Pemakluman bagi Pemilik Jabatan Tinggi yang menjadi Biasa?
Artikel
Indonesia memang negara yang menjunjung tinggi persamaan
derajat manusia, tapi realitanya sangat jauh. Bagaikan hanya suatu teori yang
dikoar-koarkan oleh pendidik, tapi nggak ada gunanya buat terjun langsung di
masyarakat.
Ewuh-pakewuh di Indonesia sudah keterlaluan, karena hal itu
justru dimanfaatkan oleh oknum yang merasa jabatannya tinggi, mereka merasa
mempunyai sesuatu yang ‘lebih’ entah untuk pemakluman, penekanan, bahkan
pemaksaan.
Jika di negara Barat, derajat guru dan murid sama, lain di
negara ini, guru dianggap seperti dewa yang paling benar. Murid sedari kecil
tidak diajarkan kritis. Alhasil mental mereka sempurna menjadi mental tempe. Berbeda
pendapat dengan guru atau dosen saja sudah takut setengah mati. Padahal itu hal
yang wajar, bukan di dunia Barat saja, bahkan dunia Islam, Imam Syafi’i pernah
berdebad dengan gurunya, bahkan berbeda pendapat.
Gagalnya pendidikan membentuk mental anak bangsa, berdampak
hingga ia terjun di masyarakat. Mereka menjadi pribadi yang mengagungkan
jabatan tinggi, dan merendahkan jabatan yang lebih rendah dari mereka.
Seperti kasus yang pernah viral di media sosial, seorang ibu-ibu
pejabat MA berbuat kasar kepada polisi lalulintas, anggota DPRD yang ngamuk
lantaran ditegur petugas bandara, bahkan kasus baru yang viral di media sosial,
calon gubernur Jakarta yang menerobos ke jalur busway dengan dalih macet agar
tepat waktu sampai lokasi debat.
Kasus-kasus di atas polanya sama saja, mereka merasa lebih
tinggi jabatannya dan karena itu sudah semestinya mendapatkan pemakluman saat
berbuat salah. Seolah mereka bahkan tidak merasa berbuat salah. Masyarakat juga
sudah termindset demikian. Maka lestari sudah budaya yang salah.
Solusinya?
Tentu saja dengan revolusi mental, saya setuju dengan jargon
yang digembar-gemborkan oleh Pak Jokowi, mental berani, bukan berarti berani
itu tidak sopan, tapi berani dalam hal mengkritisi, tentang benar dan salah,
tentang keadilan, tentang persamaan derajat sebagai rakyat Indonesia dan hamba
Tuhan.
Kapan dimulainya?
Sekarang juga, kita mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Tanpa
memandang status sosial. Sopan santun itu perlu, tapi jangan dijadikan alasan
menuju kebodohan. Jaman sekarang gak ada orang yang bisa dipercaya 100%, bahkan
orang-orang yang tutur katanya halus, bisa diam-diam ternyata menusuk.
Inet Bean
16 Januari 2017
1 komentar:
Tulis komentarBener tuh..suka sebel dengan yang punya jabatan
Reply-Terima kasih telah berkunjung di blog ini. Silahkan tinggalkan kritik, saran untuk perkembangan.