Blue Rose (Lemping 9)
Cerpen
Bagaimana jika ingatan manusia abadi? Memorinya tidak timbul
tenggelam. Kenangan dari masih berada di kandungan hingga lahir, balita,
remaja, dewasa, sampai akhir hidup ingatannya tak timbul tenggelam. Mungkin aku
tidak akan begini. Tapi apa? Nyatanya tiap aku berusaha menggali masa laluku
yang ada hanya semut-semut ganas pengabur memori.
Telah rusakkah otakku? Orang bilang otak manusia adalah
sebaik-baik memori. Jadi kupaksakan otak ini mencari-cari kenangan siapa yang
berada disampingku ketika aku menangis di dunia ini untuk pertama kalinya. Hasilnya
nihil, semua memori itu seperti telah terhapus habis. Tidak tersisa. Bukankah ini
sebuah ironi?
Bahkan semua ini terasa paradoksal bagiku. otak, kenangan,
memori, masa lalu, masa depan, sama saja. Tetap dan masih misteri. Masa lalu
yang sejatinya sudah dilalui dan masa depan yang belum dilalui. Keduanya menjadi
misteri, bagiku.
Apa yang sedang kulakukan ini adalah pencarian masa laluku. Aku
mencari masa lalu pada masa yang terus berlaju. Bukankah ini suatu kelucuan? Ingin
kutertawakan saja diri ini. Tapi rasaku telah lebur semuanya. Bagiku sedih dan
bahagia, kini tak ada bedanya. Hambar saja yang kurasa.
Pada akhirnya setelah berperang dengan otakku sendiri, aku
memilih bersahabat saja dengannya. ‘Hei otak, aku tak akan memaksamu mengingat
bagaimana aku terlahir ke dunia ini, bukankah saat terbangun nanti dunia ini
sudah lenyap? Terlupakan!’
Maka setelah berdamai dengan diri sendiri. Kuputuskan untuk
berdamai dengan takdir. Takdir yang telah membawaku hingga bermata biru. Biru ini
adalah identitasku, bukan hanya sebagai hereditas dari dia yang mewariskan
kepadaku.
Aku memang mencarinya karena cinta. Rasa di masa lalu yang
terpendam oleh tik-tok jam liar. Cinta yang kulihat pada binar mata Mama.
Masihkah dia merasa akan cinta yang terwariskan padaku? Rasa itu
termanifestasika di spektrum biru mataku. Ayah.
Sekali lagi kuteguhkan. Pencarian ini bukan karena sekedar
formalitas karena aku butuh wali di pernikahanku. Lebih dari sekedar itu. ini
adalah perjalanan masa lalu di masa depan. Waktu semakin melesat ke depan.
Namun deminya kuseret diriku menuju masa yang telah terpendam dalam ruang
penyimpanan kenangan.
Inilah dunia. Ada takdir yang bisa dirubah, ada pula takdir
yang tidak bisa ditawar. Karenanya, aku menerima semua ini. Seperti penerimaan
rerumputan yang hanyut dalam ritme angin. Bagai air yang menerima lekuk-lekuk
aliran sungai. Dan takdir api yang selalu angkuh ke atas.
“Hei bangun, kita
sudah sampai di Pekalongan….” Cowok disebelahku dengan suara pelan. Tentu aku
spontan menoleh. Aku tidak tidur, hanya memandang ke arah jendela tepat
disebelahku.
“Oke, ayo kita turun,” Perintah cowok itu.
“Kita mau kemana?” tanyaku agak linglung.
“Ke Dieng lah, nanti mampir dulu di rumah pamanku.”
“Ngapain?”
“Ngambil sesuatu. Eh, btw kita belum kenalankan? Namaku Ray,
Kau?” Ucapnya sambil menyodorkan tangannya untuk bersalaman.
“Rose,” Sahutku, hanya dengan tersenyum simpul.
Aku kira Pekalongan yang katanya Kota Batik semuanya serba
batik. Temboknya batik, pohonnya batik, aspalnya batik, langitnya batik,
semuanya batik. Ternyata itu hanya kelebayan ekspetasiku saja. Kota ini tetap
kota yang wajar. Tidak seperti pada dongeng-dongeng yang apabila Kota Permen,
maka rumahnya terbuat dari permen.
Dieng adalah pegunungan, di sana tidak ada kereta api. Bisa repot
kalau kereta api ada di Dieng. Nanti jatuhnya bagai naik roller coaster yang
maha dahsyat membuat jantung copot. Makanya sebelum ke Dieng, bermukim dulu di
Pekalongan. Baru dari sini menuju Dieng. Welcome Dieng, Kota di atas awan.
Inet Bean
24 Mei 2016
#LanjutanCerbung
#OneDayOnePost
2 komentar
Tulis komentarDitunggu inet sambungannya
Replyayooo inet, lanjutannya masih lama nih kayae
Reply-Terima kasih telah berkunjung di blog ini. Silahkan tinggalkan kritik, saran untuk perkembangan.