Untukmu aku Menulis
Kisahku
Kenapa Aku menulis?
Ibu, Kau bilang, “Belajarlah pedih akan hidup ini!” setelah
khotbah panjangmu yang kudengar dengan hati. Kuanggap itu adalah khotbah,
hingga aku tak kuasa berkomentar apa pun. Bibirku kelu, nafasku berat, hatiku
sesak. Aku mencoba bertahan agar tak menangis dihadapanmu, kutahan sekuat
mungkin.
Maafkan, setelah itu aku mengurung diri di kamar. Aku tak
kuat lagi, tersedu tanpa bisa kukendalikan keluarnya air mata. Kau tidak boleh
melihatku menangis, aku ingin kau melihatku sebagai anak yang tegar. Bukan anak
cengeng. Namun ternyata aku hanya perempuan biasa yang bersenjatakan air mata.
Seberapa kutahan tetap saja air mata mengalir deras dipipiku.
Hingga aku terlalu lama di kamar. Kau mungkin khawatir apa
yang sedang kulakukan. Kau memanggilku namun tak kuasa aku menjawab. Tangisku
makin menjadi-jadi. Tidak mungkin aku menyahut dalam keadaan seperti itu, aku
akan ketahuan menangis.
Kau menggedor pintu kamarku. Aku menahan tangisku. Ibu,
tenang saja, anakmu ini tidak mungkin bunuh diri, tidak sependek itu pikiranku.
Butuh beberapa menit untuk menenangkan diri sampai aku membuka pintu dengan
wajah tertunduk.
Ibu, kau bilang aku itu pendiam. Mungkin karena itu terbesit
dalam benakmu aku akan melakukan hal-hal bodoh. Sama sekali tidak Ibu.
Karakterku memang begini. Kenapa aku pendiam? Karena aku dipertemukan dengan
orang-orang yang suka bercerita. Maka rasa yang tertampung di hati hanya bisa
kumuntahkan dengan kata-kata, kurangkai menjadi kalimat, dan selanjutnya
menjelma paragraf secara bersambung-sambung.
Bukankah aku sudah belajar pedih, Ibu? Kau bilang aku yang
paling beruntung diantara kakak-kakakku. Dari segi pendidikan mungkin iya,
namun jiwaku begitu rindu. Rindu bersama keluarga utuh. Ketika aku mulai
mengenal dunia, satu per satu kakak meninggalkan rumah. Hingga puncaknya Ayah
bukan hanya meninggalkan rumah, namun dunia ini. Sejak saat itu aku lebih
menghargai arti memiliki setelah ditinggalkan.
Kini hanya ada aku dan kau. Sudah seperti sinetron-sinetron
saja hidupku. Kadang aku merasa iri pada kehangatan kebersamaan mereka. Tapi
aku harus mencintai duniaku sendiri. Kenapa aku menulis? Karena itulah caraku
menghibur diri, menceritakan keluh kesahku. Maaf Ibu, aku tidak bermaksud
menyembunyikan apa yang kurasa. Namun cukuplah aku menjadi pendengar
keluh-kesahmu akan hidup ini.
Keajaiban demi keajaiban datang dalam perjalananku dari masa
ke masa. Keajaiban kerja keras mu, Ibu. Aku bisa mengenal dunia kepenulisan.
Walau studi sastra yang kuinginkan tidak terwujud. Barangkali ini adalah
ketersesatanku yang baik. Dia mendampingi tiap langkahku. Semua itu berkatmu,
wahai Ibu.
Kau tidak tahu apa yang dicita-citakan anakmu ini. Tapi
cukuplah tiap aku mencium tanganmu sebelum mencari ilmu, kau doakan aku sukses
dalam tiap langkahku. Dan ketika aku sukses kau akan terkejut siapa anakmu ini.
Pada tanggal 25 bulan Mei tahun 2016. Demi kau, Ibu. Dengan
rasa takjimku padamu, dengan rasa di kedalaman hatiku, aku mengizinkan diriku
menjadi penulis dengan menerbitkan minimal satu buku pada tanggal 03 bulan November
tahun 2018. Dan menjadikannya best seller atau lebih baik dari itu.
Dari kedalaman kalbu.
Aku, anakmu.
Inet Bean.
1 komentar:
Tulis komentarTerharu. Semangat Net
Reply-Terima kasih telah berkunjung di blog ini. Silahkan tinggalkan kritik, saran untuk perkembangan.