Kamis, 02 Februari 2017

Saat Ikrar Terucap

Saat Ikrar Terucap

Saat ikrar terucap, serupa perjalanan panjang dengan kepayahan dan keajaiban dalam mencapai puncak gunung. Semesta selalu membuka pintu-pintunya, membantu dengan segala keagungannya. Sungai, lumut, pepohonan, adalah petunjuk-petunjuk alami yang tak mampu berdusta. Sebentuk tekad dan jerih payah, adalah jalan terjal menuju surga di seberang.

Ketika terlihat peluh di keningmu, membuatku merasa gentar, angin keraguan berhembus pelan, mengsangsikan kemampuanku. Aku bertanya pada udara kosong, bagaimana jika nantinya hanya bermuara pada kegagalan, pada kekecewaan, pada penghianatan. Bagaimana jika hanya ucapan semu yang berikrar, bagaimana jika dan bagaimana jika.

Kau tersenyum. Bagaimana bisa kau tersenyum saat berpeluh? Aku yakin itu bukan sebuah senyum paksaan, bukan pula senyum penghianatan. Lalu apa yang membuat senyum mekar di wajahmu? Sedetik kemudian aku menangkap bayangan keceriaan di bola matamu. Orang-orang yang begitu saja melakukan apapun tanpa pamrih. Kini tanganmu menempel di dada. Hati nurani, bisikmu.

Bicarlah lagi, meski dengan berbisik akan kudengar. Aku begitu membutuhkan. Orang-orang selalu bilang motivasi itu penting. Memperbarui semangat selalu berhasil. Dan bagaimana aku bisa mendapatkannya?

Kau hanya tersenyum, menepuk pelan dadamu, berkali-kali. Jika kau bisa berbisik, kenapa lebih menyukai bahasa isyarat itu? Membuatku harus berpikir keras dan menirukan gerakan-gerakanmu, persis sama. Berulang-ulang, dalam keheningan.

Semakin lama, aku kepayahan. Hampir saja aku menyerah mengulang-ulang gerakan yang sama. Sementara itu peluh mulai bermunculan. Aku gemetar. Tak ada bisikan lagi darimu. Aku masih menunggu. Sebentar lagi tubuhku akan ambruk.

Tiba-tiba aku mendengar suara, bukan darimu, entah darimana. Suara itu semakin jelas kudengar, berulang-ulang. Aku ketakutan. Dan kau tampak tersenyum lebih indah dari awal. Peluhmu hilang, dan ternyata begitu juga dengan peluhku. Suara itu, suara itu semakin membuat tubuhku kembali tegak. Rasa lelah seketika lenyap bersama peluh-peluh yang menguap.

Begitulah aku tahu apa yang harus kulakukan. Tak ada lagi pertanyaan bagaimana jika, yang ada sekarang adalah kenapa tidak? Kenapa tidak? Kenapa tidak?

Kau masih dengan senyummu. Aku perlahan berjalan mundur, kau semakin kecil kemudian tak terlihat saat aku bergegas meninggalkan kamar. Ah ada sesuatu yang tertinggal. Aku kembali ke kamar, lalu tersenyum melihatmu.

“Kau pasti bisa,” bisikmu.

“Bercerminmu sudah lebih dari satu jam, bercermin lagi?” kata Ibu.

Inet Bean
2 Januari 2017
Saat Ikrar Terucap
4/ 5
Oleh

Berlangganan via email

Suka dengan postingan di atas? Silakan berlangganan postingan terbaru langsung via email.

11 komentar

Tulis komentar
avatar
2 Februari 2017 pukul 13.50

Hahaha... eh kok jadi kek mau nikah sih...

Reply
avatar
3 Februari 2017 pukul 07.43

Iyya diksinya keren, suka pen deskripsiann ya.

Reply
avatar
3 Februari 2017 pukul 14.46

Prosa liris atau apa ini namanya???
suka banget saya bacanya.

Reply
avatar
3 Februari 2017 pukul 20.28

Senyum jelas aja mbk Lisa... :D

Reply

-Terima kasih telah berkunjung di blog ini. Silahkan tinggalkan kritik, saran untuk perkembangan.