Kita dan Cappucino Vanilla
Cerpen
Tahukah apa
yang kurasa saat meminum segelas dingin Cappucino Vanilla? Kita bertebak rasa
ketika itu. Ah, maafkan jika lagi-lagi aku berbicara soal rasa. Dan kini kau
terlihat tak tertarik seperti dulu.
Jika kau
tanyakan bagaimana malam yang sempurna. Akan kujawab, malam ketika aku
bersamamu. Kau melihat mataku dan aku melihat matamu. Selanjutnya kita tertawa
bersama. Kita tak mengeluarkan lelucon apapun, tapi bukankah dengan saling
menatap seperti itu adalah lelucon bagi kita?
Baiklah,
kini kau masih enggan tersenyum. Masih dengan wajah dinginmu itu. Tapi aku tahu
di dalam sana, ada ruang hangat penampung senyummu yang hanya terlihat oleh
hatiku.
Ketika kuminum
Cappucino Vanilla itu hanya dengan sedikit adukan dan kau memandangku, aku
pura-pura agar wajahku sebiasa mungkin. Dan kau selalu tahu saat aku menyembunyikan sesuatu.
“Bagaimana
rasanya?”
“Dingin.”
Ingatkah
kau? Keningmu berkerut, matamu menyelidik, kemudian kita tertawa. Ah, lelucon
macam apa ini? Kita adalah pasangan paling aneh di cafe ini. Tak perlu banyak
bicara, namun tertawa bersama.
Jika mata
hanya untuk kita saja. Tidak untuk saat kita saja saat kau bertanya tentang
rasa. Setidaknya mereka harus tahu, kenapa kita tertawa bersama. Rasanya
‘pahit’. Kau bilang ekspresi wajahku lugu tapi agak sombong. Hey, ekspresi
macam apa itu? Dasar kau.
Kau tahukan?
Aku tidak pernah berbohong. Hanya saja aku menjawab jawaban yang terlihat agak
manis daripada aku harus merusak suasana kita dengan berkata pahit, karena yang
kurasakan saat bersamamu adalah manis yang pas, sama sekali tidak menyebabkan
diabetes.
Persis di
depan kita duduk. Ada pasangan lain yang terlihat bahagia sekali dari binar
matanya, si wanita bercerita panjang lebar dan si lelaki sesekali menanggapi,
lalu mereka tertawa bersama.
‘Mereka
pasangan yang wajar,’ batinku. Sedangkan kita, hanya diam. Dan sesekali tertawa
yang hanya kita berdua saja yang tahu penyebabnya. Maaf, aku tidak secrewet
wanita-wanita kebanyakan.
Kadang aku
berpikir, mungkin aku ini seharusnya terlahir sebagai seorang lelaki. Tapi,
mungkin keinginan Ibuku untuk memiliki anak perempuan lebih kuat. Jadilah, aku
anak perempuan diantara tiga anak laki-lakinya.
“Hei, kenapa
kau melamun?”
“Bukankah
kita adalah pasangan yang aneh?”
“Kita bukan
aneh, tapi unik. Sudah malam, ayo kita pulang.”
Aku
mengangguk dan tersenyum. Ketika kulangkahkan kakiku, entah berapa pasang mata
yang menatapku dengan tatapan ‘aneh’.
“Sudahlah,
kau tahu mata mereka hanya bisa melihat dua Cappucino Vanilla tanpa bisa
melihat mataku.”
~Inet Bean
30 Agustus
2016/ 03:07 AM
"Cinta selalu
mampu menghadirkan jiwa, walau raga menjadikan jarak yang kadang menyakitkan".
6 komentar
Tulis komentarHaduh haduh... inettt... romantis banget lho. Ini nulisnya ngebayangin pacar kah? Apa ini pengalaman bareng pacar?
Replyiya romantis banget...suka..
ReplyJadi inget Bang Zafran hahaha
ReplyJadi inget Bang Zafran hahaha
ReplyInet..kangen tulisannya..
ReplyRomantic Class. Kita perlu mengingat aroma malam itu yang demikian resap.
Reply-Terima kasih telah berkunjung di blog ini. Silahkan tinggalkan kritik, saran untuk perkembangan.