Selasa, 23 Februari 2016

Esensi Embun

Esensi Embun


Embun tak pernah menyalahkan mentari akan kemunculannya, dia menyadari titah yang melekat padanya. Suatu kebahagiaan senantiasa menyambut pagi. Menyapa tiap sukma yang bertafakur tentang alam.
Walau selang setelah mentari muncul, ia akan lenyap, tak pernah ia mengelak untuk tetap setia tiap fajar menjemput.

Bagaimanapun kau tentu berbeda dengan embun. Ia hanya punya cinta, sedang kau juga punya akal yang membuat kita bisa merenung. Tentang suatu kerelaan dan pengorbanan, tentang cinta dan ego, tentang mulianya kasih bersama rasio.

"Bisakah aku menjadi embun?" Katamu. Entah kau bertanya pada siapa. Aku tidak melihat pertanyaanmu ditujukan untukku. Seakan pertanyaan itu dibiarkan melayang ke angkasa. Tanpa berharap ada respon yang turun.

Aku diam. Melihat di kedalaman matamu. Betapa kosong ruang itu. Bahkan cahaya belum berhasil membuka celah untuk masuk. Gelap. Demikian aku menyebutnya. Tapi kau bilang itu bukan kemauanmu.

Kita duduk di antara fajar dan pagi. Menunggu embun menguap dengan datangnya kehangatan. Berharap di tempat gelap itu juga tercipta kehangatan. Hingga ia menguap menjadi terang.
Kau dan aku dengan pikiran masing-masing. Bersentuhan dengan binar bola mata. Aku memikirkan apa yang kau pikirkan tentangku dan kau memikirkan apa yang kupikirkan tentangmu. Begitu saja sampai embun mulai kehilangan setengah badannya.

Hingga embun sempurna terangkat ke awan dan permukaan dedaunan hijau itu tampak kering kita masih terpaut dalam pikiran tentang entitas kita.
Kau tidak bisa menunggu lagi. Rasa ingin tau itu sempurna menyembul dari bibirmu.

"Apa yang kau pikirkan?" Kali ini seakan mempertajam bahwa pertanyaan itu untukku. Kau menatapku dengan bahasa tubuhmu. Sementara aku masih menyimpan egoku. Memohon dalam diam agar membiarkan aku lari dari pertanyaanmu.

Yang keluar dari bibirku hanya "Kamu," dengan intonasi suara yang pelan, lirih, seperti hembusan angin. Lalu aku bertanya, "bagaimana denganmu?" Lanjutku tetap dalam suara paling rendah. Tak ingin selain dirimu mendengar.

"Kau tau? Kenapa kau melihat suatu kegelapan dalam mataku? Kenapa aku bisa tau itu dan kenapa aku ingin menjadi embun?" Air mukaku mendadak pucat pasi. Pertanyaan itu mencecarku dalam sekejap. Andaikan itu adalah kilat maka kilat itu bersautan hingga anak kecil meringkuk tak berdaya didekapan ibunya.

"Kenapa?" Jawabku dengan perasaan yang tak karuan.
"Semua itu jawabannya esensi dari embun, cinta."
Esensi Embun
4/ 5
Oleh

Berlangganan via email

Suka dengan postingan di atas? Silakan berlangganan postingan terbaru langsung via email.

7 komentar

Tulis komentar
avatar
23 Februari 2016 pukul 22.27

salam ODOP 2 dari chandratatian.blogspot.com

Reply
avatar
7 April 2016 pukul 22.10

ah, embuh. eh. embun. hehe

Reply
avatar
7 April 2016 pukul 23.39

Ehmmm esensi embun dari embun cinta. Maknanya tersirat gtu ya.

Reply
avatar
7 April 2016 pukul 23.39

Ehmmm esensi embun dari embun cinta. Maknanya tersirat gtu ya.

Reply

-Terima kasih telah berkunjung di blog ini. Silahkan tinggalkan kritik, saran untuk perkembangan.