Saat Terakhir dengan Bapak
Kisahkuhttp://www.caradesain.com/15-foto-pemandangan-langit-yang-mengagumkan/ |
Sampai sekarang yang kusesali adalah aku gagal memenuhi
keiginan Bapak menjelang hari-hari terakhirnya. Malam itu, Bapak bilang ingin
wedang ronde. Sederhana. Tapi enggak tahu kenapa malam itu aku nggak nemu
penjual wedang ronde.
Sudah kupacu motor ke tempat-tempat yang kuketahui ada
penjual wedang ronde. Namun secara ajaib satu pun tidak aku temui. Akhirnya aku
pulang dengan rasa yang hampa dan kecewa. Aku juga tidak bisa mencari secara
maksimal karena terkendala malam yang mulai larut.
Walaupun Bapak bilang tidak apa-apa, tetap saja ada angin
kekecewaan yang menjalar di diriku.
Beberapa hari kemudian, Bapak dilarikan ke rumah sakit. Bapak
memang sudah sakit-sakitan sejak aku SMP. Sakitnya musiman, tetapi kalau sudah
sakit, ia tidak berdaya, untuk jalanpun susah. Walau begitu, ia tidak berkeluh
kesah kepada anak-anak dan istrinya. Barangkali dari situ aku menirunya.
Yang membuatku terenyuh. Ibu selalu sabar merawat Bapak,
walau di antara mereka tidak terucap kata cinta. Namun cinta terlihat dari ketulusan
Ibu mendampingi Bapak dengan telaten dan diamnya Bapak yang tidak kuasa
menambah kesedihan Ibu dengan meratap. Meski aku tahu, rasa sakit yang menjalar
dalam tubuhnya begitu menyiksa. Itulah bahasa cinta mereka.
Sekitar lima hari Bapak di rawat di rumah sakit. Tiba-tiba
Ibu bilang kalau Bapak mau dibawa pulang. Sementara itu dari cerita Ibu,
keadaan Bapak tidak menuju pada kesembuhan. Malam pertama aku menghadapi Ujian
Kelulusan SMA justru tidak bisa berkonsentrasi belajar. Pikiranku melayang ke
Bapak.
Aku dan tiga kakakku menunggu di teras rumah. Aneh sekali,
tidak biasanya kami berkumpul dengan formasi seperti ini. Ketiga kakakku sudah
menikah, kalaupun sedang kumpul biasanya bersama dengan suami atau istri
mereka. Dua suami kakakku justru ikut menjemput Bapak, dan anak-anaknya
menunggu di rumah.
Jalanan sepi. Angin tidak terasa dingin, hawa juga tidak
panas. Walau tanganku memegang buku, aku tidak bisa konsentrasi untuk membaca. Sementara
itu kakak-kakakku hanya diam duduk disebelahku. Tetiba aku mencium bau harum,
seperti aroma bunga mawar tapi lebih wangi. Mungkin perpaduan wangi bunga
mawar, melati, dan entahlah. Aku celingak-celinguk, tidak ada orang yang baru
lewat. Ada rasa yang bergejolak dalam hatiku.
Beberapa detik kemudian, kakak sulungku memecah kesunyian di
antara kami, “Ada yang memcium bau melati nggak?”
“Iya, tapi keknya bukan bau melati deh,” kata kakakku nomor
tiga.
Aku kira hanya aku yang mencium aroma itu. Tapi ternyata
kami mencium wangi yang sama. Entah, wangi siapa yang tiba-tiba menyeruak itu.
Kami tidak tertarik untuk membahas lebih lanjut. Pikiran kami masih sibuk
memikirkan Bapak.
Tidak lama kemudian, ada mobil yang berenti di depan rumah,
ya... itu Bapak, Ibu, dua kakak iparku dan Bibi. Keadaan Bapak demikian lemah,
entah kenapa Ibu membawa Bapak pulang dengan kondisi seperti itu. air hangat
menggenang di pelupuk mataku.
Di samping bapak terbaring, kulantunkan ayat-ayat suci
Al-Quran. Sementara itu Ibu yang tak kuasa lagi melihat Bapak tetiba pingsan. Tidak
pernah aku melihat Ibu pingsan seperti itu, keadaannya begitu rapuh. Tidak lama
kemudian setelah Bibi mendekatkan minyak kayu putih di hidungnya, Ibu siuman. Ia
ditenangkan oleh Bibi, Paman, dan kakak perempuanku.
9 Februari 2017
4 komentar
Tulis komentarSo sad ðŸ˜
ReplySemangat net 😀 pasti bapak disana sdh bahagia.
ReplySedih...aku tahu rasanya...hiks hiks
ReplySedih. ðŸ˜
Reply-Terima kasih telah berkunjung di blog ini. Silahkan tinggalkan kritik, saran untuk perkembangan.