Rabu, 16 Maret 2016

Tentang Batas

Tentang Batas

sumber: peri google
Anak kecil, usia tiga-empat tahunan. Masa aktif dan kritis. Lantas dia melakukan  ini dan itu. bertanya banyak hal tentang semesta. Suatu ketika dia bertanya tentang kerlap-kerlip bintang. 

Ada dua pilihan jawaban. Jawaban pertama bahwa bintang itu sebenarnya besar. Mereka adalah matahari bagi planet lain. Memang jawaban tersebut benar adanya. Dan opsi jawaban kedua. Bintang memang kecil. Karena saat di lihat dari bumi tentu bintang terlihat kecil.

Jika melihat dari dua jawaban tersebut yang pertama memanglah jawaban pintar. Tapi tentu sang anak kesulitan mencerna jawaban itu. Jawaban kedua memang kelihatannya bodoh. Tapi sebenarnya jawaban kedua inilah jawaban cerdas untuk pola pikir anak usia 3-4 tahun.

Jadi, apa hubungannya dengan batas? (haha)
Di ilustrasi itulah terdapat esensi dari batas. Batas di pengaruhi oleh Habitus, Habit, dan Habitat. Ketiganya tak ubahnya lingkaran yang memengaruhi batas ataupun ruang gerak. Baik dari segi intelegensi maupun etika.

Habitus yaitu si anak, perkembangan intelektualnya masih sekitar mengenali benda-denda di sekitarnya yang terlihat, maka bersifat empiris. Pengetahuannya di dasarkan pada indra-indra yang mulai maksimal dirasakannya. Maka jelas terasa sekat-sekat tertentu dalam menjelaskan fenomena yang dialami anak.

Habit yaitu dari pengalaman-pengalaman anak tersebut melihat bintang. Nalurinya menyimpulkan bahwa bintang itu kecil. Jadi ketika menjelaskan kepada anak tersebut bersikap sebijak mungkin. Tidak dibenarkan mematahkan pengetahuan anak begitu saja dengan mengatakan bahwa bintang yang dilihatnya sebenarnya lebih besar dari bulan.

Lalu terkait Habitat. Lingkungan sang anak. Karena anak itu bertempat tinggal di bumi jadi dia melihat bintang tampak kecil. Mungkin beda jika anak itu bertempat tinggal di luar angkasa yang bertetanggaan dengan bintang-bintang (oke, yang ini sedikit absurd haha)

Jadi bisa ditarik suatu benang biru. Bahwa batas sendiri dibatasi oleh batas-batas alamiah. Sekat itu muncul berdasarkan lingkungan yang didiami suatu komunitas. Lalu komunitas itulah yang membuat batas berdasarkan suatu kebiasaan.

Batas sendiri mau tidak mau tetaplah akan ada. Karena bagaimana pun seperti yang dikatakan oleh Rousseau “Manusia dilahirkan merdeka, namun di mana-mana ia dirantai.

Itu berarti seberapapun manusia ingin bebas. Namun ketika dia menempati suatu komunitas. Maka pasti terdapat batas-batas. Jadi jika tidak ingin dibatasi mending hidup sendiri di planet lain.

Jika ditilik dari segi kebermanfaatan,  maka batas yang dimanifestasikan berdasarkan motif-motif kebijaksanaan tentu berpotensi memberi kenyamanan kepada setiap anggota komunitas. Hidup berdampingan jika tanpa adanya rantai yang mengekang akan menghancurkan komunitas itu sendiri. Jadi bisa dijabarkan bahwa batas berperan kuat di situ

Namun dari segi kekurangannya. Bisa disandingkan dengan pemikiran. Karena seperti kita ketahui bahwa pada abad pertengahan di Eropa melarang rakyatnya untuk berpikir yang mengancam eksistensi gereja. Pikiran mereka di rantai hanya sebatas dogma normatif tanpa filosofis.

Seperti yang dialami salah satunya ilmuan Galileo Galilei. Pemikirannya tentang bumi adalah bulat dan matahari sebagai pusat tata surya bertentangan dengan ajaran Aristoteles maupun keyakinan gereja bahwa bumi adalah bulat dan pusat alam semesta. Hal tersebut dianggap sebagai perusak iman dan menentang dogma gereja. Alhasil ia dihukum dengan pengucilan sampai meninggalnya.

Tentu batas seperti itu sangat menjegal pemikiran-pemikiran cemerlang yang seharusnya muncul ke permukaan. Batas untuk berpikir tidaklah relevan jika dibenturkan dengan ilmu pengetahuan. Karena tentu seiring perkembangan zaman teori-teori terdahulu bisa diragukan kebenarannya dengan pengamatan ulang.

Batas adalah suatu keniscayaan. Jika dipandang secara holistik dari suatu komunitas. Namun batas akan mengungkung kebenaran jika dibenturkan dengan pemikiran. Maka lampaui batas itu dengan berpikir radikal, mendalam sampai pada akar dari suatu akar.

****

Namun percayalah, cintaku kepadamu tak berbatas. Karena ketika cinta berbatas, bukanlah cinta. Dan cinta sejati selalu melampaui batas-batas. Batas yang memisahkan. (Oke, abaikan kalimat ini)

Lalu kenapa gambar ilustrasinya anime cewe cantik nan manis? Karena mirip aku kata seseorang. Mungkin lagi pusing tuh orang. Tapi beneran mirip aku kok, satu-satunya yang mirip banget sama aku adalah rambutnya. Ya, rambutnya mirip banget sama rambutku. Hanya saja warna rambutku khas Indonesia.

Oke, alasan sebenarnya karena aku udah biasa ngasih gambar di setiap postingan. Jadi kurang afdhol kalau gak dikasih gambar. Jadi ya terserah aku dong. lagian postingan aku sendiri. Bebaslah mau dikasih gambar apa.

Khikmah Al-Maula
16 Maret 2016

#OneDayOnePost
Tentang Batas
4/ 5
Oleh

Berlangganan via email

Suka dengan postingan di atas? Silakan berlangganan postingan terbaru langsung via email.

39 komentar

Tulis komentar
avatar
16 Maret 2016 pukul 00.38

Filosof odop 2... wkwkw..
Wow.. radikalisme cinta .. biarkan ia bebas.. begitukah..? Hh

Reply
avatar
16 Maret 2016 pukul 01.10

Keren banget ...
Kata Om Kasino "gile lu Ndro"

Reply
avatar
16 Maret 2016 pukul 03.56

hehehehe...aku harus belajar dan mencoba memasukkan gambar...

Reply
avatar
16 Maret 2016 pukul 03.56

hehehehe...aku harus belajar dan mencoba memasukkan gambar...

Reply
avatar
16 Maret 2016 pukul 05.33

Bahwa batas sendiri dibatasi oleh batas-batas alamiah.

aku suka kalimat itu ^^


#tapi net.. berpikir radikaljuga ada batasnya. hehe bukankah segala hal yang berlebihan itu tidak baik? ^^

Reply
avatar
16 Maret 2016 pukul 06.27

Aku ga ngerti malah hihi. Maaf

Reply
avatar
16 Maret 2016 pukul 08.40

berekspresi dengan gambar ya net...hehehe

Reply
avatar
16 Maret 2016 pukul 08.56

Sughoiiii... (ini bahasa Jepang)

Otakku berpikir terus sepanjang membaca tulisanmu, Net.

Bukan aku kan net yg bilang itu mirip kamu??

Reply
avatar
16 Maret 2016 pukul 08.56

Sughoiiii... (ini bahasa Jepang)

Otakku berpikir terus sepanjang membaca tulisanmu, Net.

Bukan aku kan net yg bilang itu mirip kamu??

Reply
avatar
16 Maret 2016 pukul 11.47

Iya, radikal yang sederhana mba :D

Reply
avatar
16 Maret 2016 pukul 11.49

Aku sendiri yang nulis gak terlalu paham, hehe

Reply
avatar
16 Maret 2016 pukul 11.53

Apa tuh artinya?

Bukan, tenang aja mba :D

Reply
avatar
16 Maret 2016 pukul 14.11

Batas akan mengungkung kebenaran jika dibenturkan dengan pemikiran... Wah mntap tuh...

Reply
avatar
16 Maret 2016 pukul 15.36

Hehehe....endingnya bikin tersenyum. Suka-suka aku mau kasih ilustrasi apa

Reply
avatar
16 Maret 2016 pukul 17.40

Btw mbak inet suka anime yaa??

Reply
avatar
16 Maret 2016 pukul 19.22

Akhir tulisan "suka-suka aku dong"

Reply
avatar
16 Maret 2016 pukul 19.22

Akhir tulisan "suka-suka aku dong"

Reply
avatar
16 Maret 2016 pukul 22.27

" ...bertanya tentang kerlap-kerlip bintang.

ada dua pilihan jawaban. Jawaban pertama bahwa bintang itu sebenarnya besar. Mereka adalah matahari bagi planet lain. Memang jawaban tersebut benar adanya. Dan opsi jawaban kedua. Bintang memang kecil. Karena saat di lihat dari bumi tentu bintang terlihat kecil."

(Kerlap-kerlip adalah kata yang menggambarkan suatu keadaan yang tidak konstan, dan orientasinya adalah cahaya. Jika yang ditanyakan oleh si anak adalah tentang kerlap-kerlip bintang, misal pertanyaannya si anak kenapa cahaya (sinar) bintang bisa nampak berkelap-kelip, yang berkelap-kerlip itu hanya cahaya bintang atau cahaya benda lain ?, kenapa dijawab dengan: 1. Bintang sebenarnya besar, 2. Bintang sebenarnya kecil, bukankah yang ditanyakan soal kerlap-kerlipnya bukan soal ukuran ?)

Reply
avatar
16 Maret 2016 pukul 22.28

"Di ilustrasi itulah terdapat esensi dari batas. Batas di pengaruhi oleh Habitus, Habit, dan Habitat. Ketiganya tak ubahnya lingkaran yang memengaruhi batas ataupun ruang gerak. Baik dari segi intelegensi maupun etika"

(Di ilustrasi itu sama sekali belum mencapai esensi dari batas, justru ilustrasi tersebut menjadi suatu yang kontradiktif jika hal itu adalah upaya untuk mencari esensi dari batas. Bintang yang sebenarnya sangat besar bisa terlihat sangat kecil itu berarti suatu kemampuan melampaui batas ukuran, bintang yang besar seharusnya tetap terlihat besar tapi bintang tersebut dengan bantuan jarak dan cahayanya sendiri ia telah melampau batas ukuran. sementara batas yang dipengaruhi oleh habitus, habit dan habitat itu juga belum mampu mencapai esensi dari batas, hal itu hanya bisa menciptakan pintu perspektif yang bisa digasar-geser bukan menciptakan batas, karena batas sendiri adalah batas, sesuatu yang otonom dengan fungsi yang hanya bisa mempengaruhi tanpa bisa dipengaruhi)

Reply
avatar
16 Maret 2016 pukul 22.28

" ...Sekat itu muncul berdasarkan lingkungan yang didiami suatu komunitas. Lalu komunitas itulah yang membuat batas berdasarkan suatu kebiasaan"

(Kebiasaan yang tercipta dalam suatu komunitas tidak bisa disebut batas karena sekat itu masih terlalu fleksibel kapanpun bisa digeser dan dipengaruhi)

Reply
avatar
16 Maret 2016 pukul 22.29

"Batas sendiri mau tidak mau tetaplah akan ada. Karena bagaimana pun seperti yang dikatakan oleh Rousseau “Manusia dilahirkan merdeka, namun di mana-mana ia dirantai"

(Ini adalah paragraf super paradoks, jika batas akan tetap ada berarti kapan ia akan berhenti eksis, sesuatu yang selalu konstan berarti tidak memiliki batas seperti sungai yang yang akan terus mengalir tanpa ada muaranya. Terus manusia merdeka yang di mana-mana dirantai, kita justru tidak menemukan batas di sini padahal kutipan itu untuk menunjukan selalu adanya batas, seharusnya ada suatu titik sebagai batas di mana manusia berhenti dirantai)

Reply
avatar
16 Maret 2016 pukul 22.30

"Itu berarti seberapapun manusia ingin bebas. Namun ketika dia menempati suatu komunitas. Maka pasti terdapat batas-batas. Jadi jika tidak ingin dibatasi mending hidup sendiri di planet lain"

(Paragraf yang ini juga sama dengan paragraf di atasnya: paradoks)

Reply
avatar
16 Maret 2016 pukul 22.31

"Jika ditilik dari segi kebermanfaatan, maka batas yang dimanifestasikan berdasarkan motif-motif kebijaksanaan tentu berpotensi memberi kenyamanan kepada setiap anggota komunitas. Hidup berdampingan jika tanpa adanya rantai yang mengekang akan menghancurkan komunitas itu sendiri. Jadi bisa dijabarkan bahwa batas berperan kuat di situ
&
Namun dari segi kekurangannya. Bisa disandingkan dengan pemikiran. Karena seperti kita ketahui bahwa pada abad pertengahan di Eropa melarang rakyatnya untuk berpikir yang mengancam eksistensi gereja. Pikiran mereka di rantai hanya sebatas dogma normatif tanpa filosofis"

(Contoh keparadoksan manusia: manusia selalu mendamba kebebasan tapi di sisi lain mereka juga sangat menakutinya)

Reply
avatar
16 Maret 2016 pukul 22.31


" ...ajaran Aristoteles maupun keyakinan gereja bahwa bumi adalah BULAT dan pusat alam semesta... "

(Aristoteles memang bilang bumi bulat, tapi otoritas gereja sendiri pada waktu itu masih berkeyakinan bahwa bumi datar, karena masing-masing memiliki persentase kesalahan yang berbeda jadi kalau informasi yang kamu berikan digabung akan terasa sangat oportunis)

LANJUT NANTI... IKLAN DULU.

Reply
avatar
16 Maret 2016 pukul 23.11

Awalnya paham. Lama-lama mulai netes aku, Net. -_-

Untung di bawahnya ngelawak lagi. :D

Tapi makasih lho ilmunya, walau tambah puyeng. :p

Oh iya, gambarnya bener-bener ... nggak nyambung. XD

Reply
avatar
17 Maret 2016 pukul 13.50

Nah itu biar pembacanya mikir sendiri aja tentang pertanyaan anak kecilnya kalo jawabannya gitu...

Dan lagian akukan beropini -_-

Tapi makasih deh udah dikomentarin... makasih banget...

Reply
avatar
17 Maret 2016 pukul 13.51

Iya sengaja gak nyambung ko' :D

Reply
avatar
17 Maret 2016 pukul 15.36

"Tuhan dan Setan adalah satu entitas yang sama",

Begitu kira-kira penggambaranku akan batas.

Batas adalah hal yang super paradoks, super problematis sekaligus super solutif yang implikasinya sangat mempengaruhi kehidupan manusia.

Sebenarnya kata "batas" dalam bahasa manusia tidak akan pernah bisa untuk mewakili makna dari batas (batas yang sesungguhnya batas). Ketika seseorang mengatakan "batas", yang dia sebut sebenarnya tidak mewakili akan batas karena di dalam dirinya sendiri (dalam kata batas) tersimpan suatu paradoks. Kata batas dimanfaatkan manusia sebagai simbol yang memiliki makna akan batas, dan kata batas itu memiliki fungsi yang konstan yang selalu dimaknai sebagai batas, maka ia tidak pernah memiliki batas akan fungsi maknanya (maksud gak Net ?), mungkin analoginya seperti orang yang berteriak-teriak; "Woooiii... Aku sedang diam!!!" , seperti itu.

Batas yang biasa digunakan manusia aku sebut sebagai "Problem X" dan batas yang murni batas aku sebut sebagai "Faktor X"

Batas (Problem X) adalah sumber dari segala keburukan dan tragedi dalam kehidupan manusia, sementara batas murni (Faktor X) hanyalah sesuatu yang tidak terjangkau rasio manusia.

Mempertanyakan batas adalah proyek raksasa, seperti halnya proyek mempertanyakan apa itu "Ada" milik Martin Heidegger...

(Agak lengkapnya nanti bisa baca di postingan aku)

Reply
avatar
17 Maret 2016 pukul 16.49

Gak Gie, aku gak maksud :v

Reply
avatar
17 Maret 2016 pukul 16.53

Deket sini donk Net, mau aku bisiki sesuatu... Hehe

Reply
avatar
17 Maret 2016 pukul 18.00

Gak ah Gie, aku udah tau tipu muslihat kamu -_-

Reply

-Terima kasih telah berkunjung di blog ini. Silahkan tinggalkan kritik, saran untuk perkembangan.