya, eh apasih? Mbak Wie,masih jomblo nggak ponakannya? Boleh dong dikenalin? Dia masih jomblo kan? Siapa tahu aku dan dia bisa bersatu bikin biro perserikaran jomblo-jomblo se-Mancanegara.

Terlepas dari itu semua, dia punya banyak kebaikan yang dipancarkannya. Dari kebaikan yang biasa-biasa aja sampai kebaikan yang luar biasa. Dia adalah anak dan kakak yang diidam-idamkan banyak orang tua dan adik. Sosoknya yang mandiri, pantang menyerah dan progresif juga menjadi inspirasi tersendiri bagiku.

Oke deh, itu aja ya Mbak Wie dari yang membekas di hatiku (eaaak). Pesan Inet, tetaplah menjadi diri sendiri dimana pun, gak usahlah berubah jadi power rangers. Terus jangan begadang mulu, sayang tuh tubuh butuh istirahat. Dan capatlah enyahkan status jomblomu itu dengan Ijab SAH. Sukses ya Mbak Wie... lope you... (Aku masih normal kok, lope sebagai sesama saudara seiman sebangsa dan setanah air)

31 Januari 2017

Jomblonesia

http://beritafox.blogspot.co.id/2014/04/tipe-jomblo-di-dunia-nyata.html
Bayangkan! Dalam dua hari ini, ada tiga orang yang menghina-dinaku atas nama status jombloku. Jangan-jangan mereka berkonspirasi agar aku menuliskan sesuatu tentang jomblo? Atau alam mengingatkan statusku yang jomblo agar tidak terlalu sering menonton film romance? Yang paling masuk akal adalah karena aku merasa tersindir. Sedikit.

Yang paling aneh, coba renungkan, yang aneh aku atau Emakku. Liburan ini saking bosennya Emak lihat aku tiap hari di rumah. Akhirnya dia bilang, “Kamu liburan nggak keluar? Misalnya sama pacar?”

“Enggak punya pacar,” jawabku.

“Ya cari lah”

“Cari di mana?”

“Di pesbuk, cari pacar sekarang mah gampang, kalo dulu susah.”

Di sini aku merasa waktu seketika berhenti. Beku. Nih Emak, anaknya duduk manis di rumah, malah disuruh pergi, ntar giliran mau pergi diprotes. Kadang menjadi anak itu sesulit ini. Mencoba patuh dan durhaka akan menjadi seperti berjalan di atas lapisan es di laut ketika musim semi akan tiba. Harus hati-hati melangkah, salah sedikit akan tenggelam.

Oke kembali ke jomblo. Secara harfiah, jomblo itu ya single, jadi gak usah merasa lebih keren deh dengan menyebut diri single. Pada hakikatnya sama aja, enggak punya pasangan.  Tapi kalau ngomongi soal jomblo, jadi ingat di suatu hari....

“Net kamu tuh dari lahir udah jomblo terus sekarang pun kok masih jomblo-jomblo aja sih?”

“Lihat sekeliling kita? Sejauh mata memandang sekolahan ini, sejenis dengan kita. Gimana bisa terjadi reaksi tarik menarik kalau semuanya bermuatan positif? Nih kalau diumpamakan batu baterai, jadi blunder, enggak bisa nyala kalau buat nyalain lampu.”

“Net, aku itu ngomongin jomblo, bukan batu baterai. Ingat, kita ini berada di jurusan IPS. Undang-undang di jurusan IPS, dilarang membuat ujaran yang bermuatan IPA!”

“Okey okey... maaf, terkadang otak Einsteinku keluar dengan begitu aja, masih liar, maklum lah, belum dijinakkan.”

“Sekali lagi kamu ngomong mengeluarkan ujaran bermuatan IPA....”

“Stop. Jadi begini, aku akan menjelaskan tentang jomblonesia dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Bahwasanya kemerdekaan ialah hak segala jomblo. Melihat ketimpangan sosial yang terjadi di sekolah kita ini, tidak memungkinkan untuk dilakukannya mobilitas sosial yang menjurus kepada interaksi asmara. Melihat rakyat sekolah kita yang homogen. Lihatlah, kita terbentur oleh tembok yang melebihi tembok Berlin di China...”

“Jepang, Net!”

“China!”

“Jepang!”

“China!”

Okay, cukup flashbacknya. Pada akhirnya mereka asik berantem dan obrolan itu melupakan tujuan awalnya, yaitu jomblo. Obrolan itu mirip dengan dua hari ini yang menimpaku. Persamaannya kalo mereka bertengkar ngotot tembok Berlin ada di China atau Jepang, padahal kan mudah, Tembok Berlin ya ada di Berlin, iya kan? Dan kalo obrolan dua hari tentang jomblo, kita sama-sama jomblo dan sama-sama saling hina.

(Sebenernya persamaannya di mana Net?)

Sebenernya sih, aku juga ragu apa yang aku katakan. Piss.... ☺

Inet Bean
31 Januari 2017

Minggu, 29 Januari 2017

ADA DI SANA (Menjadi Terbodoh)

https://inadwiana.wordpress.com/page/8/

Tidak ada tempat yang paling strategis untuk bersembunyi selain di cabang pohon kersen setinggi enam meter. Dalam keadaan biasa, Ia bisa menghabiskan buah berwarna merah merona itu seperti gemintang yang dilahab gugusan awan mendung. ‘Bersembunyi, kenapa aku harus bersembunyi dari keluargaku sendiri?’ ucap batinnya, lalu tertawa yang lebih terdengar seperti menyeringai.

Di titik ini, adalah suatu kematian bagi dirinya sekaligus kelahiran yang baru. Sambil menengadahkan wajahnya ke langit, ia bertekad, tidak ada yang bisa menghalanginya, dalam desahan yang panjang, ada janji yang terpahat.

“Udah kuduga kamu di sini, turun woy... dicari Zombi tuh, orangtua seluruh negeri ini juga nyari kamu!”

Bagas malas menanggapi, ia menyesali satu hal. Satu-satunya yang tahu tempat persembunyiannya adalah Danis, sepupu yang merangkap jadi sahabatnya.

“Aku gak mau ketemu Zombi lagi!” teriak Bagas.

“Biar gimana pun dia orangtuamu.”

“Zombi gak akan bisa jadi orangtua!”

“Tapi dia bukan Zombi beneran.”

“Bahkan Zombi beneran gak sekejam dia.”

“Terserah lah!”

Hening. Mereka larut dalam pikiran masing-masing. Danis terduduk di bawah pohon kersen, mata Bagas melirik ke bawah. Sementara itu bulan mulai menggeser matahari. Seperti tergesernya ego mereka kemudian.

“Aku....” ucap mereka bersamaan.

“Kamu dulu aja,” kejar Bagas.

“Kamu aja, Gas.”

Bagas turun, duduk beralaskan daun-daun kering di sebelah Danis. Ia mendesah pelan, “Maaf,” ucapnya, “Ada berita apa aja?”

Danis meninju pelan lengan Bagas, tersenyum, “Aku juga minta maaf, rencana kita berhasil, nilaimu nol, benar-benar sempurna menjadi terbodoh. Lucu sekali, anak tercerdas mendapat nilai nol di Tes Ilmuan dan semua benar-benar belomba bodoh-bodohan.” Mereka tertawa. “Jadi rencana selanjutnya?”

Bagas membayangkan, pasti sekarang Zombi sedang kalang kabut mencarinya. Zombi adalah panggilan dari dia untuk ayahnya, tentu saja itu ia lakukan di belakang ayahnya. Dia memberi gelar Zombi karena menurut Bagas, sikap ayahnya seperti Zombi, semua ekspresi dipukul rata di wajahnya. Dan alasan paling utama, ayahnya tidak berperasaan, memaksa anak didiknya menjadi zombi intelektual. Ayah Bagas adalah Presiden Tes Ilmuan Negeri dan menjabat sebagai kepala sekolah terbaik di Negeri ini.

“Kita harus pastikan nggak ada yang masuk dalam Tes itu, semuanya benar-benar bernilai bodoh. Kita harus beritahu orang tua anak-anak cerdas yang lulus seleksi dari tahun-tahun yang lalu. Mereka nggak tahu nasib anaknya gimana, mereka hanya bangga bahwa anaknya masuk Tes Ilmuan, tanpa tahu anak-anaknya dijadikan kelinci percobaan.”

“Kita manfaatkan kemarahan massa pada pemerintah? Caranya?”

“Harus ada bukti.”
***
“Hei... jangan pesimis gitu dong, biar gimana pun kamu kan jadi siswa yang mendapat nilai terbanyak di Tes Ilmuan...”

“Gimana nggak pesimis, kalau aku nantinya bakalan mati? Lagian apa yang mau dibanggakan dari mendapat nilai terbaik, diantara semua yang sengaja berusaha mendapat nilai buruk. Lebih parah lagi itu dari seluruh Negri.” Gagas mendesah, perempuan mungil yang biasanya lincah itu kini tak ubahnya kain kucel yang teronggok tak berdaya.

“Aku hanya mau hibur kamu....” Sisi menunduk. “Maaf ya, kalau saja aku ngasih tahu lebih awal....”

“Udahlah, Si...” Gagas menyunggingkan senyum. “Si... benar nggak sih semua itu? Jadi aku bakalan jadi kelinci percobaan untuk ambisi membuat manusia hidup abadi?”

“Pasti ada jalan keluar Gas, aku bakalan bantu kamu sampai titik darah penghabisan!” Sisi berorasi layaknya pahlawan kemerdekaan.

“Lebay.” Gagas menerbangkan bantal ke wajah Sisi. Dan perang bantal pun tak terelakkan.

Malam sudah terlalu malam. Mereka memejamkan mata tanpa tertidur. Menebak-nebak sesuatu yang akan terjadi ketika Gagas pergi memenuhi undangan awal dari Presiden Tes Ilmuan Negeri.


Sementara itu Presiden Tes Ilmuan Negeri memarahi semua staf, dari 29 provinsi, hanya ada satu nilai tertinggi. Itu sangat mengecewakan jika dibandingan dengan tahun-tahun sebelumnya yang tiap provinsi ada satu yang terpilih.

Inet Bean
29 Januari 2017

Kamis, 26 Januari 2017

Apakah Aku Terlalu Berlebihan?

http://fiksitira.blogspot.co.id/2014/12/pelangi-setelah-hujan.html

Tak ada lagi, tak ada lagi rahasia dibalik hujan. Kita sudah menyingkapnya. Menjadi sederhana, atau mungkin menjadi lebih rumit. Dengan kata-kata seakan menjadi mudah sekaligus sulit.

Bagaimana menikmati rinai jika sudah tak ada lagi tanda tanya? Apakah sekarang kau kesulitan untuk menemukan kata-kata darinya? Saat rintik pertama mengirimkan pertanda. Kadang menyakitkan, kadang menyembuhkan.

Kau bilang ini terlalu mudah, dan dalam kesempatan lain katamu keadaan terlalu sulit. Tapi dengan begitu kita benar-benar merasa hidup. Jika semesta kembali membuat jiwa kita hidup, berapa panjang jarak wajar yang kau inginkan?

Tak ada lagi, tak ada lagi rahasia dibalik pelangi. Kita sudah memahaminya. Lalu dalam hitungan detik hanya langit kosong yang tertinggal. Begitu yang kau rasakan?

Jika begitu, pita rekaman ini biarlah menjadi kotak kecil tempat cinta kita tersimpan. Kenangan untuk diri kita sendiri. Di mana kita selalu mendengar, hati kita tak pernah patah, dan waktu selamanya bukan penghalang.

Hingga kau bisa menyimpanku dalam kata-kata di hatimu. Memelukku ketika gigil mendekapmu. Dan tak ragu untuk selalu merindukanku. Karena rindumu adalah rinduku juga.

Dan jika kau menyakitiku, tak apa. Aku pernah merasakan itu, semuanya sudah terlambat. Terlambat yang begitu menyenangkan. Aku pernah takut untuk memulainya, di hatimu kau mendekapku.

Walau aku hanyalah mimpi. Tapi kita tahu, mimpi adalah awal dari segalanya. Kau tak perlu takut, kau tak sendiri, aku selalu bersamamu. Kita tuntaskan kegagalan ini, hingga di suatu waktu, tak ada kesempatan bagi kegagalan merusak keberhasilan mimpi kita.

Selalu ada pelangi selepas hujan. Entah di belahan bumi bagian mana. Kita hanya perlu menemukan tempat yang tepat dan di waktu selepas hujan.

Kau bergeming. Apakah aku terlalu berlebihan?

26 Januari 2017

Senin, 23 Januari 2017

Tradisi Input KRS


Seperti rindu, mager harus dibayar tuntas. Ini bukan sekadar alibi, lebih dari itu, tapi adalah upaya untuk bersikap adil terhadap keseluruhan anggota tubuh saya. Semenjak semester lima dimulai, porsi mager saya berkurang secara drastis, bisa dibilang mager itu emas, karena langka dan istimewa.

Tapi over dosis mager juga gak baik karena ada efek candu di dalamnya, oleh sebab itu saya bertekat untuk mengakhiri masa mager saya yang sudah dimulai dari hari jum’at, saat itu malemnya saya begadang, demi tradisi yang harus dilakukan setiap akan menghadapi awal semester. Demi terciptanya jadwal yang berperi kemahasiswaan dan dosen yang beradab.

Tradisi Input KRS, saya lebih setuju kalau kepanjangannya adalah Kuliah Rebutan Kelas, walaupun yang sebenarnya Kartu Rencana Studi. Konon, input KRS itu salah satu penyebab mahasiswa frustasi, merasa kalah sebelum berperang, dan fenomena-fenomena psikologis lain yang memiriskan.

Saya adalah termasuk korban dari Input KRS. Karena biasanya nama korban disamarkan, jadi sebut saja Maudy, kepanjangan dari Mauy Ayunda. Dulu, waktu input KRS pertama kali, di mana kakak-kakak senior hobi menakut-nakuti, entah dengan bilang harus nunggu jam dua belas malam, sinyal yang secara misterius mendadak hilang, hingga SIKADU (Sistim Informasi Akademik Terpadu) yang enggak bisa dibuka.

Ndilalah, laptop saya mendadak mati di jam dua belas malam. Hape saya belum berstandar bisa untuk buka sikadu. Tekanan batin-tekanan batin deh saya. Beneran deh saya nangis, gegara ditakut-takuti kakak tingkat, gak kebagian kelas. Untungnya, ada temen yang berbaik hati mau nginputin KRS saya. Walaupun jadwalnya jadi sejadi-jadinya deh, asal dapet kelas.

Kalau di semester tiga, saya udah agak beruntung nih. Berbekal kegagalan semester dua. Saya menyiasatinya dengan bagadang bareng-bareng di rumah temen. Selain itu saya juga udah punya notebook sendiri, gak pake laptopnya kakak yang error itu, terus hape saya juga udah agak bisa lah buat buka SIKADU.

Dan tahukah? Apa gerangan yang terjadi di jam dua belas malam? Ternyata Input KRS belum dikeluarkan! Dan saya pun tersadar satu hal saat itu, bukan hanya cowok yang bisa PHP, SIKADU juga! SIKADU enggak tahu, bahwa kami mahasiswa dengan prodi tebanyak diminati di fakultas pendidikan, udah seperti zombie yang maniak terhadap SIKADU. Mata kami enggak sedetikpun teralihkan dari SIKADU sebelum Input KRS dibuka.

Setidaknya itu berakhir happy ending bagiku, karena perjuanganku menjadi zombie enggak sia-sia. Jadwal yang udah kerancang berujung pada kesesuaian.

Tibalah input KRS untuk semester empat, masih seperti di atas, kumpul bareng temen. Tapi kali ini lancar, jam dua belas udah bisa di input. Hanya saja terkendala seperti yang sudah-sudah. Loading lamaaaaa banget. Udah gitu hujan deras, sinyal ilang-ilang. Dan saya pasrah menunggu LOLA yang begitu keterlaluan.

Nah kalau di semester lima, SIKADU agak manusiawi. Karena input KRS jamnya ditentuin jam setengah tujuh. Walaupun jam enam ternyata udah dibuka sih. Yang jadi masalah kali ini adalah, saya dilema, karena ditawari kerja jadi guru TK. Bagaimanapun kalau bukan rejeki mah gak bakal dapet. Yaudah deh, mending saya fokus kuliah aja.

Di semester enam, yakni di jum’at tanggal 19 kemarin, SIKADU kembali bereksperimen pada jam penerbitan input KRS, yaitu jam setengah lima. Kita pun dibuat dilema, antara sholat shubuh dulu atau input KRS dulu, atau sholat shubuh sambil input KRS.

Kalau temen-temen saya menyiasatinya dengan jam empat sudah bermekena sambil ancang-ancang mau sholat, begitu adzan go... langsung sholat. Lagi-lagi kendalanya loading yang lemot sih.

Tapi setidaknya saya sukseslah untuk input kali ini. Nih saya kasih tips cara agar input sukses.

Pertama, pastikan kuota internet aman. Kalau perlu sedia dua kartu sekaligus, mengantisipasi kendala cuaca yang kadang menelan sinyal habis-habisan. Kedua, dari satu atau setengah jam udah stay di input KRS. Ketiga, buka semua browser, dari mulai Chrome, Mozilla, Opera, stay semua di SIKADU, kalau perlu hape androit yang punya dua biji, gunakan semua deh.

Nah kalau input KRS udah buka, satu browser buat ambil satu makul, selesai deh tuh dalam satu klik. Tentunya keerroran dan keberuntungan berlaku di sini.

Saya bakalan kangen input gak ya? yang buat hati saya dag-dig-dug, ah inikah yang namanya cinta? Semester depan saya udah gak perlu lagi rebutan kelas. Materi saya sudah selesai. Tinggal PPL, KKN dan Skripsweet. Doakan ya, semoga lancar semuanya. Aamiin.




Inet Bean
23 Januari 2017
#Catatanakhirkuliah.

Rabu, 18 Januari 2017

Yâ ‘âsyiqol Mushthofâ


Yâ ‘âsyiqol Mushthofâ | Absyir binailil munâ
Bagaimana mungkin meragukan perindu yang tak pernah melihatmu, dengan haru menyenandungkan syair-syair pilihan. Kusunggingkan senyum demi mempercayai untaian kata padang pasir hingga permadani padi. Yang kutahu, kelak kau pun akan membalas senyumku. Lebih dari harapan manusia, sebuah ikatan janji.
Qod rôqo kâ,sush-shofâ | Wa thôba wafdul hanâ
Cahaya dari ufuk nun terbentang, tiada menghalangiku melihatnya. Dengan hati. Apakah kau mengsangsikan pecinta yang tiada pernah bersua? Cinta seperti apa yang melebihinya? Jika cinta sudah tercipta, ribuan jarak bukan halangan. Hingga suatu moment terindah kan terajut. Garis nasab yang jauh berbeda mencintaimu tanpa syarat.
Nûrul jamâli badâ | Min wajhi syamsil hudâ
Serupa mentari pada embun yang menjadikannya bersinar. Aku melihat di mimpi-mimpi indahku. Kau menjelma menjadi apa saja dari kebutaanku akan dirimu. Lalu di fajar terindah, hadirmu kian nyata dengan segala rasa yang membuncah di dadaku. Kicau burung, gesekan dedaunan dan gemericik air, serupa alunan orkestra semesta. Sunyi, hanya kau dan aku.
Thôhalladzî billiqô
Qod fâza lammâ-rtaqô
Lalu di mihrab perjumpaan. Sebuah penuntasan janji yang sempurna, pelunasan rindu yang tiada berakhir, cinta yang mengalir semurni rinai. Pada akhir ketika keberuntungan hanyalah alasan sepasang sayap mengantarmu demi kebahagiaanku. Kembali pada suatu titik yang sama sebelum yakin benar, pada titik itu kita akan bersama.
Min fadl-lihi ‘ammanâ
Engkau, tiada yang kucinta melebihi kecintaanku padamu. Yang tanpa pernah kujumpai mampu membuatku cinta, segala tentangmu adalah yang membuat cinta begitu saja bersemayam di dalam hatiku. Bagiku, kau yang utama. Juga tidak ada yang menyamai cintaku, cintaku akan selalu berbeda.
Dûnal warô robbunâ
Tentu saja, dengan restu-Nya.

Inet Bean
18 Januari 2017

Selasa, 17 Januari 2017

Sebentar Lagi

Mendeskripsikan gambar ini, untuk Mba Adriana


Pada Petang...
Yang perlahan meluruhkan jingga

Sebentar lagi bulan menenggelamkan mentari di lumpur laut yang mulai tergenang. Tahukan persamaan antara kau dan bulan yang dingin pada pasang surut lautan?

Sebentar lagi gelap, tetapi kelihatannya menakjubkan. Anak-anak kecil tertawa, bermain-main dengan ombak dan pasir, menunggu orang tua mereka yang tak kunjung pulang. Seperti aku yang kini tertawa, tawa yang mengundang keheranan.

Tiba-tiba saja aku sudah melempar kail, tak lama berselang kau sudah menyambarnya, ikan. Suatu yang menyala memang terlihat menggiurkan, tipuan. Anak-anak kecil itu tertawa lagi, sedangkan aku menertawakan diriku.

Anak-anak kecil, kita mempunyai beberapa persamaan, tawa kita, cara menunggu kita, dan tentu saja permainan dengan sang pengatur maha benar. Ayo, kita tertawakan saja...

Bukankah ini menyenangkan?

Oh, tentu saja, ini menyenangkan.

Hingga jingga menjadi sebiru luka. Orang tua anak-anak itu tak kunjung menepi, kapal-kapal yang semakin menjauh, debur ombak yang besar berbuih, meluruhkan kepercayaan anak-anak kecil selangkah demi selangkah. Kemudian merapuh.

Sayang, percayalah... sebentar lagi

Sampai kapan? Permainan ini membuat kami lelah

Bagaimana lagi aku meyakinkan mereka, orang tua anak-anak yang ada di kapal-kapal, sengajakah mereka membuat permainan ini demi menipu mereka?

Aku tertawa, anak-anak kecil itu ketakutan. Tawaku semakin keras. Membuat ikan yang baru tertarik kailku urung, bersembunyi diantara batu karang.

Apakah kubiarkan saja permainan yang tak kumengerti aturannya terus membuatku salah, atau kubiarkan saja sang pengatur maha benar terus mempermainkanku, atau sebaiknya kuselesaikan dulu tawaku ini.

Anak-anak kecil

Sederhana
Suaramu adalah penawarnya

Jangan biarkan kau takut, kita senasip, sayang... aku senang menunggu bersama, dan mari kita tertawakan cara mereka mengatur yang penipu. Tapi tak usah pedulikan itu lagi. Mari membuat aturan main baru...

Inet Bean
17 Januari 2017

Senin, 16 Januari 2017

Pemakluman bagi Pemilik Jabatan Tinggi yang menjadi Biasa?

https://www.ayomaju.info/ilustrasi-kartun-karikatur-politik/

Indonesia memang negara yang menjunjung tinggi persamaan derajat manusia, tapi realitanya sangat jauh. Bagaikan hanya suatu teori yang dikoar-koarkan oleh pendidik, tapi nggak ada gunanya buat terjun langsung di masyarakat.

Ewuh-pakewuh di Indonesia sudah keterlaluan, karena hal itu justru dimanfaatkan oleh oknum yang merasa jabatannya tinggi, mereka merasa mempunyai sesuatu yang ‘lebih’ entah untuk pemakluman, penekanan, bahkan pemaksaan.

Jika di negara Barat, derajat guru dan murid sama, lain di negara ini, guru dianggap seperti dewa yang paling benar. Murid sedari kecil tidak diajarkan kritis. Alhasil mental mereka sempurna menjadi mental tempe. Berbeda pendapat dengan guru atau dosen saja sudah takut setengah mati. Padahal itu hal yang wajar, bukan di dunia Barat saja, bahkan dunia Islam, Imam Syafi’i pernah berdebad dengan gurunya, bahkan berbeda pendapat.

Gagalnya pendidikan membentuk mental anak bangsa, berdampak hingga ia terjun di masyarakat. Mereka menjadi pribadi yang mengagungkan jabatan tinggi, dan merendahkan jabatan yang lebih rendah dari mereka.

Seperti kasus yang pernah viral di media sosial, seorang ibu-ibu pejabat MA berbuat kasar kepada polisi lalulintas, anggota DPRD yang ngamuk lantaran ditegur petugas bandara, bahkan kasus baru yang viral di media sosial, calon gubernur Jakarta yang menerobos ke jalur busway dengan dalih macet agar tepat waktu sampai lokasi debat.

Kasus-kasus di atas polanya sama saja, mereka merasa lebih tinggi jabatannya dan karena itu sudah semestinya mendapatkan pemakluman saat berbuat salah. Seolah mereka bahkan tidak merasa berbuat salah. Masyarakat juga sudah termindset demikian. Maka lestari sudah budaya yang salah.

Solusinya?
Tentu saja dengan revolusi mental, saya setuju dengan jargon yang digembar-gemborkan oleh Pak Jokowi, mental berani, bukan berarti berani itu tidak sopan, tapi berani dalam hal mengkritisi, tentang benar dan salah, tentang keadilan, tentang persamaan derajat sebagai rakyat Indonesia dan hamba Tuhan.

Kapan dimulainya?
Sekarang juga, kita mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Tanpa memandang status sosial. Sopan santun itu perlu, tapi jangan dijadikan alasan menuju kebodohan. Jaman sekarang gak ada orang yang bisa dipercaya 100%, bahkan orang-orang yang tutur katanya halus, bisa diam-diam ternyata menusuk.

Entah kapan mental negara ini benar-benar berevolusi, menjadi mental pemberani yang enggak hanya menjadi hamba pengekor, menjadi mental kritis yang enggak sembarangan klik share sebelum mencari kebenarannya, menjadi mental yang lebih baik...

Inet Bean
16 Januari 2017

Sabtu, 14 Januari 2017

Ngumpet dari Pak Ustadz

Oleh: Inet Bean

Ada yang bilang aku pendiam, di sisi lain ada juga yang bilang aku paling gak bisa diam. Jadi aku bingung, aku ini makhluk introvert atau ekstrovert atau mungkin kolaborasi diantara keduanya. Dulu di kelas, aku bisa dianggap pendiam, tapi pintar. Walaupun begitu, gak bisa juga dibilang cupu.

Suatu kisah di mana aku nakal banget, bukan teman yang aku kerjain, tapi guru, ah bukan, lebih parah lagi, Pak Ustadz. Aku akan ceritakan sisi nakalku, walaupun tidak sedikit sisi baikku yang patut diceritakan. Misalnya aku pernah belain temen cewek yang digangguin kakak-kakak senior cowok, dan itu waktu SD. Buruk, karena dibalik keberanianku, sebenarnya aku cukup cengeng.

Yang akan aku ceritakan adalah waktu aku sekolah di Taman Baca Al-Quran, aku sudah di wisuda sejak kelas lima SD, setelah diwisuda aku masih melanjutkan sekolah di TPQ, jadi namanya adalah Jilid Gharib.

Sore itu aku dan teman-teman menunggu Pak Ustadz Ghoni di kelas. Tidak bisanya, Pak Ustadz Ghoni terlambat masuk, sementara itu aku dan dua temanku asik ngobrol, begitu juga yang lainnya asik bergerombol sambil ngobrol ngalor ngidul.

Diantara dua temanku, akulah yang paling kecil, baik dari segi umur maupun postur. Aku kelas lima, sedangkan dua temanku kelas enam. Di TPQ emang enggak seseragam di SD.
“Eh, aku punya ide!” seru Nurul. Aduh, aku selalu sangsi dengan idenya, pasti gila. Terakhir kami pernah di cari ibunya temanku gegara ngebully teman yang super pendiem. Untung saja waktu itu hujan, jadi kami bertiga bisa ngumpet pake payung.

“Apaan, Rul?” Ifa, temanku yang satu menimpali. Walaupun aku paling kecil, tapi aku gak manggil mereka pakai panggilan “Kak”, karena emang dari kecil aku manggil mereka dengan nama aja.

Nurul melirikku, aku menopang dagu dengan kedua tanganku di meja sembari ku tarik alis ke atas, tanda ingin mendengar ide Nurul.

“Gimana kalau nanti Pak Ghoni datang, kita satu kelas ngumpet?”

“Ngumpet di sana?” Tunjukku ke arah belakang kelas yang disekat dua papan tulis. Di belakangnya ada meja dan kursi yang tidak terpakai.

“Iya!”

“Kalau Pak Ghoni marah gimana?” tanya Ifa.

“Pak Ghoni kan gak pemarah,” ucapku.

“Teman-teman... ayo sini ngumpul....” seru Nurul. Satu kelas, yang berjumlah 25 anak berkumpul, hanya ada satu cowok diantara kami, jadi ceweklah yang menguasai kelas.

“Ada apa?” Eka membuka suara. Sementara yang lain mengajukan pertanyaan senada.

Aku, Nurul, dan Ifa bergantian saling menjelaskan pemufakatan jahat kita. Sesekali menjawab pertanyaan dari teman yang keberatan. Ajaib, tidak terlalu sulit membujuk mereka, entah kenapa mereka dengan polosnya setuju dengan rencana kita.

Maka kamipun bergegas memosisikan diri ngumpet di belakang dua papan tulis yang dijadikan sekat, ada yang di atas meja, kursi, yang penting tidak terlihat. Dan kelas pun hening tak ada anak.

Tidak lama kemudian salah seorang di antara kami ada yang melihat Pak Ustadz Ghoni sedang menuju kelas. Kami memosisikan diri agar tidak terlihat dan mengunci mulut.

Pak Ghoni masuk kelas, namun hanya satu langkah dibelakang pintu, dia mengernyitkan alis, seraya bilang, “Loh? Tidak ada orang? Yasudahlah, saya pulang saja....” Lalu beliau bergegas pulang.

Kami terpaku untuk beberapa saat. Lalu keluar dari persembunyian. Dan riuhlah suasana kelas.

“Gimana nih kalau Pak Ghoni marah? Kalian sih?”
“Iya, kayaknya tadi Pak Ghoni lihat kita deh”
“Tadi kan juga kita agak cekikikan.”

Lima belas menit kami berunding setelah akhirnya memutuskan untuk bersama-sama ke rumah Pak Ustadz Ghoni dan meminta maaf kepadanya. Rumah Pak Ustadz Ghoni cukup dekat dari TPQ, hanya berjarak kira-kira seratus meter.

Tentu saja aku, Nurul, dan Ifa yang memimpin mengucapkan permohonan maaf, yang menemui kami adalah istri Pak Ustadz Ghoni, kami mengucapkan permohonan maaf, tidak lama kemudian Pak Ustadz Ghoni muncul, kami semua menitikkan air mata.

14 Januari 2017


Selasa, 10 Januari 2017

Sweet Sixteen

http://www.parkirfilm.com/2016/09/Sweet-Sixteen-2016.html

Sweet Sixteen atau berjudul asli "Xia You Qiao Mu", adalah sebuah film Asia Drama, Romance terbaru 2016 yang berasal dari negara China dan South Korea. Film ini disutradarai oleh seorang sutradara yang beranama Jo Jin-kyu. dan telah dirilis pada tanggal 5 Agustus 2016 (China). Film ini memiliki perpaduan genre yang menarik, sebuah genre yang bnyak diminati, khusus nya untuk kalangan remaja, genre tersebut yaitu Drama dan Romance.

Adapun untuk para pemain film yang akan bermain dan berperan di dalam film ini, yaitu diantaranya dibintangi oleh aktor tampan Kris Wu yang akan berperan sebagai Xia Mu (as Wu Yifan), dan juga bintang bintang top asia lainnya yaitu, Geng Han berperan sebagai Tang Xiao Tian, Shan Lu berperan sebagai Shu Ya Wang, Won Joo berperan sebagai Qu Wei Ran, Yao Zhang, Shawn Huang, dan Bei-Er Bao.1

Uuuh, film ini sukses membuat aku mewek, nangis beberapa kali. Banyak juga yang bisa dijadikan pelajaran berharga, ada lucunya juga, geregetan, sedih, semua perasaan hampir ada deh.

Berawal dari kisah dua anak (cewek-cowok) yang bersahabat sejak kecil, yaitu Xiao-Tian dan Yawang, hingga sekolah menengah atas mereka masih bersama-sama, bahkan satu kelas. Pada suatu malam Yawang dimintai tolong oleh ayahnya agar menjadi guru les privat anak dari temannya yang bunuh diri karena bangkrut, istrinya kemudian ikut bunuh diri dengan gantung diri di depan anaknya, Xia Mu.

Awalnya Xia Mu tidak mau berbicara dengan Yawang, ia memang menutup diri dari dunia luar sejak kedua orangtuanya meninggal. Seiring dengan berjalannya waktu Xia Mu luluh juga dan dia tinggal bersama keluarga Yawang.

Pada suatu malam, Xiao-Tian membicarakan keberangkatannya untuk menjadi tentara pada Yawang. Ternyata mereka saling mencintai, tetapi mereka harus berpisah untuk mewujudkan cita-cita masing-masing. Xiao-Tian mengungkapkannya dengan cara yang menurutku romantis. Di sorot lampu sepeda, Xiao-Tian bercerita menggunakan bayangan hewan yang diperagakannya dari tangan.

Katanya, “Berjalan sendirian. Akan lebih cepat. Sedangkan berjalan bersama, akan jauh dari harapan.”

Sementara itu ternyata Xia Mu mencintai Yawang. Waktu berlalu dengan cepat, Yawang lulus dari universitas dan diterima bekerja di perusahaan. Atasan Yawang, Qu Wei Ran menyukai Yawang, sikapnya kasar dan arogan, bahkan pada Yawang.

Dua kali Qu Wei Ran memaksa Yawang untuk masuk ke mobilnya, dua kali juga Xia Mu menolong Yawang darinya. Bahkan yang kedua Xia Mu menyelamatkan Yawang yang hampir tertabrak mobil karena menolak Qu Wei Ran. Nah, kejadian itu membuat Xia Mu jujur dengan perasaannya pada Yawang, tetapi Yawang hanya menganggapnya adik.

Di pesta yang diadakan oleh perusahaan tempat kerja Yawang. Qu Wei Ran memberi minuman yang sudah dibubuhi ‘sesuatu’ untuk Yawang, hingga ia pingsan. Lalu Qu Wei Ran tega banget memperkosa Yawang (kyaaa di sini aku sebel banget pengen nimpuk Qu Wei Ran, duh Yawang...malang nian nasibmu)

Yawang pulang dengan keadaan berantakan, dia tidak mengindahkan pertanyaan ibunya dan Xia Mu, langsung masuk kamar, kemudian mengobrak-abrik kamarnya. Xia Mu yang mendengarnya langsung mendobrak pintu kamar Yawang. Dan taraaa... Yawang nangis sejadi-jadinya. Melihat keadaan Yawang yang berantakan dan ada luka dilehernya kontan saja ibunya dan Xia Mu langsung peka.

“Siapa yang melakukannya Yawang? Lelaki bajingan itu?” kata Xia Mu.

Tanpa mendapat jawaban, Xia Mu bergegas menuju kantor Yawang. Yawang tahu apa yang akan dilakukan oleh Xia Mu, ia mengejarnya tapi terlambat. Xia Mu sudah menembak Qu Wei Ran (Sumpah, keren banget, arrrggghh aku termehek-mehek )

Xiao-Tian khawatir pada Yawang karena telponnya tidak aktif. Maka dia pun ke rumah Yawang dan mendapat penjelasan dari keluarga Yawang, sementara itu Yawang atas bujukan Xia Mu sedang menggugurkan janinnya.

Xiao-Tian tetap berharap agar Yawang menjadi istrinya, katanya, “Yawang, berjalan sendiri memang lebih cepat, tapi berjalan bersama-sama akan lebih jauh melangkah, mari bersama-sama.”

Namun Yawang merasa tidak pantas untuk Xiao-Tian, Xia Mu diperjara, tetapi Yawang bilang, dia akan menunggunya. Penasaran akhirnya Yawang bersama siapa? Hayoo tebak!

Inet Bean
10 Januari 2017

1. http://www.parkirfilm.com/2016/09/Sweet-Sixteen-2016.html

Senja di Batas Kota

Abaikan dua sosok berjilbab yang terfoto :D

Ahad, 8 Januari 2017, aku bersama teman dan keponakanku menunggu di Jetayu untuk melihat pawai panjang jimat. Siang itu sangat terik, kami duduk di pinggir taman yang cukup teduh. Suasana sekitar cukup ramai, anak kecil bersama kedua orangtuanya, anak sekolah yang masih berseragam, hingga remaja cewek-cowok yang bergerombol.

Sudah menjadi kebiasaanku, mengamati tiap inci sejauh mata memandang. Tidak jauh dari tempatku duduk, aku melihat kalimat puitis, “Senja di Batas Kota” tertulis di gerobak mie ayam. Aku antara takjub, terpana, lucu, apalagi ya? Aneh, iya aneh kan? Gerobak mie ayam bertulis kalimat puitis kek gitu?

Mungkin si Bapak Tukang Mie Ayam itu dulunya sastrawan? Penyair? Seniman? Atau yang nulis istrinya? Anaknya? Aku bertanya-tanya dalam hati sekaligus sama teman dan keponakanku. Karena enggak ada jawaban (iyalah? Tanya sama diri sendiri mana kejawab?) akhirnya karena aku lumayan laper dan sekaligus penasaran, aku beli mie ayam deh, sendiri, karena temen dan ponakanku masih kenyang katanya.

“Pak, mie ayam satu”

“Iya, silahkan duduk, Mbak....”

“Eh iya, Pak....”

“Monggo Mbak, silahkan di sana.”

Si Bapaknya mungkin berpikiran gimana-gimana, soalnya aku disuruh duduk iya-iya aja tapi masih didekat gerobaknya. Bingung juga mau mulai nanya dari mana, masa’ tiba-tiba nanya tulisan di gerobak sih?

Untuk membuka obrolan, basa-basi aku nanya-nanya, ini beneran konyol deh keknya aku. Saking penasarannya sama tulisan “Senja di Batas Kota” bayanginnya tuh keknya romantis banget.

“Pak, biasa di sini ya?”

“Iya, udah biasa di sini, Mbak”

“Oh, rumah Bapak deket dari sini?”

“Iya, paling belakang gedung itu, kalau rumah Mbak?”

“Saya Buaran, Pak...”

Setelah bla bla bla ngobrol, istri si Bapak Tukang Mie Ayam datang ngebantu si Bapak nyiapin mie ayam. Sedangkan aku gelisah, soalnya mie ayam untuk aku udah mau jadi, tapi belum sempet nanya. Duhh...

Oke, daripada mati penasaran, akhirnya aku sok ngelihat tulisannya gitu dengan pandangan terpesona.

“Eh, Pak... tulisan ini Bapak yang buat?”

Si Bapak Cuma senyum, tersipu gitu deh. Aku jadi ikut senyum gaje, dalem hati, ‘Yaelah kok Cuma senyum, please Bapak, aku tidak butuh senyumanmu, aku butuh jawabanmu.’ Karena si Bapak senyum aja, jadi aku langsung lanjut nanya istrinya, “Yang buat Bapaknya ya, Bu?”

Kali ini si Ibu yang tersenyum, tapi sambil menjawab, “Iya, itu Bapak yang buat....”

Lalu kami bertiga tersenyum dan bahagia selama-lamanya, sebenarnya masih pengen nanya lebih banyak, tapi karena mie ayamku sudah jadi dan makin rame yang beli mie ayam, yasudahlah. Padahal waktu itu aku berharap pembuatan mie ayam bisa selama satu atau dua jam.

Yang pasti, aku harus ke sana lagi!

Inet Bean
10 Januari 2017


Minggu, 08 Januari 2017

Betapa Kami Merindu pada Negeri ini

https://web.facebook.com/pageKataKita/photos/pb.803774136380640.-2207520000.1483885060./1220940037997379/?type=3&theater

Betapa kami merindukan sosok panutan yang santun di Negeri ini
Betapa kami mencintai sosok pemimpin yang rendah hati
Betapa kami merindukan wajah Indonesiaku yang ramah
Betapa kami mencintai jiwa Indonesiaku yang gagah

Wahai Habib... kekasih Allah... kami begitu bangga memilikimu, senyum di bibirmu laksana oase yang muncul di gersang Negeri ini, Engkau tahu Negeri ini sedang ramai saling tuduh mencaci Tuhan atas nama Tuhan, tetapi mengapa Engkau tidak menunjukkan wajah marahmu? Engkau justru tersenyum bersama para pecinta Rasulullah... seakan Engkau bilang, masih banyak jalan menuju kebahagiaan tanpa kemarahan....

Habib... sungguh hati ini bergetar, terenyuh melihat Engkau bergandengan tangan dengan Orang Nomor Satu di Negeri ini, hati kami basah, begitulah yang kami harapkan antara ulama dan umaro, bergandengan tangan memajukan Negeri ini. Sungguh, Negeri ini sudah terlalu lelah melihat perseturuan antar saudara setanah air.  Melihat saudara bagai musuh, memperlakukan musuh seakan saudara, luruskanlah mereka wahai ulama dan umaro kami....

Wahai Presiden... sesungguhnya kami melihat gurat kerja kerasmu walau Engkau sembunyikan pada senyum sumpringahmu. Kemarin kami melihat saat Engkau mengurusi permasalahan politik yang begitu memanas di Negeri ini. Kami melihat Engkau berusaha sebaik mungkin melayani rakyat. Namun Engkau hanya manusia biasa yang punya khilaf, tapi jangan biarkan khilaf melenakan Engkau... Pemimpin Kami....


Hari ini, kami melihat secercah cahaya bagi Negeri kami saat Ulama dan Umaro kami bergandengan tangan .... saatnya Kita begandengan tangan menjayakan Negeri ini, mempersatukan Bangsa ini, mengharumkan namanya, Indonesia.

Inet Bean
8 Januari 2017