Jomblonesia
Celotehhttp://beritafox.blogspot.co.id/2014/04/tipe-jomblo-di-dunia-nyata.html |
Bayangkan! Dalam dua hari ini, ada tiga orang yang menghina-dinaku
atas nama status jombloku. Jangan-jangan mereka berkonspirasi agar aku
menuliskan sesuatu tentang jomblo? Atau alam mengingatkan statusku yang jomblo
agar tidak terlalu sering menonton film romance? Yang paling masuk akal adalah
karena aku merasa tersindir. Sedikit.
Yang paling aneh, coba renungkan, yang aneh aku atau Emakku.
Liburan ini saking bosennya Emak lihat aku tiap hari di rumah. Akhirnya dia
bilang, “Kamu liburan nggak keluar? Misalnya sama pacar?”
“Enggak punya pacar,” jawabku.
“Ya cari lah”
“Cari di mana?”
“Di pesbuk, cari pacar sekarang mah gampang, kalo dulu
susah.”
Di sini aku merasa waktu seketika berhenti. Beku. Nih Emak,
anaknya duduk manis di rumah, malah disuruh pergi, ntar giliran mau pergi
diprotes. Kadang menjadi anak itu sesulit ini. Mencoba patuh dan durhaka akan
menjadi seperti berjalan di atas lapisan es di laut ketika musim semi akan
tiba. Harus hati-hati melangkah, salah sedikit akan tenggelam.
Oke kembali ke jomblo. Secara harfiah, jomblo itu ya single,
jadi gak usah merasa lebih keren deh dengan menyebut diri single. Pada
hakikatnya sama aja, enggak punya pasangan.
Tapi kalau ngomongi soal jomblo, jadi ingat di suatu hari....
“Net kamu tuh dari lahir udah jomblo terus sekarang pun kok
masih jomblo-jomblo aja sih?”
“Lihat sekeliling kita? Sejauh mata memandang sekolahan ini,
sejenis dengan kita. Gimana bisa terjadi reaksi tarik menarik kalau semuanya
bermuatan positif? Nih kalau diumpamakan batu baterai, jadi blunder, enggak
bisa nyala kalau buat nyalain lampu.”
“Net, aku itu ngomongin jomblo, bukan batu baterai. Ingat,
kita ini berada di jurusan IPS. Undang-undang di jurusan IPS, dilarang membuat
ujaran yang bermuatan IPA!”
“Okey okey... maaf, terkadang otak Einsteinku keluar dengan
begitu aja, masih liar, maklum lah, belum dijinakkan.”
“Sekali lagi kamu ngomong mengeluarkan ujaran bermuatan
IPA....”
“Stop. Jadi begini, aku akan menjelaskan tentang jomblonesia
dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Bahwasanya kemerdekaan ialah hak segala
jomblo. Melihat ketimpangan sosial yang terjadi di sekolah kita ini, tidak
memungkinkan untuk dilakukannya mobilitas sosial yang menjurus kepada interaksi
asmara. Melihat rakyat sekolah kita yang homogen. Lihatlah, kita terbentur oleh tembok yang melebihi tembok Berlin di China...”
“Jepang, Net!”
“China!”
“Jepang!”
“China!”
Okay, cukup flashbacknya. Pada akhirnya mereka asik berantem
dan obrolan itu melupakan tujuan awalnya, yaitu jomblo. Obrolan itu mirip
dengan dua hari ini yang menimpaku. Persamaannya kalo mereka bertengkar ngotot
tembok Berlin ada di China atau Jepang, padahal kan mudah, Tembok Berlin ya ada
di Berlin, iya kan? Dan kalo obrolan dua hari tentang jomblo, kita sama-sama
jomblo dan sama-sama saling hina.
(Sebenernya persamaannya di mana Net?)
Inet Bean
31 Januari 2017
-Terima kasih telah berkunjung di blog ini. Silahkan tinggalkan kritik, saran untuk perkembangan.