Setelah seminggu mengurung diri.
Aku memutuskan untuk pergi, mencari jejak-jejak tentangku. Aku ingin tahu,
orang seperti apa ayah kandungku yang tidak pernah muncul dihadapan putrinya
selama 21 tahun. Tidak rindukah dia padaku? Atau dia memang tidak peduli
denganku. Baginya aku hanya seonggok buah dari pesakitan. Atau diriku anak
haramkah? Tidak, aku bukan anak haram, Mama bilang aku bukan anak haram. Dan
bukankah tidak ada anak haram?
Seorang diri pergi ketempat yang
sebelumnya tidak pernah ke sana. Mendengar nama Kota itu pun hanya sesekali.
Sudah tepatkah keputusanku untuk pergi sendiri? Ini adalah keputusanku, tapi
sekarang kenapa timbul rasa takut, entah apa yang kutakutkan. Seharusnya aku
tidak keras kepala saat Bang Haris menawarkan dirinya untuk menemaniku.
Setidaknya aku merasa terjaga dan ada teman berbicara.
Kurutukki keputusan yang membuatku
menyesal ini. Tapi beribu kurutukki pun tidak akan merubah keadaan. Aku sudah
duduk di dalam kereta ini. Bahkan naik kereta api pun baru sekali ini
kulakukan. Oke, harusnya aku berdamai saja dengan keputusan gila ini. Menatap
ke depan dan menghadapi sendiri hal-hal yang akan terjadi.
“Di sini belum ada orangnya kan?”
Tanya seseorang yang membuatku menoleh malas. Aku melihatnya sekilas, lalu
mengangguk pelan.
“Wow, baru kali ini aku melihat
mata secantik itu,” ucap cowok berpenampilan seperti seorang pendaki.
Aku tidak menjawab, tidak
berselera menanggapi keterpukauannya pada mataku. Ah, aku jadi ingat, kata
Mama, Ayah kandungku bermata biru, sepertiku. Dan aku harus menemui seseorang
yang bernama Pak Suparto untuk tahu keberadaan ayahku, hanya dia yang tahu. Aku
sempat berpikir mungkin Pak Suparto adalah orang yang sama dengan Pak Parto,
orang yang ditolong Bang Fandi ketika hampir saja terjatuh ke jurang. Tapi,
jika memang iya, rasanya itu adalah keajaiban bagiku.
“Mau kemana?” Tanya cowok itu.
“Wonosobo,” Jawabku tanpa menoleh
kepadanya.
“Wah, sama..., aku juga mau ke
Wonosobo, untuk mendaki sih,”
“Di Gunung apa?” tanyaku mendadak
antusias, memalingkan wajah dari jendela ke kursi sebelahku.
“Gunung Prau, Dieng… kenapa?”
Tanyanya seraya mengendikkan bahunya.
“Aku juga mau ke sana….”
“Kebetulan sekali, kalau gitu kita
bisa ke sana bersama, tapi kamu sendirian?”
“Iya, aku mau mencari seseorang.”
“Kamu mau mendaki sendirian?”
“Kamu juga sendirian.”
“Aku sama temen-temen, cuma mereka
udah di Dieng. Dari pada kamu sendiri, mending gabung aja denganku, bahaya
cewek mendaki sendirian.”
“Sebenarnya aku hanya mau ke
Dieng, tidak mendaki.”
“Oke, kita ke Dieng bersama.”
Mungkin dari pada aku sendirian,
kusetujui saja tawaran cowok asing ini. Lagian tampangnya sepertinya tidak
sadis, lumayan tampang protagonis lah. Mirip Herjunot Ali, hanya saja dia lebih
kuning kulitnya. Sepertinya dari gerak-geriknya juga orang baik-baik, walaupun
agak usil sih. Tapi mungkin itu caranya untuk mengatasi kebekuanku.
Kereta mulai berjalan. Kupandangi
jendela. Melihat pemandangan di luar. Dapatkah aku menemui Ayah kandungku?
Sekarang dia di mana? Mama tidak banyak bercerita tentangnya, dia bilang Pak
Suparto tahu banyak soal Ayah kandungku. Kenapa hidupku jadi serumit ini sih.
Pak Suparto adalah pamanku. Mama
bilang dia memutuskan untuk tinggal di Dieng seorang diri, dia begitu
misterius. Bahkan aku baru tahu, aku mempunyai Paman bernama Suparto ketika aku
mau mencari Ayah. Bukannya Mama tidak mau bercerita tentang Pamanku itu, tapi
dia hanya bingung bagaimana menceritakan tentangnya, sampai akhirnya waktu
tepat pun berpihak.
To be Continue…
13 Mei 2016
Inet Bean
#LanjutanCerbung
#OneDayOnePost