Menjaring Ide
Ritmik hujan tengah bersimponi ketika aku menulis tulisan
ini. Setiap rintiknya membawa rindu, rasa, masa lalu dan sesuatu yang magis. Bagiku
hujan selalu magis, karena bisikannya mampu membangunkan kenangan yang lama
tertidur.
Karena Hujan pula, aku mampu menjaring ide yang bermunculan
di otakku. Mereka berseliweran sambil menyapa manja. Ya, ide itu sungguh manja.
Makanya jangan sekali-kali mengabaikannya. Karena sekali diabaikan, dia akan
lenyap, menghilang tanpa menyisakan apa pun.
Aku lebih suka mengatakan dengan istilah ‘menjaring ide’. Ibarat
ikan di laut. Kita harus tahu kapan dan dimana ikan-ikan berada. Ketika kita
sudah tahu waktu dan tempat yang tepat untuk menjaring Ikan. Maka disitulah,
kita akan memanen ikan.
Hujan membawa sejuta inspirasi. Dari situ kujaring ide-ide yang
menari-nari dalam pandangan imajinerku. Dan hei, aku sudah sudah menjaring
mereka. Ini dia…
- Kura-kura
- Mahasiswa
- Ego
- Jatuh Cinta
- Deadline
- Filsafat
- Dua Organisasi
- Kacamata
- Bulan
- Hujan
2 komentar
Tulis komentarthe magic of rain..nice.
ReplyLihatlah kembali kebelakang di mana jejak kaki kita telah menorehkan sejarah, apakah kita menyadarinya dulu di sana betapa cinta tertatih menampakan dirinya, mencoba mengiringi dan melengkapi kisah kita.
ReplyPernah cinta hadir menerjemahkan diri sebagai sebait rasa, namun ego kita menafikannya, di kali lain cinta menjelma kebersamaan namun kita terlalu sibuk dengan kesendirian, hingga ahirnya kini semua benar-benar terasa begitu sepi, cinta telah beranjak pergi.
Sungguh sebenarnya betapa bodoh diri kita, sampai di titik kritis ini kita masih belum menyadari pun belum memahami, bahkan mungkin kita tak sungguh pernah peduli akan arti kepergian ini. Kita telah melupakan cinta dan lebih jauh lagi kita telah melupakan kelupaan kita akan cinta, betapa dalam kita telah kehilangan segala tentangnya, begitu abisal...
Bagai layang-layang yang terbang di tengah badai, ia hancur terkoyak menghilang bahkan sebelum sempat terjatuh, begitulah cinta dalam kisah kita, ia pupus sebelum mekar berkembang, ia memudar sebelum takdir sempat menuliskan ahir tentangnya atau barangkali inilah goresan itu: sesuatu yang menjadi kemestian sebelum ia sempat menjadi takdir, betapa singkat dan menyedihkan kita membuatnya.
Benarkah kita telah sampai pada titik itu, sebuah batas di mana kisah lelah mengalir, pengembaraan telah terhenti terpagut oleh jurang sunyi keterpisahan, membiarkan kita terdiam diliput lumut-lumut sepi yang membekap membekukan renjana dalam sanubari.
Lentera itu telah padam, tak akan ada lagi ujung yang mampu kita tatap, petunjuk telah buta, tak akan ada apa-apa yang bisa ia raba, namun kita selalu bersikap seolah semua baik-baik saja, setiap saat ego telah membisikan segala kesombongan akan dongeng kesendirian yang manis, kita terperdaya hingga telinga kita pun ikut tuli tak lagi mampu mendengar suara rindu yang menjerit dalam kalbu.
Bagaikan Sang Bijak dan kita adalah si bodoh, ego mengajari kita bagaimana melepaskan cinta membiarkan ia terbang bebas dengan sayap-sayapnya yang selembut kapas, cinta terbang begitu bebas teramat jauh hingga lebih jauh dari hilang tak tercatat. Sungguh kali ini semestinya kita merasa begitu bodoh, bukankah yang terbaik adalah membuat cinta betah di taman hati, merawatnya, membiarkan ia bermain dan membuat kita bahagia, bukan justru membiarkanya terbang menghilang...
Adakah yang sepadan untuk menebus sesal, adakah yang pantas kita tukarkan, syarat semacam apa yang semestinya kita penuhi agar cinta itu kembali... entah...
-Terima kasih telah berkunjung di blog ini. Silahkan tinggalkan kritik, saran untuk perkembangan.