Rabu, 25 Mei 2016

Untukmu aku Menulis

Untukmu aku Menulis

Kenapa Aku menulis?

Ibu, Kau bilang, “Belajarlah pedih akan hidup ini!” setelah khotbah panjangmu yang kudengar dengan hati. Kuanggap itu adalah khotbah, hingga aku tak kuasa berkomentar apa pun. Bibirku kelu, nafasku berat, hatiku sesak. Aku mencoba bertahan agar tak menangis dihadapanmu, kutahan sekuat mungkin.

Maafkan, setelah itu aku mengurung diri di kamar. Aku tak kuat lagi, tersedu tanpa bisa kukendalikan keluarnya air mata. Kau tidak boleh melihatku menangis, aku ingin kau melihatku sebagai anak yang tegar. Bukan anak cengeng. Namun ternyata aku hanya perempuan biasa yang bersenjatakan air mata. Seberapa kutahan tetap saja air mata mengalir deras dipipiku.

Hingga aku terlalu lama di kamar. Kau mungkin khawatir apa yang sedang kulakukan. Kau memanggilku namun tak kuasa aku menjawab. Tangisku makin menjadi-jadi. Tidak mungkin aku menyahut dalam keadaan seperti itu, aku akan ketahuan menangis.

Kau menggedor pintu kamarku. Aku menahan tangisku. Ibu, tenang saja, anakmu ini tidak mungkin bunuh diri, tidak sependek itu pikiranku. Butuh beberapa menit untuk menenangkan diri sampai aku membuka pintu dengan wajah tertunduk.

Ibu, kau bilang aku itu pendiam. Mungkin karena itu terbesit dalam benakmu aku akan melakukan hal-hal bodoh. Sama sekali tidak Ibu. Karakterku memang begini. Kenapa aku pendiam? Karena aku dipertemukan dengan orang-orang yang suka bercerita. Maka rasa yang tertampung di hati hanya bisa kumuntahkan dengan kata-kata, kurangkai menjadi kalimat, dan selanjutnya menjelma paragraf secara bersambung-sambung.

Bukankah aku sudah belajar pedih, Ibu? Kau bilang aku yang paling beruntung diantara kakak-kakakku. Dari segi pendidikan mungkin iya, namun jiwaku begitu rindu. Rindu bersama keluarga utuh. Ketika aku mulai mengenal dunia, satu per satu kakak meninggalkan rumah. Hingga puncaknya Ayah bukan hanya meninggalkan rumah, namun dunia ini. Sejak saat itu aku lebih menghargai arti memiliki setelah ditinggalkan.

Kini hanya ada aku dan kau. Sudah seperti sinetron-sinetron saja hidupku. Kadang aku merasa iri pada kehangatan kebersamaan mereka. Tapi aku harus mencintai duniaku sendiri. Kenapa aku menulis? Karena itulah caraku menghibur diri, menceritakan keluh kesahku. Maaf Ibu, aku tidak bermaksud menyembunyikan apa yang kurasa. Namun cukuplah aku menjadi pendengar keluh-kesahmu akan hidup ini.

Keajaiban demi keajaiban datang dalam perjalananku dari masa ke masa. Keajaiban kerja keras mu, Ibu. Aku bisa mengenal dunia kepenulisan. Walau studi sastra yang kuinginkan tidak terwujud. Barangkali ini adalah ketersesatanku yang baik. Dia mendampingi tiap langkahku. Semua itu berkatmu, wahai Ibu.

Kau tidak tahu apa yang dicita-citakan anakmu ini. Tapi cukuplah tiap aku mencium tanganmu sebelum mencari ilmu, kau doakan aku sukses dalam tiap langkahku. Dan ketika aku sukses kau akan terkejut siapa anakmu ini.


Pada tanggal 25 bulan Mei tahun 2016. Demi kau, Ibu. Dengan rasa takjimku padamu, dengan rasa di kedalaman hatiku, aku mengizinkan diriku menjadi penulis dengan menerbitkan minimal satu buku pada tanggal 03 bulan November tahun 2018. Dan menjadikannya best seller atau lebih baik dari itu.

Dari kedalaman kalbu.
Aku, anakmu.
Inet Bean.
Untukmu aku Menulis
4/ 5
Oleh

Berlangganan via email

Suka dengan postingan di atas? Silakan berlangganan postingan terbaru langsung via email.

1 komentar:

Tulis komentar

-Terima kasih telah berkunjung di blog ini. Silahkan tinggalkan kritik, saran untuk perkembangan.