Kamis, 09 Februari 2017

Saat Terakhir dengan Bapak

http://www.caradesain.com/15-foto-pemandangan-langit-yang-mengagumkan/
Sampai sekarang yang kusesali adalah aku gagal memenuhi keiginan Bapak menjelang hari-hari terakhirnya. Malam itu, Bapak bilang ingin wedang ronde. Sederhana. Tapi enggak tahu kenapa malam itu aku nggak nemu penjual wedang ronde.

Sudah kupacu motor ke tempat-tempat yang kuketahui ada penjual wedang ronde. Namun secara ajaib satu pun tidak aku temui. Akhirnya aku pulang dengan rasa yang hampa dan kecewa. Aku juga tidak bisa mencari secara maksimal karena terkendala malam yang mulai larut.

Walaupun Bapak bilang tidak apa-apa, tetap saja ada angin kekecewaan yang menjalar di diriku.

Beberapa hari kemudian, Bapak dilarikan ke rumah sakit. Bapak memang sudah sakit-sakitan sejak aku SMP. Sakitnya musiman, tetapi kalau sudah sakit, ia tidak berdaya, untuk jalanpun susah. Walau begitu, ia tidak berkeluh kesah kepada anak-anak dan istrinya. Barangkali dari situ aku menirunya.

Yang membuatku terenyuh. Ibu selalu sabar merawat Bapak, walau di antara mereka tidak terucap kata cinta. Namun cinta terlihat dari ketulusan Ibu mendampingi Bapak dengan telaten dan diamnya Bapak yang tidak kuasa menambah kesedihan Ibu dengan meratap. Meski aku tahu, rasa sakit yang menjalar dalam tubuhnya begitu menyiksa. Itulah bahasa cinta mereka.

Sekitar lima hari Bapak di rawat di rumah sakit. Tiba-tiba Ibu bilang kalau Bapak mau dibawa pulang. Sementara itu dari cerita Ibu, keadaan Bapak tidak menuju pada kesembuhan. Malam pertama aku menghadapi Ujian Kelulusan SMA justru tidak bisa berkonsentrasi belajar. Pikiranku melayang ke Bapak.

Aku dan tiga kakakku menunggu di teras rumah. Aneh sekali, tidak biasanya kami berkumpul dengan formasi seperti ini. Ketiga kakakku sudah menikah, kalaupun sedang kumpul biasanya bersama dengan suami atau istri mereka. Dua suami kakakku justru ikut menjemput Bapak, dan anak-anaknya menunggu di rumah.

Jalanan sepi. Angin tidak terasa dingin, hawa juga tidak panas. Walau tanganku memegang buku, aku tidak bisa konsentrasi untuk membaca. Sementara itu kakak-kakakku hanya diam duduk disebelahku. Tetiba aku mencium bau harum, seperti aroma bunga mawar tapi lebih wangi. Mungkin perpaduan wangi bunga mawar, melati, dan entahlah. Aku celingak-celinguk, tidak ada orang yang baru lewat. Ada rasa yang bergejolak dalam hatiku.

Beberapa detik kemudian, kakak sulungku memecah kesunyian di antara kami, “Ada yang memcium bau melati nggak?”

“Iya, tapi keknya bukan bau melati deh,” kata kakakku nomor tiga.

Aku kira hanya aku yang mencium aroma itu. Tapi ternyata kami mencium wangi yang sama. Entah, wangi siapa yang tiba-tiba menyeruak itu. Kami tidak tertarik untuk membahas lebih lanjut. Pikiran kami masih sibuk memikirkan Bapak.

Tidak lama kemudian, ada mobil yang berenti di depan rumah, ya... itu Bapak, Ibu, dua kakak iparku dan Bibi. Keadaan Bapak demikian lemah, entah kenapa Ibu membawa Bapak pulang dengan kondisi seperti itu. air hangat menggenang di pelupuk mataku.

Di samping bapak terbaring, kulantunkan ayat-ayat suci Al-Quran. Sementara itu Ibu yang tak kuasa lagi melihat Bapak tetiba pingsan. Tidak pernah aku melihat Ibu pingsan seperti itu, keadaannya begitu rapuh. Tidak lama kemudian setelah Bibi mendekatkan minyak kayu putih di hidungnya, Ibu siuman. Ia ditenangkan oleh Bibi, Paman, dan kakak perempuanku.

Ajal tidak ada yang tahu kapan menjemput. Bapak menghembuskan nafas terakhir pukul 23:30. Isak tangis menyeruak di rumahku. Ibu memelukku erat, menguatkan aku, walau kutahu saat itu dia yang begitu rapuh. Hingga pagi, air mata rasanya tak ada habisnya. Hari pertama Ujian Kelulusan Sekolah, aku tidak berangkat.

9 Februari 2017

Rabu, 08 Februari 2017

Layla-Majnun

http://tamanbacarindang.blogspot.co.id/2014/08/jual-novel-layla-majnun-syaikh-nizami.html
Layla-Majnun, siapa yang tidak tahu kisah Layla-Majnun? Walau tidak tahu bagaimana kisahnya, setidaknya banyak orang yang sudah pernah mendengar kedua nama pecinta itu. Dua insan dengan satu jiwa, pemilik cinta demikian suci nan jernih.

Siapapun yang membaca kisahnya akan larut dalam getaran cinta mereka, ikut meratap saat Majnun alias Qays merintih merindukan dahaga cinta, dan merasakan penderitaan Layla ketika permata bening jatuh dari matanya yang hitam laksana keindahan mata rusa.

Tuh kan, saya saja jadi puitis banget begini, membaca kisah Layla Majnun tidak cukup sekali, rasanya walau berkali-kali akan tetap terasa indah dan tidak membosankan. Keindahan gaya bahasanya begitu sampai pada hati.

Kisah Layla-Majnun di angkat dari kisah nyata dari kisah cinta Qays al Mulawwah, ia hidup pada masa Daulah Amawiyah (Bani Umayyah). Menurut riwayat, Qays meninggal sekitar tahun 65 H atau 68 H, membawa cinta yang membara. Ketika meninggal, ia hanya sendiri, kesepian dan terpencil.

Lalu kisah Qays, si Majnun yang terkenal karena keindahan gubahan syairnya. Diceritakan dari mulut ke mulut dalam bentuk syair, maka dari itu terdapat berbagai versi. Hingga pada tahun 1188 Syaikh Nizami menghimpun dan menuliskan kisah tersebut.

Duhai betapa dunia akan bermuram durja
Bila engkau tidak pernah
Berkunjung ke rumah seorang kekasih
Dan tidak memiliki seorang kekasih
Untuk menghiburmu
Demikian syair pembuka kisah Layla-Majnun

Diceritakan, Qays dan Majnun adalah buah hati dari dua kabilah termasyhur. Sehingga mereka di sekolahkan di sekolah yang berkualitas. Pertama kali mereka bertemu, cinta segera hadir di antara keduanya. Jiwa mereka bergetar. Api asmara segera berkobar dalam dada.

Namun jalinan cinta mereka mendapat banyak onak dan duri. Selalu saja dunia tidak berpihak pada sepasang pecinta itu. Cinta mereka dianggap aib karena berbenturan dengan adat, hingga Layla dikurung di dalam rumahnya.

Qays dirundung kerinduan yang mendalam tak kuasa menahan gejolak cintanya. Ia menjadi liar, seperti orang gila, berlari ke gurun hingga gunung tanpa alas kaki dan pakaian copang-camping sembari meneriakkan nama Layla, sesekali ia bersyair. Begitulah ihwal Qays dipanggil Majnun. Gila. Meskipun sejatinya ia tidak gila, ia menderita karena cinta.

Para pecinta, jadi, tunggu apa lagi? Baca kisah ini, dan tenggelamlah dalam cinta suci yang jernih bagai permata di kedalaman laut yang murni.

Sepenggal syair Majnun
“Kesengsaraan ini milikku
Kesedihan telah menyatu dalam jiwaku
Kenangan tentang bibir yang begitu manis
Telah membelenggu lidahku untuk mengungkapkan pesonanya
Saat sayap cintaku terluka dan tidak dapat terbang
Burung indah memesona yang telah lama aku cari datang di hadapanku
Sesungguhnya, engkau merangkai pesona bidadari
Dan apalah artinya diriku?
Aku tidak mengetahui apapun selain bayangmu
Tanpa engkau aku tiada.
Khayalan telah menyatukan ita berdua
Kita melebur menjadi satu
Menyatu dalam ketetapan cinta.
Kita adalah dua tubuh dengan hati yang satu dan jiwa yang sama
Dua lilin dengan satu nyala api murni, semurni surga
Dari bentuk-bentuk yang sama
Digabung menjadi satu
Dua titik menjadi satu
Tiap jiwa mendukung satu sama lain.”

8 Februari 2017

Senin, 06 Februari 2017

Tempat Makan "Ngikut Aja"

Menurut nasehat lama, kegagalan adalah awal dari keberhasilan. Nasehat lama itu benar sekali (gaya-gaya Tere Liye).

Liburan semester udah berakhir, hari ini awal masuk kuliah. Ah tak terasa, meskipun liburanku terkejawantahkan dalam bentuk pengangguran yang sukses.

Setiap liburan, seperti anak kuliahan pada umumnya, aku dan teman-teman merencanakan sebuah misi, yaitu berkunjung ke tempat yang sedang hits, untuk membuang sisa-sisa tekanan tugas yang sering mendera selama perkuliahan serta meremajakan wajah sebelum terlihat kerutan sebelum waktunya.

Akhirnya kami merapatkan di rumah salah satu di antara kami. Sambil menikmati soto dan minuman yang kami pesan.

“Eh, liburan yuk?” seru seorang teman dengan antusias, wajahnya berbinar seterang lampu neon lima watt.

“Yuk kemana nih?” aku menanggapi. Di susul yang lain dengan pertanyaan yang sama.

“Ke Kembang Langit, tempat yang sedang hits itu....”

“Setuju-setuju....” kami berkoor.

“Terus setelah itu ke Dieng yuk?”

“Iya, tapi kapan nih?”

“Setelah input KRS aja gimana?”

“Oke”

“Oke deal.”

Input KRS pun berlalu. Dan aku tidak sabar mau liburan, rasanya udah bener-bener butuh oksigen yang murni. Yang belum terjamah oleh tangan-tangan knalpot. Di facebook kami rame menagih janji kami, sayangnya semua mendadak jadi penagih janji, tanpa ada yang menepati.

“Gimana? Katanya mau liburan?”

“Iya, udah input nih, ayuk liburan....”

“Jadi nggak nih?”

Dan berakhir seperti itu sampai Kembang Langit berubah jadi Kembang Tanah. Begitulah kami, nggak ada yang mau menggalah jadi pemimpin, ya namanya juga wanita, lebih berbakat dipimpin daripada memimpin.

Tapi gapapa, bukankah kegagalan adalah awal dari keberhasilan? Nasehat lama itu benar sekali (Bang Tere muncul lagi), menjelang dua hari sebelum aktif kuliah, ada teman yang berulang tahun. Setelah mengejutkannya dengan kue, kami akhirnya bisa keluar dari rumah dalam rangka makan-makan gratis (Giliran gratisan pada bisa!)

“Mau makan di mana nih?” tanyaku.

“Terserah kalian, aku ngikut aja deh.” seru yang berulang tahun.

“Gimana?” tanyaku kepada yang lain.

“Aku ngikut aja.”

“Aku juga ngikut aja.”

“Iya aku juga ngikut aja deh.”

“Oke, begitu aja sampe tempat makan bernama “Ngikut Aja” ada yang buat!” Aku menggerutu.

“Emang ada tempat makan Ngikut Aja?”

“Ada, nanti aku yang punya.” Jawabku dengan senyum manis.

Inet Bean
6 Februari 2017

Minggu, 05 Februari 2017

Mitos Hermaphrodite

http://blogjolemo.blogspot.co.id/2016/07/apa-itu-cinta.html
Mencintai seseorang bukan berarti menyatu dengan orang itu. Mitos Hermaphrodite mencoba menjelaskan mengapa manusia sangat condong untuk menyatu dengan kekasihnya.

Dalam dialog Plato yang terkenal, Symposium, Aristophanes memutuskan membantu kawannya untuk mempelajari rahasia kekuatan cinta. Dia mulai dengan mengisahkan kembali mitos bahwa manusia pada dasarnya hermaphrodite: setiap manusia mempunyai dua kelamin sekaligus, dengan empat kaki dan empat tangan, dan mampu berjalan ke segala arah, atau berlari dengan cara berputar-putar.

Diceritakan bahwa sang manusia berkelamin ganda itu sangat kuat, penuh percaya diri dan perkasa sehingga mereka menjadi ancaman pada dewa. Para dewa kemudian berdebat tentang bagaimana cara mengurangi kekuatan manusia berkelamin ganda ini.

Akhirnya Zeus, sang pemimpin dewa memutuskan untuk memisahkan kelamin itu dan mengatur agar reproduksi dilakukan dengan cara hubungan kelamin. (17+)

Hasilnya adalah pembagian yang penuh: masing-masing bagian terpaksa mencari partner untuk memulihkan kekuatannya yang dahulu pernah ada. Cinta, Aristophanes menyimpulkan, adalah nama untuk keinginan dan pencarian akan keseluruhan. Kembali ke cinta yang universal.

Oke, jadi menurut mitos tersebut. Manusia cenderung ingin bersatu dengan kekasihnya, karena memang dulunya mereka adalah satu. Dan untuk menyatukan mereka kembali, mereka mengandalkan kekuatan, yang bernama cinta.

Hidup adalah mencari jawaban. Manusia selalu bertanya-tanya dan berusaha mencari jawaban. Mereka menggunakan akalnya untuk mencari jawaban dari sesuatu. Barangkali itulah kenapa manusia membuat mitos untuk jawaban dari sesuatu yang belum mereka ketahui.

Jaman sekarang teknologi sudah berkembang pesat, hal-hal yang dulunya belum terjawab, sekarang teknologi bisa menjawabnya, mitospun ditinggalkan seiring dengan pengetahuan yang telah menjawabnya.

Namun menurut saya mitos adalah kekayaan imajinasi manusia, sastra yang tidak tertulis, dan sejarah manusia berpikir.

Kembali ke mencintai seseorang bukan berarti menyatu dengan orang itu, jadi bagaimana menurutmu?

5 Februari 2017

Sabtu, 04 Februari 2017

Menjadi Guru Seperti Korosensei

http://movfreak.blogspot.co.id/2016/04/assassination-classroom-graduation-2016.html

Tidak ada kepastian seseorang kelak akan berprofesi sebagai apa. Tulisan ini saya dedikasihkan kepada orang-orang yang secara misterius dituntun takdir untuk menjadi guru, juga bagi guru-guru.

Saya pernah mendengar cerita-cerita seseorang yang tidak bercita-cita menjadi guru, namun akhirnya menjadi guru. Saya sendiri tidak bercita-cita menjadi guru, namun tidak tahu kenapa saya kuliah di jurusan pendidikan.

Seiring dengan berjalannya perkuliahan, dan melihat situasi moral anak bangsa saat ini, saya jadi tergerak untuk menjadi guru. Walau jika melihat diri sendiri, rasa-rasanya belum pantas menjadi guru. Teladan apa yang bisa saya berikan? Bagaimana cara mendidik bukan hanya sampai pada ranah intelektual saja, namun juga emosional dan spiritual?

Bagi saya sesuatu harus dilakukan dengan hati. Kalau sesuatu itu dari hati, pasti akan sampai pada hati. Seperti Korosensei. Guru dadakan yang bersungguh-sungguh untuk menjadi guru. Ia menggantikan menjadi guru dan wali kelas di kelas E (kelas buangan) atas permintaan wali kelas sebelumnya, Yukimura Sensei.

Saat detik-detik terakhir hidup Yukimura Sensei, ia berkata kepada Korosensei, “Jika kau ingin menggunakan waktumu. Tolong ajari anak-anak itu sepertimu. Mereka tersesat dalam gelap. Pandang lurus mereka. Aku yakin, Kau akan menemukan jawabanmu.”

Korosensei menjadi guru yang tulus. Ia memberi semangat baru pada murid-muridnya, sehingga mereka tidak merasa tak berguna. Semangat mereka tumbuh kembali. Ia juga membantu murid-muridnya menentukan tujuan hidup, cita-cita mereka kelak.

Dalam bersikap, Korosensei memperlakukan muridnya layaknya teman. Tahu saat harus membantu atau membiarkan murid-muridnya menemukan jawaban dari sesuatu.

Film Assassination Classroom – The Graduation, banyak terdapat slentingan-slentingan bagaimana seharusnya mendidik, bagaimana seharusnya dunia pendidikan memperlakukan murid, bagaimana seharusnya guru menempatkan diri.

Di akhir film, ada ucapan yang sederhana, tapi tidak sesederhana kenyataannya. “Ini bukan masalah benar atau salah. Siswa SMP mampu memecahkan formula kimia tak terpecahkan. Mereka melakukannya demi menyelamatkanku. Sungguh luar biasa. Mereka membuat obat itu. Yang penting adalah prosesnya.”

Yah, yang terpenting segala sesuatu adalah prosesnya, hasil adalah bonus. Oh ya Korosensei itu manusia yang berubah menjadi makhluk aneh (emoticon bertentakel, haha), Kalau penasaran, mendingan download dan tonton deh filmya.

4 Februari 2017

Jumat, 03 Februari 2017

Menuju Impian Kita

30 Januari 2017

Kita memastikan segalanya berjalan sesuai dengan tujuan, memantabkan tekad, menyongsong perubahan yang progresif. Bersama-sama menyiapkan jiwa dan raga, seperti rekahan mentari pada fajar kedua, seindah semburat awan menuju masa yang paling terang.

Tak lupa meminta restu pada pendahulu kita, mereka seumpama pohon tegar hasil terpaan berbagai musim. Kita mendatangi hari bahagia keluarga kita, wisuda kakak-kakak kita. Dan jangan lupa, kita juga mengunjungi kakak kita yang masih betah menyandang mahasiswa, bersama kakak kita yang sudah bebas status mahasiswa.

Bercengkrama bersama, dengan bonus bakso gratis. Bukankah ini kenangan manis? Semanis saat bibir kita mencecap teh manis.


31 Januari 2017

Jangan pernah lupakan saat ini, jika ucapan dengan mudah terlupakan. Maka lihatlah kita saat ini, sehingga kita tak akan pernah lupa atau melupakan janji-janji yang telah terucap. Seperti rindu, janji harus dibayar tuntas.

Kita dituntut bersikap bijak dan bertanggung jawab. Bukan suatu beban, tapi impian kita, komitmen yang terajut dalam bingkai rumah kita, Lembaga Pers Mahasiswa Al-Mizan. Yang menjadi timbangan keadilan, yang bersenjatakan aksara.

Kepalkan tangan, Salam Pers Mahasiswa!

1 Februari 2017

Berangkat bersama dan pulang bersama. Berkelak-kelok jalan menuju rumah saudara kita, begitulah nantinya kita. Bersama-sama menuju tujuan. Kadang bertemu tanjakan, turunan, berbelok ke arah yang salah. Kita lalui dengan senyuman, tetap bersama, dan pada akhirnya sampai dengan rona bahagia di wajah-wajah kita.

Kita menentukan impian-impian kita, kemudian menuliskannya, agar kita tak lupa. Dan tetap dalam rel yang telah ditentukan. Selamat berjuang untuk kita, semoga yang sudah baik akan lebih baik lagi, tetap jaga semangat kita, tetap dalam satu kesatuan keluarga kita, LPM Al-Mizan.


3 Februari 2017

Kamis, 02 Februari 2017

Saat Ikrar Terucap

Saat Ikrar Terucap

Saat ikrar terucap, serupa perjalanan panjang dengan kepayahan dan keajaiban dalam mencapai puncak gunung. Semesta selalu membuka pintu-pintunya, membantu dengan segala keagungannya. Sungai, lumut, pepohonan, adalah petunjuk-petunjuk alami yang tak mampu berdusta. Sebentuk tekad dan jerih payah, adalah jalan terjal menuju surga di seberang.

Ketika terlihat peluh di keningmu, membuatku merasa gentar, angin keraguan berhembus pelan, mengsangsikan kemampuanku. Aku bertanya pada udara kosong, bagaimana jika nantinya hanya bermuara pada kegagalan, pada kekecewaan, pada penghianatan. Bagaimana jika hanya ucapan semu yang berikrar, bagaimana jika dan bagaimana jika.

Kau tersenyum. Bagaimana bisa kau tersenyum saat berpeluh? Aku yakin itu bukan sebuah senyum paksaan, bukan pula senyum penghianatan. Lalu apa yang membuat senyum mekar di wajahmu? Sedetik kemudian aku menangkap bayangan keceriaan di bola matamu. Orang-orang yang begitu saja melakukan apapun tanpa pamrih. Kini tanganmu menempel di dada. Hati nurani, bisikmu.

Bicarlah lagi, meski dengan berbisik akan kudengar. Aku begitu membutuhkan. Orang-orang selalu bilang motivasi itu penting. Memperbarui semangat selalu berhasil. Dan bagaimana aku bisa mendapatkannya?

Kau hanya tersenyum, menepuk pelan dadamu, berkali-kali. Jika kau bisa berbisik, kenapa lebih menyukai bahasa isyarat itu? Membuatku harus berpikir keras dan menirukan gerakan-gerakanmu, persis sama. Berulang-ulang, dalam keheningan.

Semakin lama, aku kepayahan. Hampir saja aku menyerah mengulang-ulang gerakan yang sama. Sementara itu peluh mulai bermunculan. Aku gemetar. Tak ada bisikan lagi darimu. Aku masih menunggu. Sebentar lagi tubuhku akan ambruk.

Tiba-tiba aku mendengar suara, bukan darimu, entah darimana. Suara itu semakin jelas kudengar, berulang-ulang. Aku ketakutan. Dan kau tampak tersenyum lebih indah dari awal. Peluhmu hilang, dan ternyata begitu juga dengan peluhku. Suara itu, suara itu semakin membuat tubuhku kembali tegak. Rasa lelah seketika lenyap bersama peluh-peluh yang menguap.

Begitulah aku tahu apa yang harus kulakukan. Tak ada lagi pertanyaan bagaimana jika, yang ada sekarang adalah kenapa tidak? Kenapa tidak? Kenapa tidak?

Kau masih dengan senyummu. Aku perlahan berjalan mundur, kau semakin kecil kemudian tak terlihat saat aku bergegas meninggalkan kamar. Ah ada sesuatu yang tertinggal. Aku kembali ke kamar, lalu tersenyum melihatmu.

“Kau pasti bisa,” bisikmu.

“Bercerminmu sudah lebih dari satu jam, bercermin lagi?” kata Ibu.

Inet Bean
2 Januari 2017

Rabu, 01 Februari 2017

Jika Sumpah atas Nama Tuhan Tak Lagi Mempan

Jika Sumpah atas Nama Tuhan Tak Lagi Mempan

Jika sumpah atas nama Tuhan tak lagi mempan, maka dengan apalagi manusia-manusia berikrar? Apa jadinya jika tuhan hanya untuk pajangan-pajangan rumah saja? Apa yang bisa menghalangi manusia tidak mengingkari aturan Tuhan? Ah kan aturan tuhan mereka jadikan mainan? Tapi aturan tuhan yang mana? Atau jangan-jangan mereka ingin menjadi tuhan?

“Ah kau ini, apakah dirimu sendiri sudah bisa mengikuti aturan Tuhan?”

Apakah sebentuk pertanyaan harus berakhir pada pertanyaan pula? Lalu apa gunanya ada pertanyaan jika tidak ada jawaban? Apa gunanya mempertanyakan kalau jawabannya adalah mempertanyakan kembali? Dunia adalah pertanyaan. Manusia yang punya perasaan dan impian tidak akan tenang hidupnya sebelum mendapat jawaban.

“Sudah sejak lama aturan tuhan dijadikan mainan, tidak terkecuali mereka yang mengaku dekat dengan Tuhan”

Manusia itu makhluk yang penuh perhitungan. Bahkan kepada Tuhan pun mereka hitung-hitungan. Apakah Tuhan juga perhitungan? Darimana kita bisa tahu jawaban dari Tuhan? Apakah kita harus tidur dulu lalu bangun lalu tidur lagi dan di dalam mimpi tiba-tiba saja Dia memberikan jawabannya? Atau kita bertanya pada wakil Tuhan setelah lonceng berdentang tiga kali? Bagaimana jika jawabannya terletak pada semedi yang panjang? Atau pada lilin-lilin merah yang menyala? Mana yang lebih bisa menjawab atau yang lebih bisa menjamin sumpah selalu mempan?

Kadang pada saat kesenangan menghampiri mereka melupakan sumpah, dan di saat kemalangan atas konsekuensinya mereka kembali bersumpah atas nama Tuhan. Begitukan mereka memperalat tuhan? Hanya untuk kepentingan pribadi. Sekarang ini tidak juga yang mengaku dekat dengan Tuhan, nyatanya mereka tetap tidak puas dengan yang Tuhan beri.

“Kau ini, begitu saja heran.”

Semua orang pasti heran. Apa yang mereka cari? Kedudukan yang tinggi? Sudah. Uang? Sangat lebih dari kata cukup. Lalu untuk apa lagi? Di tempat lain seorang ibu bahkan menawarkan pilihan akan makan siang saja atau malam saja pada anak-anaknya. Tinggal dengan terlunta-lunta, berpindah dari satu kontrakan ke kontrakan yang lain. Bagaimana kalau kita bicarakan keadilan Tuhan?

“Kau ini semakin ngaco saja. Manusia tidak akan pernah merasa puas.”

Aku ini tidak paham soal keadilan. Barangkali kau benar, semua ini soal rasa puas dan tidak puas, atau mungkin soal bahagia dan tidak bahagia, rasa cukup dan tidak cukup. Bagi kita bisa makan tiga kali sehari saja itu sudah sebentuk kenikmatan.

“Bahagia datangnya dari hati.”

Mereka melupakan hati, melupakan hal-hal sederhana, melupakan hidup, melupakan mati, melupakan...


“Jangan lupa untuk bernafas....”

1 Februari 2017