Sabtu, 27 Mei 2017

APAKAH AGAMA ITU WARISAN? BUKAN, TENTU SAJA BUKAN.


Saya tidak akan menggunakan dalil salah satu agama untuk beragumen. Tentu itu dapat dengan mudah dipatahkan dengan mengatakan itu hanyalah klaim agama itu. Tetapi untuk mengatakan agama adalah warisan pun, itu tidak lebih dari opini semata. Maka kita akan lihat dengan kacamata sejarah, karena warisan tidak lepas dari yang namanya sejarah.

Tidak usah jauh-jauh, di Indonesia agama mayoritas adalah Islam. Apakah itu merupakan warisan? Perjalanan agama di Indonesia tidaklah singkat, dulu sekali paham animisme dan dinamisme yang menjadi kepercayaan di Indonesia, kemudian Hindu-Budha, lalu Islam dan Kristen.

Jika agama itu warisan, maka tidakkah sekarang seharusnya orang Indonesia beragama animisme dan dinamisme? Itu produk asli Nusantara, maka itulah warisan sejatinya, begitu bukan? Namun sayangnya beberapa kali Nusantara berganti-ganti agama. Jadi agama warisan itu tidak lestari dengan baik, maka agama bukanlah warisan, teman.

Lantas jika bukan warisan? Maka agama adalah pencarian tiada akhir. Lihatlah sekarang, masih adakah paham animisme dan dinamisme? Ternyata dalam pencariannya, Nusantara akhirnya mempunyai lima agama, itu tentu tidak terlepas dari pencarian, suatu pencarian tidak dilaksanakan dalam satu tahun dua tahun, namun beratus bahkan beribu tahun.

Manusia mempunyai akal tentu untuk berpikir, dalam pencarian agama, tentu manusia menggunakan segala inderanya untuk menyimpulkan agama apakah yang sempurna, setidaknya bagi pencariannya. Dan benar, kita tidak bisa memaksakan agama kita yang paling benar, tetapi kita harus mengimani bahwa agama kita yang paling benar.

Sang Budha harus meninggalkan segala gemerlap kerajaan, menjalani sikap hidup penuh kesucian, bertapa, berkalwat mengembara untuk menemukan kebenaran, dekat tujuh tahun lamanya, dan di bawah sebuah pohon, iapun memperoleh hikmat. Nabi Muhammad SAW harus berkhalwat di Gua Hira. Menghabiskan banyak waktunya sendirian untuk berdoa dan berspekulasi tentang aspek penciptaan. Ia mulai prihatin terhadap kesenjangan sosial, ketidak adilan, diskriminasi, perang antar suku, dan penyalahgunaan kekuasaan, tiga mil jauhnya dari Mekah untuk berkontemplasi dan berefleksi diri.

Tidak hanya dua agama di atas, begitu pula agama-agama lain diperoleh tidak dengan cara instan. Apa yang mereka dapat dari hal itu? Agama, Keimanan. Semua ada proses pencariannya, tidak lantas orangtua mereka memberi maklumat bahwa mereka harus beragama seperti orangtuanya.


Dan jaman sekarang tidak ada paksaan atas agama yang mau kamu anut, Teman. Kita bebas menentukan agama mana yang akan kita anut. Jika kamu merasa agamamu warisan, maka boleh jadi kamu belum melakukan pencarian tiada akhir, cari agamamu, dan katakan, agamaku bukan warisan, sebab aku lebih suka warisan berupa emas atau tanah.

1 Ramadhan 1438 H.

Jumat, 26 Mei 2017

Habib Luthfi


Siapa yang tak kenal Habib Luthfi? Tentu saja banyak yang belum kenal beliau, boleh jadi malah mendengar namanya pun baru kali ini. Tapi beliau pasti dikenal anak kecil yang menyenandungkan sholawat nabi, remaja-remaja yang cinta maulid Nabi, orang dewasa yang hobi mengunjungi majelis Rasulullah, dan tentu saja ulama-ulama, hingga ulama luar negeri.

Habib Luthfi adalah alim ulama asal Pekalongan, beliau sosok ulama berhati teduh, tatapan matanya tajam tetapi menentramkan, ucapannya berserasian dengan petuah Baginda Nabi Muhammad SAW, perangainya memanusiakan manusia, dan yang tak kalah penting cinta tanah air.

Tetapi siapa yang peduli selama masih ada ulama yang tiap hari diberitakan tv? Entah itu pemberitaan negatif atau positif, tetap saja itu ulama. Apa saja yang dilakukannya selalu benar. Begitulah sebagian orang berfikir. Ulama selalu benar. Benarkan? Bukankah yang Maha Benar adalah Tuhan? Bahkan Rasulullah yang dijamin perangainya pernah berlaku kurang baik hingga mendapat teguran dari Allah. Ingatkah saat Allah menegur Nabi dengan menurunkan surat Abasa yang artinya Bermuka Masam?

Jadi ungkapan ulama selalu benar tidak bisa diterima oleh akal. Ulama juga adalah manusia yang mempunyai nafsu dan iman, yang tentu saja dapat berbuat khilaf. Percaya pada ulama itu dianjurkan, tetapi manusia diberi akal, agar tahu membedakan apa yang benar dan apa yang salah. Jadi percayalah selama ucapannya berserasian dengan Rasulullah, tetapi ingkarilah jika ada sesuatu sebab yang melatarbelakanginya. Sebab, masih banyak ulama yang bisa dijadikan panutan.

Pada orang-orang yang merasa kehilangan sosok ulama dan membutuhkan sosok ulama untuk diikuti, maka kuperkenalkan ulama sederhana yang ceramahnya menyejukkan, menyatukan, sekaligus menentramkan. Beliau adalah Habib Luthfi bin Yahya.

Memang beliau tidak riwa-riwi masuk tv, tapi tanyakan pada tetanggamu yang sering menghadiri majelis maulid Nabi, pasti beliau tahu, bahkan mengidolakan sosoknya. Jika beliau mau, beliau bisa muncul di tv setiap waktu, itu mudah saja. Beliau ini ketua perkumpulan ulama internasional (mudahnya bisa dikatakan seperti itu), sudah dua kali beliau mengadakan perkumpulan ulama internasional, jika beliau mau, pasti konferensi itu dengan mudah akan ditayangkan di tv.

Apalagi mengerahkan massa? Itu sangat mudah, setiap kali beliau diundang dalam acara maulid, dihadiri sekitar seribu orang, kalikan dengan setiap malam tiada henti beliau selalu diundang untuk menjadi penceramah dalam acara maulid, maka jumlahnya akan sangat banyak. Itu mudah sekali bagi beliau, satu kali saja perintah, tidak ada yang menolaknya.

Tetapi Abah (Panggilan akrab untuk beliau) adalah sosok ulama sederhana, mana mau beliau begitu? Bagi beliau yang terpenting adalah kesatuan NKRI, NKRI Harga mati, cinta tanah air, beliau mewarisi perangai ulama Indonesia yang menjadi kontribusi bagi kemerdekaan negeri ini, Hubbul Wathon Minal Iman, begitu jargon yang dilantangkan KH. Hasyim Asy’ari, cinta tanah air adalah sebagian dari iman. Maka, lihatlah, beliau begitu menghargai pemimpin negeri ini, begitu pula sebaliknya.



Tahukan? Negara akan maju jika pemimpinnya amanah, ulamanya mendukung pemerintah, dan tentu saja rakyatnya mendukung pemimpinnya. Maka, negeri akan aman, bahkan maju. Tetapi lihatlah negeri ini, terpecah, seolah ada dua golongan, yang sebenarnya mereka adalah satu.


Jika saja, penduduk negeri ini kenal pada sosok ulama sekeren, sehumanis, secerdas, sealim, seulama (dan sese yang lain) beliau. Pasti kalimat berikut bukan angkan kosong; Alangkah indah negeri ini.

1 Ramadhan 1438 H.

Senin, 01 Mei 2017

Yang Media Tidak Katakan


Tidak ada yang lebih menarik bagi mahasiswa selain diskusi idealisme. Mungkin demikian teorinya, tetapi untuk generasi millenium, bahasanya akan lain, menjadi tidak ada yang lebih menarik bagi mahasiswa selain berselancar di media sosial, atau wifi gratis, atau view yang unik untuk selfie.

Walaupun demikian, percayalah masih ada mahasiswa yang mengaku tertarik dengan idealisme, mereka adalah kumpulan kecil dari mahasiswa yang berdiri di atas independensi. Berbicara tentang kebenaran, mencoba melawan ketidakadilan dengan jurnalisme, lalu menyejarah melalui sastra.

Berbicara tentang generasi millenium, mereka adalah generasi yang akan meneruskan negara ini, baik atau buruknya nanti, mereka yang akan menentukan. Tetapi berbagai tantangan global menggempur mereka dari sudut manapun, salah satunya media sosial. Mereka asik mengupload foto selfie, sementara tidak tahu bahwa dibelahan dunia lain terjadi perang. Mereka asik mengupload foto makanan yang tengah dibeli di cafe, sementara di sudut pulau lain bahkan untuk mendapat air bersih pun sulit.

Belum lagi akhir-akhir ini adu domba media tidak terelakkan lagi, mereka saling menjatuhkan sesama saudara setanah air hanya karena pemilihan pilkada di Ibu Kota. Saling mencela, menghina, menyindir, dan entah apa yang didapatkan dari melakukan hal-hal tersebut.

Hal itu tentu tidak terlepas dari banjir informasi yang dengan mudah didapatkan. Entah dari TV, koran, media sosial, dan lainnya. Tetapi sadarkah akan hal yang sebenarnya terjadi di negeri ini?

Berangkat dari hal-hal tersebut, tentunya sangat penting bagi kita untuk mengetahui apa sebenarnya yang terjadi di negeri ini, dan untuk itu, kita harusnya mengerti bagaimana memanfaatkan keterbukaan informasi tanpa termakan oleh informasi yang disuguhkan.

Maka, terbentuklah ide untuk mengadakan seminar yang bertema Analisis Framing Media: Yang Media Tidak Katakan.

Seminar tersebut terselenggara dengan lancar, dengan dua pemateri, yaitu Bapak Alex Sobur (Pakar Jurnalistik, Dosen Unisba) dan Muhammad Haeychal (Direktur Remotivi-Lembaga Kajian Media).

Analisis Framing Media itu sendiri sederhananya adalah menganalisis bagaimana media membingkai suatu berita. Berita tersebut tidaklah hoax atau fake, tetapi berita tersebut menggiring opini publik pada pesan yang ingin disampaikan.

Misalnya pemberitaan seputar pilpres tentang judul yang bertajuk: Paslon X menang di daerah pelacuran, berita tersebut seakan mengatakan bahwa yang memilih paslon x adalah pelacur, padahal banyak pula daerah lain yang memenangkannya, demikian pula dengan berita dari media lain yang bertajuk Paslon Y menang di rutan koruptor, seakan mengatakan yang memilih paslon y adalah para koruptor.

Siapa yang memback up? Tentu saja pemilik media yang pendukung salah satu paslon.

Framing media bukan terbatas hanya kepentingkan politik, tetapi ekonomi juga. Bentuk pemberitaan framing media pun berbagai jenis, penyebutan kata sifat dalam pemberitaan, juga termasuk framing media.

Maka, berhati-hatilah dalam menyerap informasi.

Inet Bean
1 Mei 2017