Selasa, 30 Agustus 2016

Kita dan Cappucino Vanilla

Kita dan Cappucino Vanilla


Tahukah apa yang kurasa saat meminum segelas dingin Cappucino Vanilla? Kita bertebak rasa ketika itu. Ah, maafkan jika lagi-lagi aku berbicara soal rasa. Dan kini kau terlihat tak tertarik seperti dulu.

Jika kau tanyakan bagaimana malam yang sempurna. Akan kujawab, malam ketika aku bersamamu. Kau melihat mataku dan aku melihat matamu. Selanjutnya kita tertawa bersama. Kita tak mengeluarkan lelucon apapun, tapi bukankah dengan saling menatap seperti itu adalah lelucon bagi kita?

Baiklah, kini kau masih enggan tersenyum. Masih dengan wajah dinginmu itu. Tapi aku tahu di dalam sana, ada ruang hangat penampung senyummu yang hanya terlihat oleh hatiku.

Ketika kuminum Cappucino Vanilla itu hanya dengan sedikit adukan dan kau memandangku, aku pura-pura agar wajahku sebiasa mungkin. Dan kau selalu tahu saat aku menyembunyikan sesuatu.

“Bagaimana rasanya?”

“Dingin.”

Ingatkah kau? Keningmu berkerut, matamu menyelidik, kemudian kita tertawa. Ah, lelucon macam apa ini? Kita adalah pasangan paling aneh di cafe ini. Tak perlu banyak bicara, namun tertawa bersama.

Jika mata hanya untuk kita saja. Tidak untuk saat kita saja saat kau bertanya tentang rasa. Setidaknya mereka harus tahu, kenapa kita tertawa bersama. Rasanya ‘pahit’. Kau bilang ekspresi wajahku lugu tapi agak sombong. Hey, ekspresi macam apa itu? Dasar kau.

Kau tahukan? Aku tidak pernah berbohong. Hanya saja aku menjawab jawaban yang terlihat agak manis daripada aku harus merusak suasana kita dengan berkata pahit, karena yang kurasakan saat bersamamu adalah manis yang pas, sama sekali tidak menyebabkan diabetes.

Persis di depan kita duduk. Ada pasangan lain yang terlihat bahagia sekali dari binar matanya, si wanita bercerita panjang lebar dan si lelaki sesekali menanggapi, lalu mereka tertawa bersama.

‘Mereka pasangan yang wajar,’ batinku. Sedangkan kita, hanya diam. Dan sesekali tertawa yang hanya kita berdua saja yang tahu penyebabnya. Maaf, aku tidak secrewet wanita-wanita kebanyakan.

Kadang aku berpikir, mungkin aku ini seharusnya terlahir sebagai seorang lelaki. Tapi, mungkin keinginan Ibuku untuk memiliki anak perempuan lebih kuat. Jadilah, aku anak perempuan diantara tiga anak laki-lakinya.

“Hei, kenapa kau melamun?”

“Bukankah kita adalah pasangan yang aneh?”

“Kita bukan aneh, tapi unik. Sudah malam, ayo kita pulang.”

Aku mengangguk dan tersenyum. Ketika kulangkahkan kakiku, entah berapa pasang mata yang menatapku dengan tatapan ‘aneh’.

“Sudahlah, kau tahu mata mereka hanya bisa melihat dua Cappucino Vanilla tanpa bisa melihat mataku.”

~Inet Bean
30 Agustus 2016/ 03:07 AM


"Cinta selalu mampu menghadirkan jiwa, walau raga menjadikan jarak yang kadang menyakitkan".
Kita dan Cappucino Vanilla
4/ 5
Oleh

Berlangganan via email

Suka dengan postingan di atas? Silakan berlangganan postingan terbaru langsung via email.

6 komentar

Tulis komentar
avatar
30 Agustus 2016 pukul 09.52

Haduh haduh... inettt... romantis banget lho. Ini nulisnya ngebayangin pacar kah? Apa ini pengalaman bareng pacar?

Reply
avatar
20 Oktober 2016 pukul 11.32

Romantic Class. Kita perlu mengingat aroma malam itu yang demikian resap.

Reply

-Terima kasih telah berkunjung di blog ini. Silahkan tinggalkan kritik, saran untuk perkembangan.