Minggu, 29 Mei 2016

Menjaring Ide


Ritmik hujan tengah bersimponi ketika aku menulis tulisan ini. Setiap rintiknya membawa rindu, rasa, masa lalu dan sesuatu yang magis. Bagiku hujan selalu magis, karena bisikannya mampu membangunkan kenangan yang lama tertidur.

Karena Hujan pula, aku mampu menjaring ide yang bermunculan di otakku. Mereka berseliweran sambil menyapa manja. Ya, ide itu sungguh manja. Makanya jangan sekali-kali mengabaikannya. Karena sekali diabaikan, dia akan lenyap, menghilang tanpa menyisakan apa pun.

Aku lebih suka mengatakan dengan istilah ‘menjaring ide’. Ibarat ikan di laut. Kita harus tahu kapan dan dimana ikan-ikan berada. Ketika kita sudah tahu waktu dan tempat yang tepat untuk menjaring Ikan. Maka disitulah, kita akan memanen ikan.

Hujan membawa sejuta inspirasi. Dari situ kujaring ide-ide yang menari-nari dalam pandangan imajinerku. Dan hei, aku sudah sudah menjaring mereka. Ini dia…
  1. Kura-kura
  2. Mahasiswa
  3. Ego
  4. Jatuh Cinta
  5. Deadline
  6. Filsafat
  7. Dua Organisasi
  8. Kacamata
  9. Bulan
  10. Hujan 

Kamis, 26 Mei 2016

KURA-KURA BERAGENDA


Sebetulnya harusnya aku menuliskan hasil seminar. Namun karena dirasa butuh permenungan mendalam. Jadi aku tunda aja deh. Biar lebih maksimal penulisannya.

Acara seminar nasional berjalan lancar tanda adanya yang pingsan karena saking terpesonanya dengan Prabu Revolusi, tak ada juga yang kesurupan, ayan, atau lain-lainnya. Adanya paling mereka yang nge-fans artis. Karena aku gak nge-fans, jadi biasa saja lah ya. Biarkan yang hobi selfie berekspresi. Jadi, tadi yang lain asik ngajak selfie Prabu Revolusi, aku malah nonton saja. Haha… lupa tidak aku foto.

Setelah acara seharian tadi, besok masih ada acara yang menyambut. Yaitu acara jalan sehat penghuni-penghuni kampus. Karena organisasiku pers, jadi ditugaskanlah meliput acara tersebut. Selain meliput juga ikut sih, lumayan juga ada doorprizenya, walau aku jarang dapat doorprize, siapa tahu dewi fortuna tetiba menghampiriku. Jadi sambil menyelam minum jus gitulah.

Nah, dilanjutkan rapat keredaksian menbahas tentang tema majalah yang akan diterbitkan. Pasti akan memakan waktu yang lama. Dan itu tandanya besok aku pulang sore bingit lagi, tak jarang maghrib. Makanya nih tubuh jadi letoy, otak jadi penat, maka tulisan curcol inilah yang keluar.

Padahal, malamnya masih ada acara lagi nih. Acara maulid nabi yang diselenggarakan organisasi remaja di kampungku. Seharusnya besok jam sembilan acara gladi bersih, tapi karena ada acara kampus, terpaksa aku tinggalkan. Aku ikutnya pas acara saja, yaitu malamya. Maaf ken, tidak bisa ikut gladi bersih ketua.

Nah, itulah kegiatan yang membuatku lumayan loyo, letoy, lesu, lunglai dan sebagainya. Padet banget agendanya. Kadang ada yang bertanya sebetulnya apa sih yang aku cari dari ikut organisasi? Padahal kan capek, kuliah aja juga sudah capek. Ini malah ditambahi ikut organisasi?

Realita kehidupan mahasiswa saat ini sangat beragam. Meminjam analisis Ricardi seperti dikutip oleh Masrukhi  (2009), dalam konstelasi relasi sosial akan tampak lima wajah mahasiswa sebagai reaksi realitas diri dan sosialnya.

Pertama adalah kelompok idealis konfrontatif, dimana mahasiswa tersebut aktif dalam perjuangannya menentang kemapamanan  melalui aksi demonstrasi.

Kedua, kelompok idealis realistis adalah mahasiwa yang memilih koperatif dalam perjuangannya menentang kemapanan.

Ketiga, kelompok oportunis adalah mahasiswa yang cenderung mendukung pemerintah yang berkuasa.

Keempat adalah kelompok profesional, yang lebih berorientasi pada belajar atau kuliah.

Kelima adalah kelompok rekreatif yang berorientasi pada gaya hidup yang glamour dan menyukai pesta.

Dari survei yang dilakukan di bidang kemahasiswaan (Masrukhi, 2009), wajah terakhir menunjukkan kecenderungan yang tinggi yaitu 90%. Untuk kelompok 1 sampai dengan kelompok 4 berkisar hanya 10%. Namun demikian, kendatipun kelompok idealis persentasinya kecil dibandingkan dengan kelompok yang lain, akan tetapi secara bersama-sama mereka memiliki energi besar, yang disebut collective consciousness.

Organisasi itu penting bagi mahasiswa, Tapi sayangnya mahasiswa sekarang sudah terkapar oleh media sosial.

Melalui organisasi begitu banyak manfaat yang diperoleh. Semoga besok aku tidak cukup lelah untuk menuliskan kenapa sekaligus manfaat organisasi.

Inet Bean
26 Mei 2016

#OneDayOnePost

Rabu, 25 Mei 2016

KURA-KURA SEDANG LETOY


Kura-kura ternyata belum bisa melunasi hutangnya. Yang penting tidak nambah hutang deh. Padahal kura-kura sudah lelah dengan semua ini, aku lelah dipermainkan seperti ini. Lah malah baper.
Aku mau jawab sajalah kenapa kura-kura sampai ngutang?

Pertama, menjelang UAS. Dosen berlomba-lomba memberi tugas yang tidak berperi kemahasiswaan. Udah gitu, aku juga presentasi semua di akhir perkuliahan. Itulah yang menyebabkan kura-kura jadi kewalahan membagi waktu. Ada makalah-makalah yang menumpuk dan juga tugas yang melimpah.

Selain itu, kura-kura juga rapat tentunya. Karena agenda bulan ini dan bulan-bulan setelahnya sangat padat di organisasi kampus yang aku ikuti. Istilah kerennya sih aktivis. Tapi aku adalah aktivis yang elegan, karena tidak menyuarakan dengan retorika lisan, melainkan dengan tulisan. Contohnya dengan tulisan ini aku menggugat hutang. Eh, maksudnya berusaha melunasi hutang.

Dan sekarang-sekarang ini sedang persiapan acara seminar nasional tentang jurnalistik, yaitu Prabu Revolusi. Setelah itu ada acara training leadership. Jadi panitia pula, disamping itu mikirin tugas yang belum kelar. Semua ini benar-benar membuatku senang aja deh, karena toh emang itu sudah menjadi konsekuensi aktivis, cieh aktivis.

Besok adalah acara seminarnya, jika aku bisa mendengarkan tanpa adanya gangguan, pasti aku rangkumkan deh materinya, semoga bermanfaat, terutama bagi yang tidak tahu bagaimana menyikapi media yang dewasa ini pemberitaannya kadang berbeda-beda antar media. Karena temanya sadar atau terkapar media. Wuih, agak serem gimana gituh ya…

Media, dewasa ini memang tidak bisa dipercaya 100% keakuratannya. Padahal media esensinya sebagai wadah penyampai informasi untuk rakyat. Namun justru sekarang media terasa kabur, karena media yang satu dengan yang lain tak jarang terindikasi berseberangan.

Oke, kembali lagi ke kura-kura. Sesuai judulnya. Kura-kura sedang letoy, soalnya tadi pulang petang dari kampus, untuk gladi bersih acara besok. Besok kura-kura harus berangkat pagi juga. Maka dari itu, sebaiknya kura-kura segera tidur. Agar badan lebih fit besok.

Maka dari itu, aku akhiri tulisan ini dengan suatu puisi, entah aku rasanya sedang ingin berpuisi….

Alunan Malam

Hitam kemeja meluruskan jalan
Kelam berderu bersama hening
Kian alunan musik jiwa hakikat
Esok kan lebih berembun berendah
Menyatu dengan merah muda

Bisikmu mawar merah dan melati putih
Rasaku berselimut hangat kasih
Biar saja suara hentakan mengabur
Namun jiwa kita membahasakan hati
Resah kan memudar bersama purnama
Hakikat kan menuntunnya

Inet Bean
25 Mei 2016


#OneDayOnePost

Untukmu aku Menulis

Kenapa Aku menulis?

Ibu, Kau bilang, “Belajarlah pedih akan hidup ini!” setelah khotbah panjangmu yang kudengar dengan hati. Kuanggap itu adalah khotbah, hingga aku tak kuasa berkomentar apa pun. Bibirku kelu, nafasku berat, hatiku sesak. Aku mencoba bertahan agar tak menangis dihadapanmu, kutahan sekuat mungkin.

Maafkan, setelah itu aku mengurung diri di kamar. Aku tak kuat lagi, tersedu tanpa bisa kukendalikan keluarnya air mata. Kau tidak boleh melihatku menangis, aku ingin kau melihatku sebagai anak yang tegar. Bukan anak cengeng. Namun ternyata aku hanya perempuan biasa yang bersenjatakan air mata. Seberapa kutahan tetap saja air mata mengalir deras dipipiku.

Hingga aku terlalu lama di kamar. Kau mungkin khawatir apa yang sedang kulakukan. Kau memanggilku namun tak kuasa aku menjawab. Tangisku makin menjadi-jadi. Tidak mungkin aku menyahut dalam keadaan seperti itu, aku akan ketahuan menangis.

Kau menggedor pintu kamarku. Aku menahan tangisku. Ibu, tenang saja, anakmu ini tidak mungkin bunuh diri, tidak sependek itu pikiranku. Butuh beberapa menit untuk menenangkan diri sampai aku membuka pintu dengan wajah tertunduk.

Ibu, kau bilang aku itu pendiam. Mungkin karena itu terbesit dalam benakmu aku akan melakukan hal-hal bodoh. Sama sekali tidak Ibu. Karakterku memang begini. Kenapa aku pendiam? Karena aku dipertemukan dengan orang-orang yang suka bercerita. Maka rasa yang tertampung di hati hanya bisa kumuntahkan dengan kata-kata, kurangkai menjadi kalimat, dan selanjutnya menjelma paragraf secara bersambung-sambung.

Bukankah aku sudah belajar pedih, Ibu? Kau bilang aku yang paling beruntung diantara kakak-kakakku. Dari segi pendidikan mungkin iya, namun jiwaku begitu rindu. Rindu bersama keluarga utuh. Ketika aku mulai mengenal dunia, satu per satu kakak meninggalkan rumah. Hingga puncaknya Ayah bukan hanya meninggalkan rumah, namun dunia ini. Sejak saat itu aku lebih menghargai arti memiliki setelah ditinggalkan.

Kini hanya ada aku dan kau. Sudah seperti sinetron-sinetron saja hidupku. Kadang aku merasa iri pada kehangatan kebersamaan mereka. Tapi aku harus mencintai duniaku sendiri. Kenapa aku menulis? Karena itulah caraku menghibur diri, menceritakan keluh kesahku. Maaf Ibu, aku tidak bermaksud menyembunyikan apa yang kurasa. Namun cukuplah aku menjadi pendengar keluh-kesahmu akan hidup ini.

Keajaiban demi keajaiban datang dalam perjalananku dari masa ke masa. Keajaiban kerja keras mu, Ibu. Aku bisa mengenal dunia kepenulisan. Walau studi sastra yang kuinginkan tidak terwujud. Barangkali ini adalah ketersesatanku yang baik. Dia mendampingi tiap langkahku. Semua itu berkatmu, wahai Ibu.

Kau tidak tahu apa yang dicita-citakan anakmu ini. Tapi cukuplah tiap aku mencium tanganmu sebelum mencari ilmu, kau doakan aku sukses dalam tiap langkahku. Dan ketika aku sukses kau akan terkejut siapa anakmu ini.


Pada tanggal 25 bulan Mei tahun 2016. Demi kau, Ibu. Dengan rasa takjimku padamu, dengan rasa di kedalaman hatiku, aku mengizinkan diriku menjadi penulis dengan menerbitkan minimal satu buku pada tanggal 03 bulan November tahun 2018. Dan menjadikannya best seller atau lebih baik dari itu.

Dari kedalaman kalbu.
Aku, anakmu.
Inet Bean.

Selasa, 24 Mei 2016

Blue Rose (Lemping 9)


Bagaimana jika ingatan manusia abadi? Memorinya tidak timbul tenggelam. Kenangan dari masih berada di kandungan hingga lahir, balita, remaja, dewasa, sampai akhir hidup ingatannya tak timbul tenggelam. Mungkin aku tidak akan begini. Tapi apa? Nyatanya tiap aku berusaha menggali masa laluku yang ada hanya semut-semut ganas pengabur memori.

Telah rusakkah otakku? Orang bilang otak manusia adalah sebaik-baik memori. Jadi kupaksakan otak ini mencari-cari kenangan siapa yang berada disampingku ketika aku menangis di dunia ini untuk pertama kalinya. Hasilnya nihil, semua memori itu seperti telah terhapus habis. Tidak tersisa. Bukankah ini sebuah ironi?

Bahkan semua ini terasa paradoksal bagiku. otak, kenangan, memori, masa lalu, masa depan, sama saja. Tetap dan masih misteri. Masa lalu yang sejatinya sudah dilalui dan masa depan yang belum dilalui. Keduanya menjadi misteri, bagiku.

Apa yang sedang kulakukan ini adalah pencarian masa laluku. Aku mencari masa lalu pada masa yang terus berlaju. Bukankah ini suatu kelucuan? Ingin kutertawakan saja diri ini. Tapi rasaku telah lebur semuanya. Bagiku sedih dan bahagia, kini tak ada bedanya. Hambar saja yang kurasa.

Pada akhirnya setelah berperang dengan otakku sendiri, aku memilih bersahabat saja dengannya. ‘Hei otak, aku tak akan memaksamu mengingat bagaimana aku terlahir ke dunia ini, bukankah saat terbangun nanti dunia ini sudah lenyap? Terlupakan!’

Maka setelah berdamai dengan diri sendiri. Kuputuskan untuk berdamai dengan takdir. Takdir yang telah membawaku hingga bermata biru. Biru ini adalah identitasku, bukan hanya sebagai hereditas dari dia yang mewariskan kepadaku.

Aku memang mencarinya karena cinta. Rasa di masa lalu yang terpendam oleh tik-tok jam liar. Cinta yang kulihat pada binar mata Mama. Masihkah dia merasa akan cinta yang terwariskan padaku? Rasa itu termanifestasika di spektrum biru mataku. Ayah.

Sekali lagi kuteguhkan. Pencarian ini bukan karena sekedar formalitas karena aku butuh wali di pernikahanku. Lebih dari sekedar itu. ini adalah perjalanan masa lalu di masa depan. Waktu semakin melesat ke depan. Namun deminya kuseret diriku menuju masa yang telah terpendam dalam ruang penyimpanan kenangan.

Inilah dunia. Ada takdir yang bisa dirubah, ada pula takdir yang tidak bisa ditawar. Karenanya, aku menerima semua ini. Seperti penerimaan rerumputan yang hanyut dalam ritme angin. Bagai air yang menerima lekuk-lekuk aliran sungai. Dan takdir api yang selalu angkuh ke atas.

 “Hei bangun, kita sudah sampai di Pekalongan….” Cowok disebelahku dengan suara pelan. Tentu aku spontan menoleh. Aku tidak tidur, hanya memandang ke arah jendela tepat disebelahku.

“Oke, ayo kita turun,” Perintah cowok itu.

“Kita mau kemana?” tanyaku agak linglung.

“Ke Dieng lah, nanti mampir dulu di rumah pamanku.”

“Ngapain?”

“Ngambil sesuatu. Eh, btw kita belum kenalankan? Namaku Ray, Kau?” Ucapnya sambil menyodorkan tangannya untuk bersalaman.

“Rose,” Sahutku, hanya dengan tersenyum simpul.

Aku kira Pekalongan yang katanya Kota Batik semuanya serba batik. Temboknya batik, pohonnya batik, aspalnya batik, langitnya batik, semuanya batik. Ternyata itu hanya kelebayan ekspetasiku saja. Kota ini tetap kota yang wajar. Tidak seperti pada dongeng-dongeng yang apabila Kota Permen, maka rumahnya terbuat dari permen.

Dieng adalah pegunungan, di sana tidak ada kereta api. Bisa repot kalau kereta api ada di Dieng. Nanti jatuhnya bagai naik roller coaster yang maha dahsyat membuat jantung copot. Makanya sebelum ke Dieng, bermukim dulu di Pekalongan. Baru dari sini menuju Dieng. Welcome Dieng, Kota di atas awan.

Inet Bean
24 Mei 2016

#LanjutanCerbung

#OneDayOnePost

Senin, 23 Mei 2016

KURA-KURA NGUTANG

http://sikodokpesek.blogspot.com/2015_12_01_archive.html

Jadi dalam rangka melunasi hutang yang menumpuk, akan aku mulai dari melunasi hutang yang bahula alias terdahulu tentang kegiatan sehari-hariku. Sekaligus sebagai penjawab kenapa diriku sampai berhurang ria. Padahal utang yang menumpuk menyebabkan ketagihan, eh maksudnya dihantui tagihan.

Bicara mengenai tagihan. Hidupku gak jauh-jauh dari tagih-menagih. Karena hidup tanpa tagihan bagai hape jomblo yang sepi bagai kuburan. Sepi, sunyi, sendiri, aku benci. Jadi kuputuskan untuk berkecimpung di dunia tagihan. Agar hape ini ada notifikasi, walau itu tagihan dari operator agar mengisi ulang kuota.

Aku Adalah Kura-Kura.

Jika ditanya kegiatan sehari-hari ya kurang lebihnya jawabku kura-kura alias kuliah-rapat kuliah-rapat.  Jadi seorang Inet itu suka mencoba hal-hal baru. Apalagi yang menantang, memacu adrenalin, bikin dag dig dug, lah aku ngomongin apa sih?

Oke, sudah tahu maksud kura-kura kan? Jadi bukan binatang kura-kura, melainkan suatu akronim. Tapi kalau diamati, aku emang kek kura-kura deh, karena kura-kura itu sepertinya pemalas, bukan sih sebenernya kura-kura itu lambat. Nah, iya aku sepertinya lambat kalau tidak dipaksa cepat, jadi aku harus melawan kelambatanku itu dengan menyeburkan diri dalam ranah tagihan.

Karena aku lambat dan sedikit pemalas. Akhirnya terjebak dalam ranah hutang di ODOP. Apakah aku kalah dengan kelambatanku? Sama sekali tidak pernah terlintas dalam benakku untuk hutang, karena kalau sudah hutang aku jadi terbuai, terlena, terpuruk seperti ini. Help me …, help me, please…

Pernah nonton film animasi Turbo? Di situ dikisahkan seorang siput yang kita tahu jalannya lambat bermimpi ingin jadi seorang pembalap. Wait, tadi aku menyebut seorang siput? Koreksi, siput hewan ya, bukan orang.

Siput itu setiap hari berlatih agar bisa berjalan lebih cepat, tanpa rasa lelah dan letih. Namun, siput-siput lainnya hanya menertawakannya, bahkan menganggapnya gila. Lagian impiannya tinggi banget sih, pingin jadi pembalap. Haduh put, siput…

Sampai pada suatu hari siput itu menyendiri di malam hari. Dia menonton pertandingan balapan mobil liar. Hingga entah bagaimana, dia ada di salah satu mobil balap tersebut. Pada saat mobil itu melaju dengan kecepatan super, karena ada suatu cairan di mesin mobil yang menyebabkannya berpacu sangat cepat. Siput terjebak jatuh ke dalam cairan di mesin mobil.

Esoknya, tahukah apa yang terjadi? Siput itu mati. Bagaimana kalau akhirnya mati? Kecewa kah rasanya? Oke, jadi yang sebenarnya terjadi, impian siput itu terwujud. Jalannya secepat cahaya, efek dari percampuran gen siput dengan cairan mesin mobil balap. Dan, akhirnya siput itu bisa mengikuti lomba kejuaraan mobil balap internasional. Aneh emang, namanya juga film.

Setidaknya kita bisa mengambil hal yang sangat indah dari film itu. Oh ya, nama siput itu adalah Turbo, sesuai nama filmnya. Bagi yang mau nonton silahkan download sendiri. Jika melihat perjuangan dari siput itu yang berusaha melawan takdir. Memang lucu, sudah kodratnya lambat, tapi berkat impiannya yang kuat, akhirnya terwujud juga walau datang dari sudut yang tidak disangka-sangka.

Mungkin saat ini aku hanyalah siput yang bermimpi jadi pembalap. Berusaha melawan takdir lambat dengan tagihan-tagihan. Namun, suatu saat nanti. Aku yakin akan datang keajaiban dari sudut-sudut yang belum kuketahui.

Eh, ini jadi membahas siput. Padahal kan judulnya Kura-kura Ngutang?
Aku, Kura-Kura Ngutang…, Yang bermimpi melunasi hutang dulu deh…

Akankah Kura-Kura melunasi utang?
Apa sih yang dirapatkan Kura-kura, sampai ngutang?

Inet Bean
23 Mei 2016

#SemangatBayarUtang

#OneDayOnePost

Jumat, 13 Mei 2016

Blue Rose (Lemping 8)


Setelah seminggu mengurung diri. Aku memutuskan untuk pergi, mencari jejak-jejak tentangku. Aku ingin tahu, orang seperti apa ayah kandungku yang tidak pernah muncul dihadapan putrinya selama 21 tahun. Tidak rindukah dia padaku? Atau dia memang tidak peduli denganku. Baginya aku hanya seonggok buah dari pesakitan. Atau diriku anak haramkah? Tidak, aku bukan anak haram, Mama bilang aku bukan anak haram. Dan bukankah tidak ada anak haram?

Seorang diri pergi ketempat yang sebelumnya tidak pernah ke sana. Mendengar nama Kota itu pun hanya sesekali. Sudah tepatkah keputusanku untuk pergi sendiri? Ini adalah keputusanku, tapi sekarang kenapa timbul rasa takut, entah apa yang kutakutkan. Seharusnya aku tidak keras kepala saat Bang Haris menawarkan dirinya untuk menemaniku. Setidaknya aku merasa terjaga dan ada teman berbicara.

Kurutukki keputusan yang membuatku menyesal ini. Tapi beribu kurutukki pun tidak akan merubah keadaan. Aku sudah duduk di dalam kereta ini. Bahkan naik kereta api pun baru sekali ini kulakukan. Oke, harusnya aku berdamai saja dengan keputusan gila ini. Menatap ke depan dan menghadapi sendiri hal-hal yang akan terjadi.

“Di sini belum ada orangnya kan?” Tanya seseorang yang membuatku menoleh malas. Aku melihatnya sekilas, lalu mengangguk pelan.

“Wow, baru kali ini aku melihat mata secantik itu,” ucap cowok berpenampilan seperti seorang pendaki.

Aku tidak menjawab, tidak berselera menanggapi keterpukauannya pada mataku. Ah, aku jadi ingat, kata Mama, Ayah kandungku bermata biru, sepertiku. Dan aku harus menemui seseorang yang bernama Pak Suparto untuk tahu keberadaan ayahku, hanya dia yang tahu. Aku sempat berpikir mungkin Pak Suparto adalah orang yang sama dengan Pak Parto, orang yang ditolong Bang Fandi ketika hampir saja terjatuh ke jurang. Tapi, jika memang iya, rasanya itu adalah keajaiban bagiku.

“Mau kemana?” Tanya cowok itu.

“Wonosobo,” Jawabku tanpa menoleh kepadanya.

“Wah, sama..., aku juga mau ke Wonosobo, untuk mendaki sih,”

“Di Gunung apa?” tanyaku mendadak antusias, memalingkan wajah dari jendela ke kursi sebelahku.

“Gunung Prau, Dieng… kenapa?” Tanyanya seraya mengendikkan bahunya.

“Aku juga mau ke sana….”

“Kebetulan sekali, kalau gitu kita bisa ke sana bersama, tapi kamu sendirian?”

“Iya, aku mau mencari seseorang.”

“Kamu mau mendaki sendirian?”

“Kamu juga sendirian.”

“Aku sama temen-temen, cuma mereka udah di Dieng. Dari pada kamu sendiri, mending gabung aja denganku, bahaya cewek mendaki sendirian.”

“Sebenarnya aku hanya mau ke Dieng, tidak mendaki.”

“Oke, kita ke Dieng bersama.”

Mungkin dari pada aku sendirian, kusetujui saja tawaran cowok asing ini. Lagian tampangnya sepertinya tidak sadis, lumayan tampang protagonis lah. Mirip Herjunot Ali, hanya saja dia lebih kuning kulitnya. Sepertinya dari gerak-geriknya juga orang baik-baik, walaupun agak usil sih. Tapi mungkin itu caranya untuk mengatasi kebekuanku.

Kereta mulai berjalan. Kupandangi jendela. Melihat pemandangan di luar. Dapatkah aku menemui Ayah kandungku? Sekarang dia di mana? Mama tidak banyak bercerita tentangnya, dia bilang Pak Suparto tahu banyak soal Ayah kandungku. Kenapa hidupku jadi serumit ini sih.

Pak Suparto adalah pamanku. Mama bilang dia memutuskan untuk tinggal di Dieng seorang diri, dia begitu misterius. Bahkan aku baru tahu, aku mempunyai Paman bernama Suparto ketika aku mau mencari Ayah. Bukannya Mama tidak mau bercerita tentang Pamanku itu, tapi dia hanya bingung bagaimana menceritakan tentangnya, sampai akhirnya waktu tepat pun berpihak.

To be Continue…

13 Mei 2016
Inet Bean

#LanjutanCerbung
#OneDayOnePost


Blue Rose ( Lemping 7)


“Kau tahu Rose? Ayah sangat menyayangimu, kau adalah anak gadis Ayah. Tapi mungkin sudah saatnya kau tau rahasia ini, walau begitu, jangan pernah berubah pada Ayah. Ayah mohon kepadamu…” suara berat Ayah tertahan.

“Ada apa Yah? Katakan saja.”

“Ayah bukan Ayah kandung kamu, Rose,” Ayah tak kuasa memandangku, dia menyembunyikan wajah sedihnya.

Begitu mendengar kalimat itu aku seperti orang ling-lung, tenagaku berhasil meluruh secara sempurna. Dunia seakan terbalik. Bagai baru terbangun dari mimpi indah. Atau mungkin ini adalah mimpi burukku.

“Rose…”
“Rose…”

Aku menunduk, nafasku tersengal. Kudengar Mama dan Ayah memanggilku pelan. Tak kuhiraukan mereka. Aku belum bisa menguasai diriku yang bagai granat siap meledak. Apakah aku harus bertanya lalu siapa Ayah kandungku? Kenapa baru dikasih tahu sekarang? Atau kenapa aku bisa di sini? Aku harus bagaimana?

“Lalu siapa orang tua kandungku?” Hanya kalimat itu yang keluar dari mulutku.

“Ayah emang bukan Ayah kandung kamu, tapi Mama adalah Mama kandungmu Sayang…”  Aku didekap Mama.

“Ayah memberi tahu ini karena mungkin Ayah tidak bisa menjadi wali pernikahanmu, tapi Ayah tetaplah Ayahmu Rose, Ayah sangat menyayangimu.”

“Rose tidak paham dengan semua ini, bagaimana dengan Bang Haris dan Juna? Rose tidak sanggup mendengar apa-apa lagi. Rose pamit ke kamar, Yah, Ma…” tanpa menunggu persetujuan, aku melenggang dengan segera ke kamar. Mungkin saat ini yang kubutuhkan menyendiri.

Hampir bersamaan dengan aku ke kamar, Bang Haris menghampiri Ayah dan Mama. Terdengar keributan kecil sebelum hening, entah mereka meributkan apa. Tak jelas kudengar.

“Rose, buka pintunya Rose, Bang Haris mau bicara…” Bang Haris setengah berteriak di depan pintu kamarku, serta menggedor pintu.

Aku sengaja tidak merespon. Hatiku sedang kacau. Lebih baik kuredamkan dulu api dihatiku. Maafkan Rose Bang. Bukannya Rose tidak mau bicara sama Abang. Tapi Rose hanya butuh sendiri saat ini.

***
Terhitung 31 jam 20 menit sejak aku masuk kamar. Selama itu bukannya tidak ada yang menyuruhku keluar. Dari mulai Mama, Ayah, Bang Haris dan Juna berusaha membujukku keluar untuk makan. Mungkin aku terlalalu egois hingga mereka sama sekali tak kurespon. Aku hanya diam di pembaringanku. Rasa lapar terkalahkan oleh rasa sesak di hati ini.

“Rose, ini Bang Fandi…. Buka pintunya Rose….” Aku yakin, pasti Bang Haris yang memberi tahu Bang Fandi tentang masalah ini. Resek banget sih, nambahin hatiku dongkol.

Aku tetap diam tak merespon. Lalu Bang Fandi mulai menggedor pintu, “Rose, Abang hitung tiga kali, kalau kamu tidak mau buka juga, Abang dobrak pintu ini!”

“Satu…. Dua…. Ti….”

Segera kubuka pintu dengan wajah tertunduk. Mama menghambur memelukku, erat sekali tanpa kubalas pelukannya. Pundakku terasa basah diguyur kesedihan Mama. Tak terasa aku juga menumpahkan butiran hangat di pundaknya.

“Ma, siapa Ayah kandung Rose?” bisikku pelan.

“Mama akan ceritakan semuanya, tapi kamu harus makan dulu…,” sahut Mama dengan sesenggukan.
Tatapan mataku dan Bang Fandi bertemu. Terlihat sorot matanya seakan ikut sedih melihat keadaanku, kita hanya beradu hati, hingga merasakan tanpa adanya perkataan. Lalu seketika kutundukkan kembali wajahku.

To be Continue…

13 Mei 2016
Inet Bean

#LanjutanCerbung
#OneDayOnePost

Senin, 09 Mei 2016

Blue Rose (Lemping 6)


Baca juga Blue Rose

Aku melihatnya, dia mengenakan kemeja biru tua dan celana hitam. Lengannya di lipat hingga siku. Tampak keren sekali di mataku. Garis wajahnya benar-benar tegas menyiratkan kelaki-lakian. Aduh, aku berpikiran apa sih. Tapi dia benar-benar ada di depanku. Dadaku bagai sedang naik mobil butut yang lewat jalan berlubang-lubang. Riuh sekali.

“Iya, ini Bang Fandi. Kamu kenapa sih? Kok seperti terpana gitu….” Ucap Bang Fandi menyadarkanku dari dunia absurd yang baru saja menarikku ke dalamnya.

“Apa? Terpana? Bukan gitu, katanya Bang Fandi gak bisa datang?” jawabku dengan kosa-kata tidak tertata. Seakan baru diselamatkan dari tenggelam. Gelagapan.

“Sorry Rose, itu cuma keisengan Abang…” Bang Haris menyahut dengan cengar-cengir.

“Ih, nyebelin banget sih kamu Bang…” aku memasang muka cemberut.

“Kan biar surprise, Fandi minta tolong Abang, katanya gimana caranya ngasih kamu kejutan, dan ternyata ide Abang berhasil….” Bang Haris menjelaskan, masih dengan muka cengengesannya.

“Iya, Sorry ya Rose….” Timpal Bang Fandi.

“Dasar, ternyata kalian sekongkol…. Oke, tunggu pembalasanku,” rutukku, sayangnya tidak disertai bunyi petir yang menggelegar. Justru tawa mereka berdua dan keluargaku yang menggelegar.

Tetiba Bang Fandi menyembulkan tangan kanannya yang sedari tadi diumpetin dibelakang punggungnya. Dan, hei dia membawa sesuatu yang lumayan tidak biasa. Biasanya orang kalau ngasih hadiah wisudawan itu kan sekuntum  bunga yang di susun dengan rapi tuh. Nah, ini dia malah menyodorkan bunga mawar biru bersama potnya. Mukaku antara seneng, aneh, dan heran. Silahkan ekspresikan sendiri di depan cermin.

Tangan Bang Fandi memegang pot mawar biru yang ditengadahkan di depan wajahku, pot itu kecil, mungkin seukuran apabila dua tangan menengadah berdoa.

“Ini untuk kamu Rose, aku tau raut wajahmu aneh gitu. Mungkin kamu berharap aku memberimu sekuntum mawar biru, dan tentu saja tanpa pot. Tapi aku ingin beda, ini adalah mawar biru yang kutanam sendiri, kusiram setiap hari dengan cinta, kupupuk dengan rindu, dan kurawat dengan kasih sayang.”

Aku speechles mendengar penjelasan Bang Fandi, mulut ini ternganga. Mungkin aku sudah terpukau, terpana atau apalah istilahnya. Duh, romantis banget sih.

“Dan aku harap kamu bisa meneruskan merawat mawar biru ini, Rose….” Lanjut Bang Fandi.

Seketika aku berusaha menahan melting yang sedang kurasakan, “Eh, iya Bang. Makasih, pasti aku rawat dengan cinta juga.”

Semuanya pun ketawa lagi, ada yang salah kah dengan jawabanku? Atau aku sangat terlihat salah tingkah.

Kita semua keluar dari Balairung untuk makan bersama. Dan ketika keluar dari pintu, aku terperangah. Ada MMT yang sudah terpajang berukuran sekitar lima kali empat meter, bertuliskan “Selamat atas diwisudanya Blue Rose” dan dibawahnya ada tulisan “Will You Marry Me, Rose?”

Aku memandang Bang Fandi, dia tampak salah tingkah, tapi berujung pada senyuman dan tatapan “Gimana jawabannya Rose?” Lalu aku mengangguk pelan.

***

“Kak, dipanggil Mama sama Ayah, katanya disuruh ke ruang keluarga sekarang,” Juna setengah berteriak dari balik pintu kamarku.

“Ada apa Jun?”

“Gak tau, penting katanya…, cepet gih sana.”

Aku segera ke ruang keluarga. Benar saja, di sana sudah duduk takjim Ayah dan Mama. Aku duduk di sebelah Ayah, tapi kenapa raut wajah mereka seperti ada sesuatu yang serius.

“Rose, tidak terasa kini kamu sudah menjadi gadis yang cerdas dan cantik, baru kemarin sepertinya Ayah menggendongmu melihat bunga-bunga di pagi hari ketika weekend….” Ucap ayah seraya tersenyum kepadaku.

“Ya, putri kecil Mama sudah menjadi gadis yang amat cantik….” Mama menyahut dengan tersenyum pula.

“Itu berkat kalian Ayah, Mama. Oh ya, sebenarnya ada apa aku dipanggil ke sini?” Tanyaku, karena sudah sangat penasaran mereka mau membicarakan apa.

“Tadi siang kamu dilamar seorang Pria, itu artinya kamu sudah akan menikah Rose, mungkin ini waktunya memberi tahu kamu,” Ayah berbicara dengan akhir menggantung.

“Memberi tahu apa Yah?”

“Ayah sangat menyayangimu Rose, tapi mungkin Ayah tidak bisa menikahkanmu….” Ujar Ayah, yang membuat keningku berkerut.

“Maksud Ayah?”

To be Continued….

Inet Bean
8 Mei 2016

#LanjutanCerbung

#OneDayOnePost

Jumat, 06 Mei 2016

Blue Rose (lemping 5)


Sebagai wisudawan kampus terbaik di Ibu Kota, ada rasa berdesir di hati ketika memasuki Balairung yang sudah ramai wisudawan. Mereka tampak senyum sumpringah, senyum hasil menggapai skripsi yang berkali-kali revisi. Tak ada wajah-wajah murung, mungkin di sini hanya aku saja yang tampak sesekali murung, entah kenapa aku masih mengharapkan Bang Fandi datang di wisudaku, aku kan adik sahabatnya sendiri. Harusnya dia datang dong, gak harus datang juga sih, aduh ini gimana sih, betul-betul rumit pergolakan batinku.

Bang Haris tadi ditanya juga gak memuaskan jawabannya. Iya enggak, tidak pun meragukan. Justru aku dipanas-panasi katanya Bang Fandi berpartner dengan wanita cantik dan cerdas. Bilangnya aku disuruh hati-hati. Resek banget tuh Abang satu. Oh ya, aku juga punya adik laki-laki, biasa kupanggil Juna. Dia kini kelas 3 SMA, Juna orangnya pendiam, hobinya baca novel dan komik, segala genre dia lahap, tapi dia cenderung menggandungi genre detektif-detektif gitu. Nah, berkat hobinya aku jadi ketularan suka baca novel, tentu saja minjem dia.
  
Sepanjang acara aku tidak bisa fokus. Jasadku memang di sini, tapi sukmaku entah melang-lang buana kemana. Sial, sepertinya aku kemakan omongannya Bang Haris. Kalau gara-gara wanita partner kerja Bang Fandi, dia sampai berpaling dariku, sungguh keterlaluan. Walaupun belum ada hubungan apa-apa sih antara aku dan Bang Fandi.

Bang Fandi adalah sahabat Bang Haris sejak masuk pertama kali kuliah. Terkadang persamaan nasib bisa membuat seseorang saling dekat, nah itulah yang dialami keduanya. Kedekatan mereka berawal dari nasib telat masuk kelas di perkuliahan pertama. Kebetulan dosennya super disiplin, jadi keduanya tidak diijinkan masuk. Nah, karena itu mereka tidak dapat kelompok dalam pengerjaan tugas makalah. Akhirnya mereka hanya berdua saja, sedangkan yang lain per kelompok empat orang. Sejak itulah mereka mengikrarkan akan bersama-sama terus, kuliah bersama, skripsi bersama, wisuda bersama, kerja bersama, benar-benar so sweet.

Kalau perkenalanku dengan Bang Fandi berawal dari hal yang menyebalkan bagiku. Tidak usah diceritakan deh, aku malu. Jadi cukup tahu aja aku kenal Bang Fandi sejak dia  pertama kali main ke rumahku.

Oke, hingga acara wisuda selesai aku tidak menemukan tanda-tanda kehadiran Bang Fandi. Jadi dia benar-benar tidak datang di wisudaku? Bahkan dia tidak mengucapkan selamat wisuda kepadaku lewat BBM, WA ataupun SMS.

Apa jangan-jangan selama ini aku hanya baper? Atau Bang Fandi hanya menganggapku adik? Duh, gini banget sih nasib hubungan tanpa status. Cintaku bertepuk sebelah tangan deh, tapi apa benar aku cinta sama Bang Fandi? Jadi absurd gini sih pikiranku.

Selesai acara kucari wajah-wajah keluargaku. Ah dapat, itu ada Mama, Ayah, Bang Haris dan Juna di sudut Balairung. Mereka mengenakan pakaian dengan motif sepadan. Jadi mudah saja kukenali. Kuhampiri mereka dengan wajah seceria mungkin. Memang seharusnya senyum bahagia yang terukir.

“Selamat Rose, Ayah bangga padamu,” Sambut Ayah seraya memelukku erat. Beliau adalah ayah terbaik di dunia ini bagiku. Sungguh Ayah yang benar-benar berperan sebagai Ayah. Pribadinya hangat dan supel, namun bisa juga menjadi polisi yang tegas sekali saat mengintrogasi pencuri.

“Selamat sayang,” ucap Mama menimpali, kemudian memelukku, tentu saja setelah aku melepaskan pelukanku terhadap Ayah, kalau tidak kami sudah seperti Teletubis yang sukanya berpelukan. Bang Haris dan Juna juga mengucapkan selamat dan tentu saja berpelukan ringan.

“Selamat atas wisudanya Blue Rose….” Ucap seseorang dibelakangku. Dari suaranya sih seperti suaranya Bang Fandi. Atau aku hanya berhalusinasi saja?

Kuputar tubuhku 180 derajat. “Bang Fandi….” Hei, ternyata ini nyata.

To be Continued…

Inet Bean
6 Mei 2016

#LanjutanCerbung

#OneDayOnePost

Kamis, 05 Mei 2016

Blue Rose (Lemping 4)


Baru saja mau mengistirahatkan mata. Suara di luar tenda bising sekali, mereka bersahutan teriakan. ‘Itu ada apa sih?’ Rutukku. Ternyata di sebelahku ada Bang Haris yang tengah mengeluarkan bahan mentah makanan yang akan dimasak.

“Itu ada apa sih Bang?” Tanyaku sambil mengerjap-kerjapkan mata.

“Yuk keluar, ada yang istimewa….” Jawabnya.

Tanpa menunggu jawaban dariku, Bang Haris menarik tanganku hingga aku sempurna duduk yang sebelumnya berbaring.

“Oke oke, aku keluar.”

Kukira di puncak gunung itu sepi, sunyi dan senyap. Tempat yang pas untuk menyendiri, merenungi akan karya-Nya yang sungguh indah. Ternyata, ini malah seperti di pasar malam. Rame banget sumpah. Tenda-tenda sudah terbangun berjejeran. Kulihat Bang Fandi dan Pak Parto berdiri menghadap ke timur. Aku dan Bang Haris menghampiri mereka.

“Satu….” Ucap Pak Parto.

“Dua….” Lanjut Bang Fandi.

“Tiga!” Sahut Bang Haris.

Dan “Wow, amazing….” Baru kali ini aku menyaksikan yang seperti itu. Melihat bagaimana mentari menggeser malam dengan cahaya keemasannya. Membiaskan kehangatannya pada awan-awan yang berlugulung bagai ombak. Kawan, aku melihat awan ada di bawahku. Inikah rasanya di atas awan? Ya, aku kini di atas awan, bukan sekedar kiasan, tapi ini adalah kenyataan.

Kulihat pendaki-pendaki lain asik berselfie ria. Selfie khas pendaki, mereka menuliskan pesan tertentu di kertas HVS. Lalu berfoto sambil memegang kertas itu. Kelompok kecil kamipun tak ketinggalan untuk mengabadikan moment indah ini.

Setelah puas berselfie ria kami kembali ke tenda. Memasak untuk sarapan pagi. Tetapi hanya aku dan Bang Fandi saja yang memasak. Bang Haris tadi bilangnya mau menjelajahi tenda-tenda lain, siapa tahu bertemu teman lama. Sementara itu Pak Parto memilih untuk duduk takjim tak jauh dari tenda kami. Bilangnya sih mau bertafakkur alam.

Jangan dibayangkan peralatan memasaknya seperti di rumah. Alatnya serba minimalis deh pokoknya, tabung gasnya aja seukuran pilox, coba bayangkan kalau yang dibawa tabung gas 3 kilogram? Udah keberatan di gasnya doang.

“Blue Rose….” Ucap Bang Fandi. Tumben banget dia manggil aku dengan nama penuh.

“Ya Bang?” Sahutku.

“Lihat, itu ada mawar biru,” ujarnya sambil menunjuk mawar berwarna biru.

“Wow, iya, keren banget. Kok bisa sih, itu beneran mawar biru?” Tanyaku seraya mendekati mawar biru yang hanya di samping tenda kami.

“Kamu suka?”

“Iya, boleh kupetik?”

“Jangan….”

“Kenapa Bang?”

“Jangan pernah mengambil apa pun dari gunung kecuali foto, Rose. Dan jangan pernah meninggalkan sesuatu di gunung kecuali jejak,” jelas Bang Fandi.

“Begitu…, iya Bang. Mawar biru ini indah dan seger banget, walau namaku Blue Rose, tapi baru kali ini aku melihat langsung mawar biru,” Ucapku masih dengan menatap mawar biru.

“Ntar deh tunggu momen spesial, Abang bakalan ngasih kamu mawar biru,” sahutnya.

“Momen spesial?” selidikku.

“Eh, apa ya? Lupakan deh,”

“Yaudah….”

“Tunggu aja di wisudamu nanti,” ucap Bang Fandi, seraya senyum misterius.

***
“Rose….” Panggilan Mama membuyarkan lamunanku. Kenapa aku jadi melamun sih, aku kah harus menghadiri wisudaku.

“Iya Ma, kenapa?” sahutku pada Mama yang sudah di pintu kamarku.

“Ayo sarapan, kemudian langsung ke kampusmu. Kamu gak lupa kan kalau hari ini wisudamu?” Tanya Mama.


“Gak lupa lah Ma, yaudah Mama duluan ke meja makan, bentar lagi aku nyusul….” Jawabku sambil  memandang bayangan wajahku di cermin.

To be Continued...

Inet Bean
5 Mei 2016

#LanjutanCerbung
#OneDayOnePost

Rabu, 04 Mei 2016

Blue Rose (Lemping 3)


Bang Fandi kini yang memimpin. Dia antusias sekali mencari sumber suara minta tolong. Aku tetap di urutan kedua dan terakhir Bang Haris. Suara itu semakin jelas terdengar dan kami juga mendaki lebih cepat. Sampai napasku tersengal mengikuti langkah Bang Fandi. Heran juga kenapa Bang Fandi dengan dua carrier di depan belakang bisa mendaki secepat itu, hingga aku kewalahan.

“Lepaskan akarnya Pak!” Perintah Bang Fandi. Aku tidak tahu Bang Fandi sedang bicara sama siapa. Kami terpaut jarak lima meter, sedangkan aku tertatih mendaki jalan yang semakin terjal, dibantu Bang Haris. Dan ketika melongokkan kepalaku pada tanjakan terakhir, aku melihat Bang Fandi tengah membantu seseorang merangkak ke atas karena hampir saja terjatuh ke jurang.

Bang Haris segera meletakkan carriernya begitu saja dan membantu Bang Fandi menarik seseorang yang hampir terjatuh ke jurang itu. Tampak keduanya bersusah payah menarik orang itu, mereka mengerang seraya menarik tangan orang itu. Beberapa menit kemudian orang itu sudah dapat lepas dari ancaman terjatuh ke jurang.

Kulihat raut wajah kebapakan, mungkin usianya kurang lebih setengah abad. Gurat-gurat penuaan pada kulitnya terlihat menunjukkan bahwa dia sudah berumur.

“Bapak tidak apa-apa kan?” Tanyaku, lalu mengambil air minum yang ada di carrier Bang Haris untuk diberikan kepadanya.

“Iya gapapa, makasih Nak sudah menolong Bapak,” Sahutnya seraya melihat aku, Bang Haris dan Bang Fandi, mereka tengah terduduk dengan napas yang tak beraturan.

Aku mengambil minum lagi dari carrier Bang Fandi untuk diberikan padanya dan Bang Haris.

“Kalian juga gapapa kan? Ini minum dulu,” tanyaku disertai menyodorkan air putih di botol.

“Gapapa Rose,” jawab mereka bersamaan, kompak sekali.

Selanjutnya kami semua diam untuk beberapa saat. Berusaha menata napas yang masih belum beraturan, merasakan desiran angin gunung yang sedingin es.

Setelah napas kami mulai beraturan dan tenaga pun sudah terkumpul lagi, kami melanjutkan perjalanan. Dari sedikit perbincangan tadi, aku mengerti bahwa Bapak itu bernama Parto. Dia juga sama seperti kami, bertujuan untuk mencapai puncak, namun dia mendaki sendiri, dan tadi dia terpeleset hingga hampir terjatuh ke jurang. Beruntung ada akar untuk pegangan tangannya sebelum terjatuh lebih dalam, hingga Bang Fandi datang menolong.

Rombongan bertambah satu orang, yaitu Pak Parto. Setelah satu jam perjalanan, jalanan sudah mulai tidak terlalu menanjak, dan benar saja, sebentar lagi kami akan sampai di puncak.

“Yeaaah, akhirnya kita sampai puncak, syukur senantiasa kita panjatkan kepada-Nya,” teriak Bang Fandi dengan senyum mengembang dan disambut dengan senyumku, Bang Haris dan Pak Parto.

“Alhamdulillah….” Ucap Pak Parto.

Bulir bening menetes dari sudut-sudut mataku. Aku merasa terharu bisa sampai puncak, setelah berjuang mati-matian untuk tetap bertahan, hasilnya aku bisa mencapai puncak. Kupanjatkan puji syukur kepada-Nya, tanpa kekuatan yang diberikan-Nya, aku tidak akan dapat bertahan dan mencapai puncak.

Sementara itu Bang Haris dan Bang Fandi membuka carrier mereka dan mendirikan tenda untuk istirahat kami, Pak Parto juga membantu mereka. Aku berdiri meregangkan otot-ototku, lalu menatap langit, ‘Wow, aku sangat terkejut’.

Kulihat Bintang begitu banyak. Rasanya seperti dekat sekali dengan langit. Indah tak terkira. Tak bisa kuungkapkan dengan kata-kata. Karena keindahannya memang harus dinikmati secara langsung. Bulan terlihat takzim menggantung di tengah bintang-bintang. Tak habis-habisnya puji syukur ku panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hingga pandanganku berkaca-kaca. Air kerendahan seorang hamba kembali mengalir.

“Rose…, tunggulah apa yang akan terjadi sebentar lagi. Tidak akan kamu lupakan seumur hidup!” Ujar Bang Haris, senyumnya mengembang.

Aku mengeryitkan kening, “Apa Bang?” Tanyaku.

Bang Haris hanya tersenyum, lalu kuedarkan pandangan bertanyaku pada Bang Fandi, dia juga hanya tersenyum, lalu melirik Bang Haris. Sial, mereka mengerjaiku, ada apa sih?

To be Continued…

Yang belum baca cerita sebelumnya. Baca deh Lemping 1 dan Lemping 2, gak bakalan nyesel.

Inet Bean
4 Mei 2016

#LanjutanCerbung
#OneDayOnePost

Selasa, 03 Mei 2016

Blue Rose (Lemping 2)

pixabay.com

Yang belum baca sebelumnya, baca dulu Blue Rose

Bayangan di cermin mengcopy-paste gerakan apapun yang sedang kulakukan. Menyisir rambut coklat panjangku, memoles tipis make up wajahku, dan tentu saja tersenyum manis pada diriku sendiri. Aku rasa untuk wisuda saja tidak perlu repot-repot ke salon, jadi ya walau temen-temen mengajakku ke salon, aku pilih memoles sedikit make up saja, senatural mungkin. Lagian banyak yang bilang aku lebih cantik tanpa make up.

Lihat bayangan di kaca itu, dia putih bersih, mancung, senyum yang manis, dan kornea mata yang biru. Bukankah suatu yang cukup untuk berterimakasih pada Tuhan? Dikeluargaku hanya aku yang bermata biru. Aku sempat curiga apakah aku ini anak pungut? Tapi Mama menjelaskan, katanya dari kakek buyutnya pernah ada yang bermata biru. Bentuk wajah dan senyumku juga mirip Mama. Mungkin aku termasuk gen yang terselip-selip yang berhasil muncul ke permukaan. Entahlah.

Tentang mata biru. Aku jadi ingat mawar biru. Ingatan tiga tahun yang lalu pun menghias di kepalaku. Aku bagai terseret ke masa itu. Kenangan yang tak akan pernah terlupa dari hidupku.

Jam 2 dini hari udara semakin dingin dan carrier di pundakku berpengaruh membuatku sulit mengatur nafas. Sedangkan jalan makin terjal, aku berfikir mungkin sebaiknya turun dan kembali ke bawah. Dari pada aku tidak kuat menahan, kemungkinan terburuk adalah pingsan.

“Rose, kamu masih kuat kan?” Tanya Bang Haris, nadanya menyiratkan kekhawatiran yang mendalam.

“Masih Bang,” jawabku dengan nafas tersengal. Sebenarnya aku bohong, tubuhku serasa mau ambruk. Aku seorang yang tidak pernah olah raga tiba-tiba diajak mendaki.

“Sedikit lagi, Rose. Kamu harus kuat.” Bang Fandi menimpali.

“Iyah, Rose kuat Bang.” Masih dengan nafas tak beraturan.

“Lepas carrier kamu, Rose,” Bang Fandi memerintah.

Aku menurut, kulepaskan carrier 55 liter yang menancap di pundakku. Ajaib sekali, beban hidupku serasa berkurang 50 persen. Semangat hidupku serasa bertambah kembali. Selagi aku meregangkan otot-ototku ternyata Bang Fandi mengaitkan carrierku di dadanya. Jadi dia membawa dua carrier di pundak dan dada.

“Ayo, lanjutkan perjalanan, semangat!” Teriak Bang Fandi seraya meninjukan kepal tanggannya ke udara.

“Bang Fandi bawa dua carrier?” Ujarku memelototkan dua bola mata biruku.

“Iya, Rose. Abang gak tega lihat mukamu pucet kayak tadi,” terang Bang Fandi disertai senyuman, sejuk sekali mengalir ke hatiku.

“Eh, tapi kan carrier Bang Fandi udah besar, masa’ harus bawa dua sih, aku satu aja gak kuat. Kasihin bang Haris aja Bang.”

“Iya Fan, siniin biar aku aja yang bawa,” tawar Bang Haris.

“Udah gapapa, pendaki professional mah udah biasa gini,” ucap Bang Fandi menyombongkan diri seraya cekikikan. “Ntar gantian, sekarang aku dulu deh Har, Ayo jalan!”

Ada rasa gak enak hati pada Bang Fandi. Dia harus bawa dua carrier sekaligus. Sedangkan aku tidak membawa apa-apa. Tapi harus bagaimana lagi, aku emang gak kuat kalau harus memikul carrier lagi.
 
Kami bertiga berjalan beriringan. Bang Haris pertama, kemudian aku dan terakhir Bang Fandi. Mereka tergolong nekat sih ngajak seorang Blue Rose mendaki. Iya sih, aku pengen mendaki, tapi gak mendadak juga kali, jadinya kan belum ada persiapan fisik.

Aku baru tahu, ternyata mendaki itu seperti ini. Terasa dingin banget ketika berhenti, tapi saat berjalan alias mendaki, tidak terlalu terasa dingin. Justru peluh yang malu-malu muncul, karena malu dengan dinginnya hawa gunung.

“Break dulu!” Teriak Bang Fandi, “kalian denger sayup-sayup ada yang minta tolong gak sih?” Tanya Bang Fandi.

“Enggak Fan,” jawab Bang Haris.

“Eh, iya deh kayaknya barusan ada suara minta tolong,” ujarku dengan mimik antara penasaran dan takut.

“Ya kan Rose…” ucap Bang Fandi.

“Oh iya, aku juga denger.” Bang Haris menimpali.

“Ayo cari sumber suaranya!” Ucap Bang Fandi. Tiba-tiba bulu kudukku merinding. Mudah-mudahan suara itu pemiliknya manusia.

To be Continued...

Inet Bean
3 Mei 2016

#LanjutanCerbung

#OneDayOnePost