Senin, 29 Februari 2016

Aku Gabung ODOP Karena Apel (Jatuh)


Mengapa aku gabung di One Day One Post? Mengapa tidak? Hayo?
Jadi gini, alkisah aku sedang duduk termenung di bawah pohon apel. Memikirkan tentang cita-cita. Bagaimana cara mewujudkan dan meraihnya. Serta tak lupa memikirkan kenapa langit biru. (Loh..?)
Di tengah-tengah klimaks aku merenung. Tiba-tiba apel jatuh mengenai kepalaku (Lumayan sakit sih, tapi ini gak penting. Lupakan. Oke lanjut). Apel itu begitu terlihat ranum, merah menggoda, membuatku ingin memakannya.

Aku melihat apel tersebut. Dan berpikir, kenapa kepalaku terkena apel jatuh? Kenapa apel itu jatuh tepat saat aku duduk di bawahnya? Kenapa pula apel itu jatuh ke bawah? Ko' gak jatuh ke atas?

Nah itu adalah awal tercetusnya gaya gravitasi. (Loh? Kamu gimana sih Net, apa korelasinya dengan kenapa kamu ikut ODOP? 

Iya ya? Apa? Ntar deh tak pikir dulu, hehe)

Oke, aku flashback dulu. Sebenarnya aku sudah punya blog sejak dua tahun lalu. Tepatnya setelah lulus dari Madrasah Aliyah Salafiyah SimbangKulon Pekalongan (Setingkat SMA). Tapi sampai sebulan yang lalu hanya ada dua tulisan di blog malang tersebut (itu artinya setahun satu tulisan haha...).

Tapi gak berarti aku gak nulis. Aku tetap menulis, hanya saja di facebook. Nah, ketika aku updet status di fb, tidak jarang ada yang berkomentar, itu status apa koran?, itu status apa ular?, itu status apa majalah?, itu status apa pelajaran?


Pertanyaan itu karena you know lah ya? Aku terlalu panjang dalam mengupdate status, entah itu puisi, opini, cerpen, ataupun tulisan absurd. Lebih banyak tulisan absurd sih, makanya banyak yang bingung dengan statusku. Lah aku aja bingung dengan statusku sendiri. Aku ini sebetulnya jomblo apa single? ( loh nyambungnya ko' curcol sih Net?

Hehe sory deh, jadi baper kalo bahas status)

Oleh karena itu, aku inisiatif ingin kembali menghidupkan blogku (walaupun sebenarnya belum pernah hidup haha). Jadi sebelum makin banyak yang protes  dengan status ularku. Maka aku mulai melirik blog dan setelah melakukan modifikasi asal-asalan seorang amatir.  Pada tanggal 13 Februari 2016, ku isi blog itu dengan catatan absurd dan puisiku. (Orang bilang 13 itu angka sial, itu anggapan salah kaprah. Buktinya aku justru mendapat suatu anugrah, anugrah apakah? Jawabannya ada di bawah)

Pada suatu hari yang membosankan. Aku melihat-lihat beranda fb. Dan terlihatlah sesuatu yang memancarkan aura mengesankan dan membuat hatiku berdesir. Bagai menemukan jus apel di tengah padang pasir lalu aku pun meneguknya. Dan hawa kesejukan merambah ke seluruh aliran darahku.
Postingan itu bagaikan Pangeran yang mengawe-awekan tangannya agar aku datang kepadanya. (Oh pangeranku, aku segera  datang...)

Ya, itu adalah postingan Bang Syaiha yang dengan lemah gemulai menari-nari di  beranda fb dan segera membuatku tersepona eh terposena, aduh maksudnya ter-pe-so-na.
Jangan negative thingking loh ya. Aku gak maksud merebut Bang Syaiha dari istrinya ko'. Tapi bermaksud untuk mengikutinya, bukan menguntit loh ya. Akan tetapi ikut ODOP 2.

Jadi kembali lagi ke apel. Apel itu jatuh ketika aku duduk di bawahnya. Dan karena itu aku menemukan gaya gravitasi (Newton loh maksudnya, hehe). Bukan suatu kebetulan bukan? Dan apel pun jatuh ke bawah bukan suatu kebetulan juga. Ada peggerak di luar kendali kita.

Begitulah kira-kira alasan kenapa aku ikut jatuh, eh maksudnya alasan aku ikut ODOP. Tanggal 13 posting di blog dan memutuskan untuk menjadi blogger. Tanggal 20 aku melihat postingan Bang Syaiha. Itu bukan suatu kebetulan bukan? Melainkan itu adalah jodoh. Ya, Yang Maha Tahu Segalanya merestuiku untuk menulis di blog.
Jadi aku pun langsung mendaftar dengan berkomentar di sini.

Kata Imam Syafi'i kurang lebih begini; ada sesuatu yang cukup untuk dirimu sendiri, orang lain tidak perlu tau. Dan memang ada sih alasan lain. Tapi kalian akan segera mengetahuinya ketika alasan itu sudah ada di tangan kalian.

***

ODOP lah anugrah dari angka 13 yang kumaksud. Semangat menulis teman-teman!!!. Karena setiap penulis tentu akan meninggal, hanya karyanyalah yang akan abadi sepanjang masa.  Demikian petuah Khalifah Ali bin Abi Thalib.

Yang pada intinya Inet suka makan Apel.
( Mulai deh absurdnya, Net Net..., Saya mewakili Inet untuk mengatakan, Maaf, Sekian, dan Terima Kasih)

#OneDayOnePost
#MenulisSetiapSaat

Minggu, 28 Februari 2016

Agama Baru itu Bernama; HAM


"Terserahku dong, kan HAM?" Demikian jawaban temanku saat aku protes dia membedaki pipiku dengan penghapus papan tulis kapur.
Aku rasa tidak masalah dengan jawaban demikian saat itu, walau dalam hati 'awas ya, aku bales ntar.'

Karena waktu itu aku dan temanku baru kelas tiga Sekolah Dasar. Kami tentu belum memahami apa itu HAM? Sekedar ikut-ikutan trend saat itu. Yang dipahami bahwa ketika kita mau melakukan apa saja, baik atau pun buruk bisa beralasan HAM.

Maka kenakalan apa saja, seperti mengambil pulpen tanpa ijin, coret-coret buku teman, membedaki teman dengan penghapus papan tulis kapur dan sebagainya. Itu semua lolos dengan kalimat "Terserah week, kan HAM?"

Begitulah kenangan masa kecilku tentang HAM. Dan sepertinya sekarang tidak banyak orang dewasa pun memahami HAM sama seperti trend saat aku kecil.

HAM. Singkatan dari Hak Asasi Manusia.
Hak adalah segala sesuatu yang harus di dapatkan oleh setiap orang yang telah ada sejak lahir bahkan sebelum lahir. Asasi adalah sesuatu yang bersifat dasar; pokok. Dan Manusia merupakan makhluk yang berakal budi (mampu menguasai makhluk lain); insan; orang.
Berarti dapat digabungkan bahwa Hak Asasi Manusia yaitu segala sesuatu yang harus di dapatkan oleh setiap orang yang telah lahir bahkan sebelum lahir akan suatu sifat dasar dari makhluk yang berakal budi.
Tapi selain Hak, manusia juga punya Kewajiban. Kewajiban sendiri merupakan sesuatu yang diwajibkan; sesuatu yang harus dilaksanakan; keharusan.

***
Nah setelah tau apa itu Hak dan Kewajiban. Sekarang giliran melihat fenomena sekarang ini. Orang-orang dengan lantang memperjuangkan hak. Tapi benarkah yang diperjuangkan itu adalah hak dari sifat dasar makhluk yang berakal?

Benarkah mereka telah memahami esensi Hak dan Kewajiban?
Karena sekarang yang sedang In adalah LGBT. Ambilah contoh LGBT. Mereka menuntut hak untuk dimanusiakan, dilegalkan prilaku mereka, diakui eksistensi mereka.

Maka satu persatu negara mulai melegalkan semua tuntutan itu. Jika hal tersebut semakin dikampanyekan dengan gencar. LGBT akan menjadi trend. Dan ketika LGBT menjadi trend. Beramai-ramai orang meniru perilaku tersebut.
Apa yang terjadi? Kiamat.
Kiamat bagi umat manusia. Bagaimana mau bereproduksi kalau jeruk makan jeruk?
Lalu apakah manusia normal juga harus mengkampanyekan haknya?
Ketika akalbudi manusia sudah terbalik, hal seperti itulah yang terjadi.

Menuntut hak dengan mengacuhkan kewajiban. Seperti mau makan di warung tapi tidak mau bayar. Tentu saja pemilik warung marah. Lalu pembeli itu bilang "Ini hak saya, hak manusia untuk hidup, dan hidup butuh makan," terang saja orang lain yang makan di warung itu akan menganggap pembeli itu kurang waras.
Jika di logika tentu pembeli lain akan membela si penjual. Kalaupun ada yang membela pembeli yang gak mau bayar karena hak hidupnya, berarti mereka satu spesies (haha...)

Mereka menuntut hak dengan merampas hak orang lain.
Sebenarnya LGBT itu minta diakui yang bagaimana? Bukankah ketika mereka keluar rumah dengan tingkah laku biasa maka orang lain akan bersikap biasa saja. Ataukah mereka menuntut untuk bisa bermesraan di tempat umum?
Hal ini berbanding terbalik dengan fenomena tentang diskriminasi yang seringkali di masyarakat. Yaitu menyangkut penampilan ataupun pakaian.

Misalnya saja pria yang berjenggot dan jidatnya hitam. Apa yang di mindset kalangan  luas? Teroris. Dan juga wanita yang bercadar maupun yang berjilbab besar. Mereka kerap dicap sebagai Islam garis keras.

Bukankah berpakaian itu hak mereka? Kenapa sesuatu yang tidak merugikan dianggap negatif?
Ketika seseorang yang berpenampilan seperti itu melamar kerja, akankan perusahaan menerima? Akankah tidak ada tatapan sinis saat berinteraksi di kawasan umum?
Sesuatu yang kecil akan tiba waktunya menjadi besar. Dan ketika sudah besar maka terlambat sudah untuk membuatnya kecil.

Kita analogikan suatu pohon mangga yang besar dan tiap tahun berbuah. Buahnya lezat, manis, dan warnanya menggiurkan. Lalu suatu ketika tumbuh tanaman parasit. Menumpang di pohon mangga tersebut.

Ada dua pilihan bagi si pemilik. Ketika si pemilik segera membuang parasit tersebut maka pohon mangga terselamatkan. Tetapi ketika si pemilik berprasangka pohonnya tidak akan terjadi apa-apa, toh yang menumpang hanya tumbuhan parasit kecil.
Maka lambat laun pohon tersebut akan terjadi perubahan. Mulai dari buahnya tidak selezat dulu, lalu buahnya mulai berkurang, dan selanjutnya tidak berbuah. Dan saat itu tanaman parasit sudah hampir menguasai pohon mangga tersebut.

Apa yang harus dilakukan si pemilik agar pohon yang lain tidak tertular tanaman parasit tersebut?
Menyingkirkan tanaman parasit dengan menebang pohonnya. Maka sudah selesai riwayat hidup pohon mangga tersebut.

***
Cuitan Inet.
Sedih ya, kalau akhirnya pohon mangga itu harus dimatikan.
Begini ya dunia, sudah sangat mengerikan. Logika dengan gampang dibolak-balik atas dasar payung HAM.

Semoga belum terlambat menunda kiamat. Karena salah satu tanda kiamat adalah munculnya kaum nabi Luth (Gay)
Ya Allah, Lindungilah Kami dari fitnah akhir zaman...
Allahma Inna Nas-alukallutfa Fiimaa Jarats bihil maqaadiiru.
Ya Allah, aku mohon belas kasihan atas segala perkara yang telah Engkau pastikan.

Jumat, 26 Februari 2016

Menulis dan Membaca; Sabda Zarathustra

Dari semua yang telah ditulis, aku hanya mencintai apa yang ditulis seseorang dengan darahnya. Menulislah dengan darah dan kau akan dapati bahwa darah itu roh.
Bukan suatu kemungkinan yang mudah memahami darah yang asing; aku membenci orang-orang yang malas yang suka membaca.

Dia yang tidak melakukan apapun kepada pembaca, dialah yang telah mengetahui siapa pembaca. Seabad lagi dipenuhi pembaca- dan roh itu sendiri akan membusuk.
Bahwa semua orang diperbolehkan belajar membaca, pada akhirnnya itu tidak hanya akan merusak tulisan tapi juga pemikiran.

Dulu roh adalah Tuhan, sekarang ia menjadi manusia, dan kini bahkan telah menjadi orang banyak. Dia yang menulis dalam darah dan pepatah tidak ingin dibaca, tapi ingin dihafalkan.

Di pegunungan jarak yang paling pendek adalah garis lurus dari puncak yang satu ke puncak lain, tapi untuk melewati itu, kau harus punya kaki yang panjang. Pepatah adalah puncak-puncak dan mereka yang mendengarnya harus tinggi dan besar.
Hawanya murni dan langka, bahaya ada di dekatnya dan roh penuh dengan kelicikan yang penuh kesukaan: segalanya bersesuaian satu sama lain.

Aku menginginkan setan-setan di sekitarku, sebab aku berani. Keberanian yang mengusir semua hantu , menciptakan setan untuk dirinya sendiri - sebab keberanian itu ingin tertawa. 

Aku tidak lagi merasa sama dengan dirimu; sebab awan yang kulihat ada di bawahku, awan hitam dan berat dan kutertawakan - masih merupakan awan geledek bagimu.
Kalian memandang ke atas ketika kalian merindukan pujian; tapi aku justru menunduk ke bawah sebab aku telah ditinggikan.

Siapa di antara kalian yang dapat tertawa dan sekaligus ditinggikan?
Yaitu dia yang memanjat gunung tertinggi, mentertawakan semua tragedi dan realitas yang tragis.
Berani, tak acuh, sinis, menindas - demikian yang di inginkan kebijaksanaan dari diri kita; kebijaksanaan adalah seorang wanita, dan ia hanya mencintai pejuang.

Kalian berkata kepadaku, "Hidup itu sulit untuk dijalani."
Tapi untuk apa kalian berbangga di pagi hari dan menyerah di malam hari?
Hidup itu sulit: tapi tidak usahlah kalian berlagak rapuh seperti itu di hadapanku! Kita semua adalah keledai-keledai beban yang kuat.

Apa persamaan kita dengan kuncup mawar yang gemetar karena dijatuhi setetes embun?
Memang kita mencintai hidup; bukan karena kita ingin hidup, tapi karena kita ingin mencintai.

Cinta selalu mengandung kegilaan, tapi nalar juga selalu ada dalam kegilaan.
Dan bagi diriku yang menghargai hidup ini, tampaknya kupu-kupu, gelembung sabun dan lainnya yang mirip seperti itu di antara kita merekalah yang paling mengenal kesukaan.

Melihat rupa-rupa yang ringan, konyol, cantik, dan lincah ini terbang ke sana ke mari - itulah yang membuat Zarathustra menyanyi dan meluncurkan air mata.

Aku hanya harus percaya pada satu Tuhan yang mengerti bagaimana menari.
Dan ketika aku melihat iblisku, aku mendapati bahwa dia serius, total, dalam, dan khidmat: dia adalah roh berat - olehnya semua benda jatuh.

Bukan dengan amarah, tapi dengan tawa, kita membunuh. Mari, marilah kita binasakan roh berat ini!
Aku telah belajar berjalan dan sejak itu aku telah membiarkan diriku berlari. Aku telah belajar terbang dan sejak itu aku tidak perlu dilemparkan untuk tiba di suatu tempat.

Sekarang aku ringan, dan aku terbang; sekarang melihat diriku sendiri di bawah diriku. Sebab Tuhan sedang menari dalam diriku.
Demikian sabda Zarathustra.



***
Ketika aku membaca Sabda Zarathustra milik Nietzsche, ada teman yang juga ingin membaca buku itu. Lalu dia memintaku menuliskan salah satu sub bab. Dia bilang Nietzsche adalah filsuf favoritnya. Jadi aku rela menuliskan satu sub bab di atas untukknya.

Membuat seseorang senang. Apalagi dengan tulisan. Bahagia adalah keniscayaannya. Barangkali dengan aku share di blog akan menambah kebahagiaan. Bukan hanya bagiku, tapi bagi setiap pembaca yang menghayati cuplikan karya Nietzsche di atas.

Gegara buku itupun aku jadi jatuh cinta pada gaya penulisannya yang bermakna dan penuh penekanan. Namun lembut dan ber-estetika.

Kamis, 25 Februari 2016

Rasa Sepi dan Waktu bagi Ibu


Seorang ibu juga butuh waktu anaknya. Dapat kusimpulkan begitu, dari apa yang terjadi  antara aku dan ibuku. Waktu untuk sekedar mengobrol. Dari obrolan penting sampai obrolan ringan saja. Entah tentang impian, cita-cita, pendidikan, politik, sampai ekonomi.

Akhir-akhir ini aku memang sibuk. Jam setengah tujuh berangkat kuliah, pulang jam dua lebih, dan itupun tidak langsung pulang. Kadang aku keperpus atau kalau tidak ke graha mahasiswa (kantor organisasi intra kampus).

Hari ini pun aku pulang jam setengah lima. Istirahat sebentar lalu mandi dan tidak lama kemudian maghrib. Setelah itu kegiatanku di kamar. Entah mengevaluasi mata kuliah besok, berselancar di sosial media, membaca atau pun menulis.

Ketika aku baru saja mau membaca novel. Ibu memanggilku untuk ke ruang keluarga. Segera aku menghadap ibu.
"Kamu sibuk Nduk?" Tanya ibu.
"Gak Bu, ada apa?" Jawabku sembari duduk di sampingnya.
"Gapapa, kalau gak sibuk ya temani Ibu duduk di sini."
"Iya Bu...."

"Ibu ini sudah tua. Di umur yang sekarang ini Ibu hanya ingin mendekatkan diri kepada Gusti Allah. Mendoakan Bapakmu agar diampuni segala kekhilafannya." Mata ibu selalu berkaca-kaca jika membahas tentang bapak. Aku hanya bisa mendengarkannya kala ibu sedang teringat bapak.
Ibu melanjutkan penuturannya, "kadang ibu merasa kesepian. Tapi ibu gak mau melayani seorang suami lagi. Ibu ingin fokus kepadamu dan ibadah Ibu."
Wajahku tertunduk, aku tau maksud ibu. Aku terlalu larut dengan duniaku. Hingga jarang bersua dengannya. Padahal keluarga ini tinggal aku dan dia.

"Ohya, tadi pamanmu bilang ada yang mau bersama Ibu." Tutur Ibu yang membuatku mengernyitkan dahi.
"Maksudnya menikah Bu?" Sergahku.
"Iya...."
"Kalau Ibu nikah lagi aku mau tinggal di sini sendiri, dan silahkan Ibu ikut suami Ibu." Terangku pada Ibu, dengan senyum meledek.
"Terus makannya gimana?" Tanya ibu dengan senyum meledek juga.
"Ya masak dong," aku tak mau kalah.
"Uangnya?" Cecar Ibu.
"Minta Ibu, hehe...."

Kita tertawa bersama. Sebenarnya pembahasan tentang menikah lagi hanya pancingan gurauan dari ibu. Mungkin wanita yang kini umurnya setengah abad lebih itu hanya mengetes anaknya saja bagaimana rekasinya.

Aku tidak melarang andaikan Ibu mau menikah lagi. Tapi bagiku Ayahku adalah Bapak. Tidak ada yang bisa menggantikannya. Prinsipku andaikan Ibu menikah lagi. Aku tidak mau tinggal bersama suami Ibu.

Tapi Ibu hanyalah seorang ibu yang merindukan buah hatinya. Menginginkan bersua bersama anaknya. Mendamba bersenda gurau dengan putrinya. Dan berharap aku bisa meluangkan waktu untuk kita berdua.

Luangkan waktu untuk menghapus kesepian Ibu. Karena kita tidak tau apakah esok nyawa kita masih bersatu dengan badan atau tidak.
Tentu kita tau. Di telapak kaki, anggota tubuh yang paling bawah seorang Ibu. Ada Surga di sana.

Rabu, 24 Februari 2016

Benarkah Menikah dapat Mengangkat Harkat dan Martabat Perempuan?


Pada zaman sebelum Islam datang, kaum perempuan derajatnya dianggap rendah. Bahkan ketika itu jika seorang istri melahirkan bayi perempuan, maka suaminya segera mengubur bayi tersebut hidup-hidup.

Begitu bobroknya moral saat itu. Zaman Jahiliyah, berasal dari kata Jahl yang artinya bodoh. Bukan berarti orang-orangnya bodoh secara intelektual. Tapi lebih dari pada itu. Bodoh dalam hal moral, sosial budaya, politik, dan aspek kehidupan lainnya.

Islam datang dengan membawa rahmat bagi semesta alam. Termasuk keadilan bagi perempuan sebagai manusia yang mempunyai hak asasi sama dengan laki-laki. Bahwa bagaimanapun keadaan seorang manusia, yang menentukan derajat manusia tersebut adalah hatinya.

Seiring dengan perkembangan zaman. Perempuan telah mendapatkan kembali hak asasi manusianya. Berbagai aktifis kesetaraan gender tak henti-hentinya menyuarakan hal tersebut.

Salah satu dari pengangkatan derajat seorang perempuan adalah dengan menikah. Menikah bukanlah soal pengekangan, sekat, ataupun bentuk ketidakbebasan seperti yang disuarakan oleh orang-orang yang kontra terhadap lembaga pernikahan.

Seorang filsuf eksentrik, Nietzche mengatakan " Rasa hormat terhadap satu sama lain, sebagai orang yang melaksanakan kehendak itu, itulah yang kusebut pernikahan."

Rasa hormat atas pertalian hubungan antara laki-laki dan perempuan merupakan hakikat pernikahan.
Pernikahan bukan hanya soal legalitas berhubungan seks.
Maka ketika laki-laki dan perempuan menikah. Secara otomatis keduanya mempunyai hak dan kewajiban. Keseimbangan dan kesetaraan gender. Suami dan istri mempunyai porsi masing-masing dalam menjalankan biduk rumah tangga.

Jika dalam agama Islam. Seorang yang menikah maka telah menyempurnakan sebagian imannya dan mengikuti sunnah Rasulullah.
Adapun keistimewaan perempuan ketika sudah menikah lalu melahirkan anak. Nabi telah bersabda bahwa ibu lebih utama tiga tingkat dari ayah. Tetapi surganya seorang istri berada pada suami.

Kenapa Menikah mengangkat harkat dan martabat perempuan?
Ketika menikah, maka seorang perempuan mendapat kejelasan status. Dalam realitanya perempuan yang menikah lebih terhormat dari perempuan yang kerap keluar rumah bersama laki-laki yang bukan mahramnya.
Hak dan kewajiban jelas melekat padanya. Seorang istri mempunyai porsi dalam mengatur rumah tangganya. Jika suami diibaratkan sebagai kepala sekolah, maka istri berperan sebagai guru.

(Maka dari itu carilah istri yang berprofesi sebagai guru dan sedang studi keguruan, berterima kasihlah kalian para guru dan calon guru pada tulisan ini hehe....)
Jadi, sudah siapkah kamu mengangkat dan diangkat harkat dan martabatnya?

Selasa, 23 Februari 2016

Esensi Embun


Embun tak pernah menyalahkan mentari akan kemunculannya, dia menyadari titah yang melekat padanya. Suatu kebahagiaan senantiasa menyambut pagi. Menyapa tiap sukma yang bertafakur tentang alam.
Walau selang setelah mentari muncul, ia akan lenyap, tak pernah ia mengelak untuk tetap setia tiap fajar menjemput.

Bagaimanapun kau tentu berbeda dengan embun. Ia hanya punya cinta, sedang kau juga punya akal yang membuat kita bisa merenung. Tentang suatu kerelaan dan pengorbanan, tentang cinta dan ego, tentang mulianya kasih bersama rasio.

"Bisakah aku menjadi embun?" Katamu. Entah kau bertanya pada siapa. Aku tidak melihat pertanyaanmu ditujukan untukku. Seakan pertanyaan itu dibiarkan melayang ke angkasa. Tanpa berharap ada respon yang turun.

Aku diam. Melihat di kedalaman matamu. Betapa kosong ruang itu. Bahkan cahaya belum berhasil membuka celah untuk masuk. Gelap. Demikian aku menyebutnya. Tapi kau bilang itu bukan kemauanmu.

Kita duduk di antara fajar dan pagi. Menunggu embun menguap dengan datangnya kehangatan. Berharap di tempat gelap itu juga tercipta kehangatan. Hingga ia menguap menjadi terang.
Kau dan aku dengan pikiran masing-masing. Bersentuhan dengan binar bola mata. Aku memikirkan apa yang kau pikirkan tentangku dan kau memikirkan apa yang kupikirkan tentangmu. Begitu saja sampai embun mulai kehilangan setengah badannya.

Hingga embun sempurna terangkat ke awan dan permukaan dedaunan hijau itu tampak kering kita masih terpaut dalam pikiran tentang entitas kita.
Kau tidak bisa menunggu lagi. Rasa ingin tau itu sempurna menyembul dari bibirmu.

"Apa yang kau pikirkan?" Kali ini seakan mempertajam bahwa pertanyaan itu untukku. Kau menatapku dengan bahasa tubuhmu. Sementara aku masih menyimpan egoku. Memohon dalam diam agar membiarkan aku lari dari pertanyaanmu.

Yang keluar dari bibirku hanya "Kamu," dengan intonasi suara yang pelan, lirih, seperti hembusan angin. Lalu aku bertanya, "bagaimana denganmu?" Lanjutku tetap dalam suara paling rendah. Tak ingin selain dirimu mendengar.

"Kau tau? Kenapa kau melihat suatu kegelapan dalam mataku? Kenapa aku bisa tau itu dan kenapa aku ingin menjadi embun?" Air mukaku mendadak pucat pasi. Pertanyaan itu mencecarku dalam sekejap. Andaikan itu adalah kilat maka kilat itu bersautan hingga anak kecil meringkuk tak berdaya didekapan ibunya.

"Kenapa?" Jawabku dengan perasaan yang tak karuan.
"Semua itu jawabannya esensi dari embun, cinta."

Senin, 22 Februari 2016

Nirwana dalam Malam


Malam menghapus nestapa menjadi nirwana
Selimut magis senantiasa bertengger di tiap-tiap sudut
Hitam tak menghianati definisi materinya
Tangga tertinggi ada pada ketiadaan warna

Jika bianglala hanya fatamorgana
Malam tak pernah sekedar membayang
Segala kemunafikan tenggelam seketika
Ketika sang malam menjemput
Bukankah malam dan bulan selalu menjadi perpaduan hebat?

Bulanku, sudah kau sampaikan segala resah hatiku?
Aku masih menunggu, senantiasa menunggu
Harapku dia juga menunggu
Menunggu yang tak sempat sampai pada secuil rindu
Entah dia tengah di sisi yang mana

Adakah yang lebih memesona saat dua jiwa saling menunggu?
Tiada saling bersua ataupun menyapa
Hanya di kedalaman hati merengek kepada-Nya

Sabtu, 13 Februari 2016

Hipnotis hijau

Absurditas: Khikmah Al-Maula

Sajak untuk hijaumu dan pertama keakuanku
Bergumul dengan tanah merah basah licin menanjak
Angkuh kau menantang sang penantang
Menuju dekat lamat rasi-rasi gemintang balutan hitam pekat
Rasi scorpio bercahaya diantara rasi-rasi gemintang
Menunggu sang surya ke-emasan muncul
Dingin sungguh menjadi hawa hangat membara
Mengulang denganmu…
Imajiku tersentak
Tertinggal sudah hatiku dibukit dipsi

Lagi, semakin menggigil dalam suatu perjumpaan kedua
Semangat kau bilang untuk hijau
Nafas tersengal bersama keluarnya bulir-bulir bening
Kali ini lebih tinggi dan semakin menanjak
Dedaunan, ranting-ranting, semak belukar, tanah basah sambut senyuman
Oksigen menipis bersama ketinggian
Langkah terjal gontai menguap tergantikan alam udara segar
Senyumu kembali untukku
Tak biasanya, sepi
Kenapa hanya aku dan hijau saja sekarang
Terasa damai dan inginku tercapai menikmati negeri di atas awan
Itu bukan lautan berombak, hanya gulungan awan di bawah kaki

Dingin, sayup, embun meregup tubuh
Rintik halus memecah kesunyian mendung pagi

Tersadar oleh rinai.

Kala Masa

Absurditas: Khikmah Al-Maula

Duduk diatas angkringan kelam
Rembulan itu masih seperti yang lalu
Mengais sisa-sisa kejayaannya dalam rona bianglala
Meski tak tahu akan rahasia diamnya
Sepenggal keajaiban yang sekali lagi terasa pantas untuk tampak
Masih mengulum senyum pandangan sendu
Demi memungut kisah mozaik padang pasir

Sesenggukan temani sembunyi dan muncul
Terpancar sama kala masa jadi dua
Mencoba berdialog dengan pencipta
Sudikah mengulang masa yang jauh tertinggal
Masih dengan mata sayu tanda lelah pandangan ke bumi
Jawaban semakin kalut dalam selimut hitam
Tak ada selain menunggu titah selanjutnya menuju akhir masa

Aku masih bersandar pada angkringan
Mengamati hiasan kecil malam di atas sana
Mencoba menerawang dibalik rona putih balutan hitam
Tampak masih anggun walau tak kan kembali kala masa jadi dua.


Dua Nuansa

Absurditas: Khikmah Al-Maula

Ini adalah penjelasanku atas apa yang telah tertulis. Kisahku. Jika kau bisa mengambil keuntungan dari kerugian akan keuntunganku, biarkan kita berbagi suatu kepahitan.

Jangan menuduhku. Aku memang miskin kata-kata, kalimatku compang-camping. Bahkan aku rela memungut tiap kata yang tercecer pada bekas makananmu.

Aku takut. Bukan karena akan ada yang merasa. Ini bukan soal satire. Hanya saja hatiku terlalu berat untuk menyimpannya.

Sudah terlalu banyak korban. Lebih banyak dari yang terbayang. Aku adalah bagian dari mereka. Mungkin kalian juga, dan dia.

Setelah sumpah dengan kepongahannya memaksa untuk patuh. Dan masing-masing tahu aku mendua. Aku terpaksa meminjam tembok setiap tatapan sinis dingin menyentuhku, sehingga malu pun beku melihat dua bilik bertetangga.

Seberapa imbang aku adil, senyap lagi-lagi menertawakanku. Mereka tidak bisa melihatmu, buta. Bukan, sengaja membutakan diri, katanya.

Salah satu dari mereka menampakkan arogansinya. Ini yang kukatakan menafikan warna pelangi. Aku tidak bisa menerimanya. Cukup. Mata sinisnya kini sudah bisa kutenggelamkan. Aku sang penantang, angkuh meminjam mata sinismu.

Kini aku sang penantang. Aku mendamba pada kemajemukan warna. Begitu cara hatiku memilah, aku dan kata adalah satu.

Terbebas dan terpenjara sama saja akan menuntun pada penderitaan. Lalu mereka menjelma menjadi pengetahuan sejati.
Aku telah memilih, aku bagian darimu. Wahai Pers...