Rabu, 01 Februari 2017

Jika Sumpah atas Nama Tuhan Tak Lagi Mempan

Jika Sumpah atas Nama Tuhan Tak Lagi Mempan

Jika sumpah atas nama Tuhan tak lagi mempan, maka dengan apalagi manusia-manusia berikrar? Apa jadinya jika tuhan hanya untuk pajangan-pajangan rumah saja? Apa yang bisa menghalangi manusia tidak mengingkari aturan Tuhan? Ah kan aturan tuhan mereka jadikan mainan? Tapi aturan tuhan yang mana? Atau jangan-jangan mereka ingin menjadi tuhan?

“Ah kau ini, apakah dirimu sendiri sudah bisa mengikuti aturan Tuhan?”

Apakah sebentuk pertanyaan harus berakhir pada pertanyaan pula? Lalu apa gunanya ada pertanyaan jika tidak ada jawaban? Apa gunanya mempertanyakan kalau jawabannya adalah mempertanyakan kembali? Dunia adalah pertanyaan. Manusia yang punya perasaan dan impian tidak akan tenang hidupnya sebelum mendapat jawaban.

“Sudah sejak lama aturan tuhan dijadikan mainan, tidak terkecuali mereka yang mengaku dekat dengan Tuhan”

Manusia itu makhluk yang penuh perhitungan. Bahkan kepada Tuhan pun mereka hitung-hitungan. Apakah Tuhan juga perhitungan? Darimana kita bisa tahu jawaban dari Tuhan? Apakah kita harus tidur dulu lalu bangun lalu tidur lagi dan di dalam mimpi tiba-tiba saja Dia memberikan jawabannya? Atau kita bertanya pada wakil Tuhan setelah lonceng berdentang tiga kali? Bagaimana jika jawabannya terletak pada semedi yang panjang? Atau pada lilin-lilin merah yang menyala? Mana yang lebih bisa menjawab atau yang lebih bisa menjamin sumpah selalu mempan?

Kadang pada saat kesenangan menghampiri mereka melupakan sumpah, dan di saat kemalangan atas konsekuensinya mereka kembali bersumpah atas nama Tuhan. Begitukan mereka memperalat tuhan? Hanya untuk kepentingan pribadi. Sekarang ini tidak juga yang mengaku dekat dengan Tuhan, nyatanya mereka tetap tidak puas dengan yang Tuhan beri.

“Kau ini, begitu saja heran.”

Semua orang pasti heran. Apa yang mereka cari? Kedudukan yang tinggi? Sudah. Uang? Sangat lebih dari kata cukup. Lalu untuk apa lagi? Di tempat lain seorang ibu bahkan menawarkan pilihan akan makan siang saja atau malam saja pada anak-anaknya. Tinggal dengan terlunta-lunta, berpindah dari satu kontrakan ke kontrakan yang lain. Bagaimana kalau kita bicarakan keadilan Tuhan?

“Kau ini semakin ngaco saja. Manusia tidak akan pernah merasa puas.”

Aku ini tidak paham soal keadilan. Barangkali kau benar, semua ini soal rasa puas dan tidak puas, atau mungkin soal bahagia dan tidak bahagia, rasa cukup dan tidak cukup. Bagi kita bisa makan tiga kali sehari saja itu sudah sebentuk kenikmatan.

“Bahagia datangnya dari hati.”

Mereka melupakan hati, melupakan hal-hal sederhana, melupakan hidup, melupakan mati, melupakan...


“Jangan lupa untuk bernafas....”

1 Februari 2017
Jika Sumpah atas Nama Tuhan Tak Lagi Mempan
4/ 5
Oleh

Berlangganan via email

Suka dengan postingan di atas? Silakan berlangganan postingan terbaru langsung via email.

2 komentar

Tulis komentar
avatar
1 Februari 2017 pukul 14.48

Beruntungnya meski lupa makan tetap bisa napas.

Reply
avatar
2 Februari 2017 pukul 13.52

Kalo lupa napas mati dong mbk :D

Reply

-Terima kasih telah berkunjung di blog ini. Silahkan tinggalkan kritik, saran untuk perkembangan.