Selasa, 24 Mei 2016

Blue Rose (Lemping 9)

Blue Rose (Lemping 9)


Bagaimana jika ingatan manusia abadi? Memorinya tidak timbul tenggelam. Kenangan dari masih berada di kandungan hingga lahir, balita, remaja, dewasa, sampai akhir hidup ingatannya tak timbul tenggelam. Mungkin aku tidak akan begini. Tapi apa? Nyatanya tiap aku berusaha menggali masa laluku yang ada hanya semut-semut ganas pengabur memori.

Telah rusakkah otakku? Orang bilang otak manusia adalah sebaik-baik memori. Jadi kupaksakan otak ini mencari-cari kenangan siapa yang berada disampingku ketika aku menangis di dunia ini untuk pertama kalinya. Hasilnya nihil, semua memori itu seperti telah terhapus habis. Tidak tersisa. Bukankah ini sebuah ironi?

Bahkan semua ini terasa paradoksal bagiku. otak, kenangan, memori, masa lalu, masa depan, sama saja. Tetap dan masih misteri. Masa lalu yang sejatinya sudah dilalui dan masa depan yang belum dilalui. Keduanya menjadi misteri, bagiku.

Apa yang sedang kulakukan ini adalah pencarian masa laluku. Aku mencari masa lalu pada masa yang terus berlaju. Bukankah ini suatu kelucuan? Ingin kutertawakan saja diri ini. Tapi rasaku telah lebur semuanya. Bagiku sedih dan bahagia, kini tak ada bedanya. Hambar saja yang kurasa.

Pada akhirnya setelah berperang dengan otakku sendiri, aku memilih bersahabat saja dengannya. ‘Hei otak, aku tak akan memaksamu mengingat bagaimana aku terlahir ke dunia ini, bukankah saat terbangun nanti dunia ini sudah lenyap? Terlupakan!’

Maka setelah berdamai dengan diri sendiri. Kuputuskan untuk berdamai dengan takdir. Takdir yang telah membawaku hingga bermata biru. Biru ini adalah identitasku, bukan hanya sebagai hereditas dari dia yang mewariskan kepadaku.

Aku memang mencarinya karena cinta. Rasa di masa lalu yang terpendam oleh tik-tok jam liar. Cinta yang kulihat pada binar mata Mama. Masihkah dia merasa akan cinta yang terwariskan padaku? Rasa itu termanifestasika di spektrum biru mataku. Ayah.

Sekali lagi kuteguhkan. Pencarian ini bukan karena sekedar formalitas karena aku butuh wali di pernikahanku. Lebih dari sekedar itu. ini adalah perjalanan masa lalu di masa depan. Waktu semakin melesat ke depan. Namun deminya kuseret diriku menuju masa yang telah terpendam dalam ruang penyimpanan kenangan.

Inilah dunia. Ada takdir yang bisa dirubah, ada pula takdir yang tidak bisa ditawar. Karenanya, aku menerima semua ini. Seperti penerimaan rerumputan yang hanyut dalam ritme angin. Bagai air yang menerima lekuk-lekuk aliran sungai. Dan takdir api yang selalu angkuh ke atas.

 “Hei bangun, kita sudah sampai di Pekalongan….” Cowok disebelahku dengan suara pelan. Tentu aku spontan menoleh. Aku tidak tidur, hanya memandang ke arah jendela tepat disebelahku.

“Oke, ayo kita turun,” Perintah cowok itu.

“Kita mau kemana?” tanyaku agak linglung.

“Ke Dieng lah, nanti mampir dulu di rumah pamanku.”

“Ngapain?”

“Ngambil sesuatu. Eh, btw kita belum kenalankan? Namaku Ray, Kau?” Ucapnya sambil menyodorkan tangannya untuk bersalaman.

“Rose,” Sahutku, hanya dengan tersenyum simpul.

Aku kira Pekalongan yang katanya Kota Batik semuanya serba batik. Temboknya batik, pohonnya batik, aspalnya batik, langitnya batik, semuanya batik. Ternyata itu hanya kelebayan ekspetasiku saja. Kota ini tetap kota yang wajar. Tidak seperti pada dongeng-dongeng yang apabila Kota Permen, maka rumahnya terbuat dari permen.

Dieng adalah pegunungan, di sana tidak ada kereta api. Bisa repot kalau kereta api ada di Dieng. Nanti jatuhnya bagai naik roller coaster yang maha dahsyat membuat jantung copot. Makanya sebelum ke Dieng, bermukim dulu di Pekalongan. Baru dari sini menuju Dieng. Welcome Dieng, Kota di atas awan.

Inet Bean
24 Mei 2016

#LanjutanCerbung

#OneDayOnePost
Blue Rose (Lemping 9)
4/ 5
Oleh

Berlangganan via email

Suka dengan postingan di atas? Silakan berlangganan postingan terbaru langsung via email.

2 komentar

Tulis komentar
avatar
25 Mei 2016 pukul 04.06

ayooo inet, lanjutannya masih lama nih kayae

Reply

-Terima kasih telah berkunjung di blog ini. Silahkan tinggalkan kritik, saran untuk perkembangan.