Ngumpet dari Pak Ustadz
Cerpen
Oleh: Inet Bean
Ada yang bilang aku pendiam, di sisi lain ada juga yang
bilang aku paling gak bisa diam. Jadi aku bingung, aku ini makhluk introvert
atau ekstrovert atau mungkin kolaborasi diantara keduanya. Dulu di kelas, aku
bisa dianggap pendiam, tapi pintar. Walaupun begitu, gak bisa juga dibilang
cupu.
Suatu kisah di mana aku nakal banget, bukan teman yang aku
kerjain, tapi guru, ah bukan, lebih parah lagi, Pak Ustadz. Aku akan ceritakan
sisi nakalku, walaupun tidak sedikit sisi baikku yang patut diceritakan.
Misalnya aku pernah belain temen cewek yang digangguin kakak-kakak senior
cowok, dan itu waktu SD. Buruk, karena dibalik keberanianku, sebenarnya aku
cukup cengeng.
Yang akan aku ceritakan adalah waktu aku sekolah di Taman
Baca Al-Quran, aku sudah di wisuda sejak kelas lima SD, setelah diwisuda aku
masih melanjutkan sekolah di TPQ, jadi namanya adalah Jilid Gharib.
Sore itu aku dan teman-teman menunggu Pak Ustadz Ghoni di
kelas. Tidak bisanya, Pak Ustadz Ghoni terlambat masuk, sementara itu aku dan
dua temanku asik ngobrol, begitu juga yang lainnya asik bergerombol sambil
ngobrol ngalor ngidul.
Diantara dua temanku, akulah yang paling kecil, baik dari
segi umur maupun postur. Aku kelas lima, sedangkan dua temanku kelas enam. Di
TPQ emang enggak seseragam di SD.
“Eh, aku punya ide!” seru Nurul. Aduh, aku selalu sangsi
dengan idenya, pasti gila. Terakhir kami pernah di cari ibunya temanku gegara
ngebully teman yang super pendiem. Untung saja waktu itu hujan, jadi kami
bertiga bisa ngumpet pake payung.
“Apaan, Rul?” Ifa, temanku yang satu menimpali. Walaupun aku
paling kecil, tapi aku gak manggil mereka pakai panggilan “Kak”, karena emang
dari kecil aku manggil mereka dengan nama aja.
Nurul melirikku, aku menopang dagu dengan kedua tanganku di
meja sembari ku tarik alis ke atas, tanda ingin mendengar ide Nurul.
“Gimana kalau nanti Pak Ghoni datang, kita satu kelas
ngumpet?”
“Ngumpet di sana?” Tunjukku ke arah belakang kelas yang
disekat dua papan tulis. Di belakangnya ada meja dan kursi yang tidak terpakai.
“Iya!”
“Kalau Pak Ghoni marah gimana?” tanya Ifa.
“Pak Ghoni kan gak pemarah,” ucapku.
“Teman-teman... ayo sini ngumpul....” seru Nurul. Satu
kelas, yang berjumlah 25 anak berkumpul, hanya ada satu cowok diantara kami,
jadi ceweklah yang menguasai kelas.
“Ada apa?” Eka membuka suara. Sementara yang lain mengajukan
pertanyaan senada.
Aku, Nurul, dan Ifa bergantian saling menjelaskan
pemufakatan jahat kita. Sesekali menjawab pertanyaan dari teman yang keberatan.
Ajaib, tidak terlalu sulit membujuk mereka, entah kenapa mereka dengan polosnya
setuju dengan rencana kita.
Maka kamipun bergegas memosisikan diri ngumpet di belakang
dua papan tulis yang dijadikan sekat, ada yang di atas meja, kursi, yang
penting tidak terlihat. Dan kelas pun hening tak ada anak.
Tidak lama kemudian salah seorang di antara kami ada yang
melihat Pak Ustadz Ghoni sedang menuju kelas. Kami memosisikan diri agar tidak
terlihat dan mengunci mulut.
Pak Ghoni masuk kelas, namun hanya satu langkah dibelakang
pintu, dia mengernyitkan alis, seraya bilang, “Loh? Tidak ada orang?
Yasudahlah, saya pulang saja....” Lalu beliau bergegas pulang.
Kami terpaku untuk beberapa saat. Lalu keluar dari
persembunyian. Dan riuhlah suasana kelas.
“Gimana nih kalau Pak Ghoni marah? Kalian sih?”
“Iya, kayaknya tadi Pak Ghoni lihat kita deh”
“Tadi kan juga kita agak cekikikan.”
Lima belas menit kami berunding setelah akhirnya memutuskan
untuk bersama-sama ke rumah Pak Ustadz Ghoni dan meminta maaf kepadanya. Rumah
Pak Ustadz Ghoni cukup dekat dari TPQ, hanya berjarak kira-kira seratus meter.
14 Januari 2017
-Terima kasih telah berkunjung di blog ini. Silahkan tinggalkan kritik, saran untuk perkembangan.