Saat Ikrar Terucap
Cerpen
Saat ikrar terucap, serupa perjalanan panjang dengan
kepayahan dan keajaiban dalam mencapai puncak gunung. Semesta selalu membuka
pintu-pintunya, membantu dengan segala keagungannya. Sungai, lumut, pepohonan,
adalah petunjuk-petunjuk alami yang tak mampu berdusta. Sebentuk tekad dan
jerih payah, adalah jalan terjal menuju surga di seberang.
Ketika terlihat peluh di keningmu, membuatku merasa gentar,
angin keraguan berhembus pelan, mengsangsikan kemampuanku. Aku bertanya pada
udara kosong, bagaimana jika nantinya hanya bermuara pada kegagalan, pada kekecewaan,
pada penghianatan. Bagaimana jika hanya ucapan semu yang berikrar, bagaimana
jika dan bagaimana jika.
Kau tersenyum. Bagaimana bisa kau tersenyum saat berpeluh? Aku
yakin itu bukan sebuah senyum paksaan, bukan pula senyum penghianatan. Lalu apa
yang membuat senyum mekar di wajahmu? Sedetik kemudian aku menangkap bayangan
keceriaan di bola matamu. Orang-orang yang begitu saja melakukan apapun tanpa
pamrih. Kini tanganmu menempel di dada. Hati nurani, bisikmu.
Bicarlah lagi, meski dengan berbisik akan kudengar. Aku begitu
membutuhkan. Orang-orang selalu bilang motivasi itu penting. Memperbarui semangat
selalu berhasil. Dan bagaimana aku bisa mendapatkannya?
Kau hanya tersenyum, menepuk pelan dadamu, berkali-kali. Jika
kau bisa berbisik, kenapa lebih menyukai bahasa isyarat itu? Membuatku harus
berpikir keras dan menirukan gerakan-gerakanmu, persis sama. Berulang-ulang,
dalam keheningan.
Semakin lama, aku kepayahan. Hampir saja aku menyerah
mengulang-ulang gerakan yang sama. Sementara itu peluh mulai bermunculan. Aku gemetar.
Tak ada bisikan lagi darimu. Aku masih menunggu. Sebentar lagi tubuhku akan
ambruk.
Tiba-tiba aku mendengar suara, bukan darimu, entah darimana.
Suara itu semakin jelas kudengar, berulang-ulang. Aku ketakutan. Dan kau tampak
tersenyum lebih indah dari awal. Peluhmu hilang, dan ternyata begitu juga
dengan peluhku. Suara itu, suara itu semakin membuat tubuhku kembali tegak. Rasa
lelah seketika lenyap bersama peluh-peluh yang menguap.
Begitulah aku tahu apa yang harus kulakukan. Tak ada lagi
pertanyaan bagaimana jika, yang ada sekarang adalah kenapa tidak? Kenapa tidak?
Kenapa tidak?
Kau masih dengan senyummu. Aku perlahan berjalan mundur, kau
semakin kecil kemudian tak terlihat saat aku bergegas meninggalkan kamar. Ah ada
sesuatu yang tertinggal. Aku kembali ke kamar, lalu tersenyum melihatmu.
“Kau pasti bisa,” bisikmu.
Inet Bean
2 Januari 2017
11 komentar
Tulis komentarIni yang mau nikah ? haha
ReplyIni yang mau nikah ? haha
ReplyHahaha... eh kok jadi kek mau nikah sih...
ReplySenyum gaje nih
ReplyKeren diksinya
ReplyIyya diksinya keren, suka pen deskripsiann ya.
ReplyProsa liris atau apa ini namanya???
Replysuka banget saya bacanya.
Senyum jelas aja mbk Lisa... :D
ReplyMakasih Mbak Wid...
ReplyAiiih makasih Bang Ian
ReplyCerpen Mas Heru, hehe...
Reply-Terima kasih telah berkunjung di blog ini. Silahkan tinggalkan kritik, saran untuk perkembangan.