Selasa, 29 November 2016

Hujan di Tengah Malam

http://www.teropongsenayan.com

Oleh: Inet Bean

Hujan di tengah malam adalah kutukan bagi mata-mata yang tak bisa terpejam. Alunan rintikannya menghantarkan pada satu persatu kenangan, lalu membawa pada satu kerinduan.

Adakah kau merasakan kerinduan yang sama? Semacam kerinduan menikmati dinginnya malam yang berselimut sepi. Saat kita muak dengan percikan panas dunia ini. Saat tak bisa kita temukan di siang hari. Saat jiwa-jiwa kebohongan terlelap dalam sunyi.

Dan rinai hujan masih terdengar hingga selarut ini. Jika hujan menjelma menjadi seseorang, maka dia tidak akan mencapku sebagai pendiam. Karena hanya padanya kusampaikan rahasia-rahasiaku.

Ini adalah rahasia terbesarku. Setelah ini, kau bisa menanyakan padanya tentangku. Dia akan menjawabmu, karena kau adalah rahasia keduaku.

Kau tahu? Aku bisa mengerti seseorang hanya dengan respon dari pertanyaanku. Aku mengerti sesuatu yang tulus dan sesuatu yang hanya berselimut ketulusan. Aku mengerti seseorang yang tanpa sadar berbuat jahat. Aku mengerti seseorang yang senang dengan persahabatan. Aku mengerti seseorang yang membenciku. Aku mengerti...

Sampai saat ini, rintikan hujan masih terdengar. Tapi aku tidak cukup mengerti tentangku. Mengapa aku kadang cukup menyenangkan untuk disukai, dan kadang cukup pantas untuk dibenci. Aku berpikir hanya kau yang mengerti.

Tiba-tiba aku ingin mendengar suaramu. Tapi suaramu ternyata sudah ada di ingatanku, aku hanya butuh memilih puisi mana yang ingin kudengar. Hujan sudah reda.

29 November 2016

Kamis, 24 November 2016

Saat Waktu Hanya Ilusi


http://resepmasakanmaut.blogspot.co.id/2016/09/resep-cara-membuat-tempe-mendoan-khas-super-enak-lezat.html


Oleh: Inet Bean

Saat waktu hanya ilusi ketika kita duduk di bawah kejinggaan cahaya mentari, menyerupai lensa yang memotret sebagian tubuh dari arah timur. Sementara deburan ombak seumpama penambah kesyahduan penghapus waktu.

Masih ada satu-dua penjual es kelapa muda, gorengan, mie ayam hingga bakso yang belum menunjukkan tanda-tanda bergeming. Demi melihat raut kelelahan seorang kakek yang setia menunggu pembeli, kau mengajakku ke sana.

Kita berjalan bersisihan, kau memegang tanganku, mengisi di antara jari-jariku, erat. Seakan kau bilang ‘aku akan terus menggenggam tanganmu, sampai kapanpun.’

Lagi pula  kita sudah tahu masalah pada diri kita masing-masing. Penyebab kau pergi dan kenapa aku membiarkanmu pergi begitu saja. Tetapi itu hanya casing luar saja, di belakang itu kita tak kuasa menahan sepi yang sesak.

“Mbah, taseh enten mendoane?” Kau memikirkan mungkin saja kakek itu akan lebih fasih berbahasa Jawa.

“Nggeh, niki taseh,” jawab kakek, tersenyum ramah, tampak guratan-guratan yang seakan berbicara bahwa tiap guratan mewakili tiap zaman. “Sekedap, tak goreng riyen nggeh?”

“Nggeh, Mbah...” Kita membalas senyuman ramahnya

Dari percakapan antara kau dan kakek, aku mengetahui. Namanya Suryadi, biasanya dipanggil Mbah Di. Dulu ia berjualan bersama istrinya, namun sejak dua tahun lalu Mbah Di berjualan sendiri lantaran istrinya meninggal, sementara anak satu-satunya telah menikah dan merantau bersama suaminya di Ibu Kota.

Kau dan Mbah Di sudah tampak akrab walau baru bertemu, seakan kawan lama yang baru berjumpa. Sementara itu aku hanya menyimak, sesekali ikut tersenyum saat keduanya tertawa, memerhatikan jemari Mbah Di yang begitu cekatan membuat mendoan.

Mbah Di  menenggelamkan tempe kira-kira berukuran lima kali lima sentimeter ke wadah berisi adonan dari tepung, daun bawang, garam, dan rempah-rempah lainnya. Dan mengangkatnya untuk kemudian di tenggelamkan dalam minyak goreng panas di wajan.

Tidak perlu menunggu lama, mendoan dan teh panas sudah tersaji di hadapan kita. Karena mendoan memang tidak perlu sampai kering, seakan setengah matang.

“Kau tahu? dulu, Ibuku berasal dari Kota Mendoan,” Kau mengambil satu mendoan yang masih menguarkan kepul asap. ”Kenapa ya? Aku seperti tidak asing dengan Mbah Di? Apakah karena keramahannya atau jangan-jangan dia kakekku?”

Aku tersedak, sementara itu Mbah Di hanya tersenyum ramah seperti tadi, entah dia mendengar pertanyaanmu atau tidak.

#TantanganCerpenKuliner
24 November 2016



Rabu, 23 November 2016

Kopdar dengan Si Gadis Gitar ODOP

Dari hp si Gadis Gitar


Oleh: Inet Bean

Si Gadis Gitar ODOP itu sebenarnya adalah aku, tapi berhubung itu masih dalam rangka salah satu impianku dan aku belum bisa bermain gitar, maka gelar itu akan kuberikan kepada... (jeng jeng jeng.... biar dag dig dug dulu)

Tapi aku yakin sih warga ODOP udah mafhum, tentu saja si Bulek Hacker, jadi udah tahukan? Yups, Heni (Lusi) S Kagie.

Jadi, untuk kopdar alias kopi darat alias bertemu dengan Mbak Heni, bener-bener drama. Betapa tidak? Mbak Heni berulang kali ke Pekalongan tapi baru kali ini kita akhirnya bertemu. Rasanya seperti bertemu dengan teman lama yang terpisahkan, ketemu ketawa-ketiwi muluk.

Beberapa bulan yang lalu Mbak Heni ke Pekalongan dalam rangka menemani temennya yang mau penelitian, gak tahu deh kenapa penelitiannya di Pekalongan, padahal di Pemalang aku kira juga ada anak SMA.

Waktu itu kita mau kopdar, tapi gagal. Karena kita seperti kejar-kejaran. Ketika Mbak Heni ngabari di tempat A, aku pun OTW ke tempat tersebut tapi ternyata Mbak Heni sudah berganti tempat B, begitupun setelahnya ke tempat C, D, sampai Z.

Dan minggu lalu Mbak Heni ke Pekalongan dalam rangka untuk mempresentasikan mars dan hymne ciptaannya bersama Mas Urip dan satu lagi aku lupa. Keren kan si Gadis Gitar ini? Hebat. Empat jempol deh. Sayangnya kami waktu itu belum berjodoh bertemu. (hiks)

Walaupun gak juara pertama, setidaknya juara ketiga. Nah, tadi si Gadis Gitar ini ke Pekalongan lagi tepatnya kampusku, dalam rangka menanda tangani dan mengambil sertifikat kemenangan atas karyanya.

Sebelum bertemu pun aku masih harus towaf di gedung Akademik, padahal jelas-jelas SMS dari Mbak Heni bilangnya di utara Auditorium. Ini murni otakku yang agak konslet gegara baru saja dikerjain dosen (baca: Ngerjain Tugas)

Nah, untungnya aku cepat siuman, jadilah kita bertemu. Ah kitapun berpelukan erat sekali, sampai-sampai seperti ada lem di badan kita. Begitu erat, sampai ditereakin orang-orang, dikira lesbiyan. Eh, enggak. Sebenernya bukan begitu kok, itu murni khayalanku saja.

Yang sebenarnya terjadi adalah, aku liat dari jarak kira-kira lima meter ada coklat-coklat. Ternyata benar itu jilbab coklatnya Mbak Heni, aku pun memanggilnya.

“Mbak Heni...” teriakku.

“Inet...” teriak Mbak Heni.

Kita berlari-lari seperti di sinetron-sinetron yang adegan larinya dipelankan.
Tangan kita berpelukan erat sekali sambil ngakak-ngakak.

Dan tahukah yang dikatakan Mbak Heni terhadapku setelah itu?

“Net, suaramu seksi loh.” (Hening)

NB: Makasih makan-makannya, ciee yang juara. Sekali lagi Makasih amplop putihnya, maksa sih, aku terima deh. Lain kali jangan segan untuk paksa aku lagi yah Mbak Hen? (Becanda-becanda :D)


Dari hp si Gadis Gitar

Dibuang sayang :D

Selasa, 22 November 2016

Saat Dosen Positif Tidak Masuk Kelas

https://plus.google.com/+muhammadrandiazmi/posts/5mwghgAKYiL
Oleh: Inet Bean

Saya hanya ingin menggambarkan saat dosen positif tidak masuk kelas. Hari ini saya ada kelas pagi, dan selalu saja walaupun saya tidak kesiangan, tapi saya selalu buru-buru saat berangkat. Teman saya bilang itu adalah semacam kutukan mahasiswa menjelang semester akhir.

Bahkan senior saya pernah bilang bahwa semester lima ibarat seseorang yang akan tenggelam. Megap-megap seperti ikan kekurangan oksigen. Entah maksudnya apa, mungkin perumpamaan itu dipengaruhi karena kampus kita terletak di pesisir.

Barangkali lima tahun ke depan saya sudah sukses dan akan merindukan saat-saat seperti ini, saat dosen tidak masuk kelas. Dan berterimakasih pada jari-jari yang telah menuliskan suasana tersebut.

Jadi apa yang dilakukan mahasiswa saat dosen positif tidak masuk kelas?

Mahasiswa aktivis akan segera cabut, minggu lalu teman saya bilang, “Syukurlah, bisa jaga stand.”
Dan bulan lalu saya sendiri yang mengatakan hal itu, gini-gini saya adalah aktivis kampus, walau kalau rapat jarang ikut. Mungkin lebih tepatnya, aktipis abal-abal, heuheu...

Mahasiswa selanjutnya adalah yang memanfaatkan kelas sebagai sarana berteduh. Aktivitasnya bermacam-macam, ada yang memenuhi tugas dosen, nonton drama korea, sampai sekadar untuk mengecek sosial media, dua tangan dengan dua hp.

Nah, ada pula mahasiswa agamis, dia menonton siaran dakwah ustadz Yusuf Mansur via You Tube, yang ini benar-benar kenyataan terjadi (emang yang lain gak benar-benar terjadi? Bukan begitu, kadang aku suka berlebihan)

Yang terakhir ya mahasiswa aneh yang mengamati suasana kelas saat dosen positif gak masuk, yaitu mahasiswa yang menuliskan tulisan ini. Heuheuheu...

Mungkin kalian akan berpikiran bahwa saya ini kurang kerjaan. Padahal tugas saya masih banyak, membuat RPP, Power Point, syuting menjadi pendongeng hingga tugas resume makalah satu semester.

Tapi entahlah, saya sedang ingin saja menuliskan hal ini. Bukankah mengerjakan keinginan adalah salah satu tanda seseorang menghargai hidupnya? Di awal pun saya sudah katakan bahwa saya hanya ingin...

NB: Gambar agak gak ada hubungannya dengan tulisan. Karena buru-buru mau masuk ke kelas selanjutnya.

Senin, 21 November 2016

MUNAFIK?

Oleh: Inet Bean

Minggu lalu saya menonton film yang berjudul munafik. Film itu bergenre horor, dengan latar tempat di Malaysia, karena memang berasal dari Malaysia. Tidak seperti film horor dalam negeri yang kerap menonjolkan aura-aura tidak senonoh daripada setannya. Maksud saya, negeri ini film horornya sudah terkontaminasi dengan hal-hal yang menjorok pornografi, erotisme, seksualitas. Oke, walau tidak semua. Tapi banyak.

Film dimulai dari kejadian kecelakaan. Dia adalah seorang ustadz yang dikarunai bisa meruqyah, istrinya meninggal dalam kecelakaan tersebut. Di sisi lain ada seorang perempuan yang hidupnya diganggu oleh setan. Ibu tirinya mengeluhkan keanehannya pada suaminya.

Tapi saya bukannya mau membahas film itu, melainkan letak munafiknya. Walau belum tentu diri saya terhindar dari munafik, setidaknya berusaha untuk menjauhinya.

Dalam film tersebut digambarkan bahwa setan benar-benar sumber kemunafikan bagi manusia. Bagaimana setan memanipulasi, menghasud, menakuti. Mereka melakukannya dengan mengadu manusia. Menghasud manusia yang lemah untuk meruntuhkan keyakinan manusia yang kuat imannya.

Jika dalam dunia nyata wujud-wujud setan terkadang tidak menakutkan, mereka kadang berwujud uang, emas, jabatan, perempuan. Dalam film ini, disuguhkan setan dalam wujud yang setan (barangkali begitulah wujud setan).

Itulah kiranya setan yang berwujud setan. Mereka nyata menakuti manusia dengan kengerian dirinya. Nyata mengatakan akan membawa serta manusia bersamanya, bersanding dengan api-api yang beribu-ribu kali panasnya jika dibandingkan matahari. Yang dalam jarak 149,6 juta km ke bumi saja sudah nyata membuat keluhan-keluhan bertebaran di dinding bbm, fb, twitter dan semakhluk lainnya.

Kalau kata senior saya, Ki dalang Sujiwo Tejo, masyarakat munafik itu lebih hormat pada orang yang gak bilang jancuk dan fuck tapi korupsi, daripada sebaliknya. Jadi munafik itu gimana? Kita tahu, munafik itu orang yang pengucapannya berbeda dengan yang ada di dalam hatinya. Apakah munafik hanya itu saja? di zaman kontemporer ini kita akan menemukan munafik-munafik modern yang terwujud tapi dianggap biasa.

Dulu ketika saya punya pacar (jadi sekarang jomblo?), saya pernah updet status di fb yang menyertakan kata “jancuk”, selang beberapa menit, pacar saya sms, katanya saya ngucap kata saru, saya diceramahi habis-habisan. Padahal bahkan tingkahnya tidak jauh dari kata saru, beda saat pendekatan (bukan curhat ataupun gosip). Makanya saya langsung putuskan saja, babay, ke under world saja kau sanah... heuheuheu.

Oke, saya akan jelaskan asal jancuk yang merujuk pada buku karangan Ki dalang Tejo. Bahwa jancuk itu asli kosakata Surabaya. Artinya Jaran Ngencuk. Dulu pernah dibuatkan seminar di Surabaya, bukan umpatan, cuma salam (jadi saya gak nyaru loh, niat aja kagak). Contoh : jancuk! Nang endi ae kon? (ke mana aja loe?) Muatan emosinya bukan jorok, tapi terkejut ketemu teman. Kalo di bahasa Inggris: where the fuck have you been man? Bukan jorok, tapi surprised.

Tapi jangan digunakan untuk orang tua loh! Ini adalah warning keras. Bisa-bisa kamu akan disihir jadi batu menangis. Gunakanlah untuk waktu dan sikon tertentu, untuk orang yang sebaya dan akrab tahu luar dalammu.

Kata orang, teman yang udah tidak direm lagi kata-katanya saat ngobrol denganmu, itulah sahabat. Ia apa adanya, tidak ada rasa sungkan. Karena itu adalah salah satu barometer hubungan persahabatan.

Jadi munafik itu apa? Ah saya rasa kita sudah tahu munafik itu apa? Yang jadi pertanyaannya adalah bagaimana kita menghindari munafik? Silahkan tanyakan pada rumput yang bergoyang kata Om Ebit G. Ade.

Selasa, 30 Agustus 2016

Kita dan Cappucino Vanilla


Tahukah apa yang kurasa saat meminum segelas dingin Cappucino Vanilla? Kita bertebak rasa ketika itu. Ah, maafkan jika lagi-lagi aku berbicara soal rasa. Dan kini kau terlihat tak tertarik seperti dulu.

Jika kau tanyakan bagaimana malam yang sempurna. Akan kujawab, malam ketika aku bersamamu. Kau melihat mataku dan aku melihat matamu. Selanjutnya kita tertawa bersama. Kita tak mengeluarkan lelucon apapun, tapi bukankah dengan saling menatap seperti itu adalah lelucon bagi kita?

Baiklah, kini kau masih enggan tersenyum. Masih dengan wajah dinginmu itu. Tapi aku tahu di dalam sana, ada ruang hangat penampung senyummu yang hanya terlihat oleh hatiku.

Ketika kuminum Cappucino Vanilla itu hanya dengan sedikit adukan dan kau memandangku, aku pura-pura agar wajahku sebiasa mungkin. Dan kau selalu tahu saat aku menyembunyikan sesuatu.

“Bagaimana rasanya?”

“Dingin.”

Ingatkah kau? Keningmu berkerut, matamu menyelidik, kemudian kita tertawa. Ah, lelucon macam apa ini? Kita adalah pasangan paling aneh di cafe ini. Tak perlu banyak bicara, namun tertawa bersama.

Jika mata hanya untuk kita saja. Tidak untuk saat kita saja saat kau bertanya tentang rasa. Setidaknya mereka harus tahu, kenapa kita tertawa bersama. Rasanya ‘pahit’. Kau bilang ekspresi wajahku lugu tapi agak sombong. Hey, ekspresi macam apa itu? Dasar kau.

Kau tahukan? Aku tidak pernah berbohong. Hanya saja aku menjawab jawaban yang terlihat agak manis daripada aku harus merusak suasana kita dengan berkata pahit, karena yang kurasakan saat bersamamu adalah manis yang pas, sama sekali tidak menyebabkan diabetes.

Persis di depan kita duduk. Ada pasangan lain yang terlihat bahagia sekali dari binar matanya, si wanita bercerita panjang lebar dan si lelaki sesekali menanggapi, lalu mereka tertawa bersama.

‘Mereka pasangan yang wajar,’ batinku. Sedangkan kita, hanya diam. Dan sesekali tertawa yang hanya kita berdua saja yang tahu penyebabnya. Maaf, aku tidak secrewet wanita-wanita kebanyakan.

Kadang aku berpikir, mungkin aku ini seharusnya terlahir sebagai seorang lelaki. Tapi, mungkin keinginan Ibuku untuk memiliki anak perempuan lebih kuat. Jadilah, aku anak perempuan diantara tiga anak laki-lakinya.

“Hei, kenapa kau melamun?”

“Bukankah kita adalah pasangan yang aneh?”

“Kita bukan aneh, tapi unik. Sudah malam, ayo kita pulang.”

Aku mengangguk dan tersenyum. Ketika kulangkahkan kakiku, entah berapa pasang mata yang menatapku dengan tatapan ‘aneh’.

“Sudahlah, kau tahu mata mereka hanya bisa melihat dua Cappucino Vanilla tanpa bisa melihat mataku.”

~Inet Bean
30 Agustus 2016/ 03:07 AM


"Cinta selalu mampu menghadirkan jiwa, walau raga menjadikan jarak yang kadang menyakitkan".

Senin, 29 Agustus 2016

Penulis Baper? Aku atau Kamu juga?

Penulis Baper? Aku atau Kamu juga?

Sebenarnya aku hanya ingin menumpahkan apa yang kurasakan saja. Aku beri tahu, aku menulis ini, saat ini aku sedang di kantor sendirian. Jadi pas sekali momennya untuk menulis. Aku tidak berharap tulisan ini dibaca, tapi aku memang berniat hanya menuangkan perasaanku saja.

Hei siapapun kamu yang baca ini. Kamu tahu? bagaimana sebaiknya perasaan yang digunakan saat mau menulis? senang? sedih? kesal? atau galau?

Mungkin jika hanya untuk menulis sesuai yang dirasakan hati, akan sangat mudah jadinya. Tapi bagaimana jika kamu harus menulis sesuatu yang sangat bertolak belakang dengan apa yang sedang dirasakan?

Tahu hakim kan? Seseorang yang bertugas menghakimi terdakwa di pengadilan. Nah, menghakimi dan menulis tidak jauh beda jika menyangkut perasaan yang dibutuhkan.

Seorang hakim ketika akan menghakimi, perasaannya tidak boleh sedang entah sangat bahagia, sangat sedih, apalagi sangat marah. Dengan kata lain, perasaannya netral, adem ayem, tentrem. 

Kenapa harus begitu? Karena hakim gak boleh BAPER saat menghakimi. Maka dari itu, hal tersebut untuk menghindari hakim baper ataupun sedia jaz hujan sebelum badai. Kan gak lucu juga andai hakim sedang sangat bahagia menghakimi, hukuman yang dijatuhkan ke terdakwa jadi lebih ringan. Begitu pula sebaliknya.

Oke, itu sekilas tentang hakim. Nah, bagaimana dengan penulis?

Penulis juga sama aturannya. Perasaannya saat menulis harus adem, ayem, tentrem. Karena jika tidak, akan seperti ini akibatnya. Tulisannya jadi baper.

Hei kakak2 yang baik, sebenarnya aku tuh sama sekali tidak bermaksud menunda-nunda deadline. Tapi lihatlah perasaanku? Sangat tidak menentu. Kadang pagi bahagia, siang sedih, sore sebel, malam kesel. Ah, udah kek bipolar aja.

Aku tahu tugasku banyak yang molor. Tugas di dunia kampus maupun dunia ODOP. Dan aku sadar akan hal itu. Makanya, aku hanya perlu sedikit waktu (baca: agak banyak) untuk merenung, membaca, dan kemudian menulis.

Oke kembali ke aturan perasaan menulis. Jadi intinya menulis itu harus dapat feelnya. Agar rasa itu ngalir di tulisan dan membuat rasa nyaman saat dibaca.

Cukup deh, aku mau pulang. Ini udah jam 03:59. Tadi kira-kira aku nulis dari jam setengah tiga, mohon maaf kalau ada tulisan yang tidak baku dan tidak aku Italic. Sampai jumpa...

29 Agustus 2016/ 04:02 PM

Minggu, 29 Mei 2016

Menjaring Ide


Ritmik hujan tengah bersimponi ketika aku menulis tulisan ini. Setiap rintiknya membawa rindu, rasa, masa lalu dan sesuatu yang magis. Bagiku hujan selalu magis, karena bisikannya mampu membangunkan kenangan yang lama tertidur.

Karena Hujan pula, aku mampu menjaring ide yang bermunculan di otakku. Mereka berseliweran sambil menyapa manja. Ya, ide itu sungguh manja. Makanya jangan sekali-kali mengabaikannya. Karena sekali diabaikan, dia akan lenyap, menghilang tanpa menyisakan apa pun.

Aku lebih suka mengatakan dengan istilah ‘menjaring ide’. Ibarat ikan di laut. Kita harus tahu kapan dan dimana ikan-ikan berada. Ketika kita sudah tahu waktu dan tempat yang tepat untuk menjaring Ikan. Maka disitulah, kita akan memanen ikan.

Hujan membawa sejuta inspirasi. Dari situ kujaring ide-ide yang menari-nari dalam pandangan imajinerku. Dan hei, aku sudah sudah menjaring mereka. Ini dia…
  1. Kura-kura
  2. Mahasiswa
  3. Ego
  4. Jatuh Cinta
  5. Deadline
  6. Filsafat
  7. Dua Organisasi
  8. Kacamata
  9. Bulan
  10. Hujan 

Kamis, 26 Mei 2016

KURA-KURA BERAGENDA


Sebetulnya harusnya aku menuliskan hasil seminar. Namun karena dirasa butuh permenungan mendalam. Jadi aku tunda aja deh. Biar lebih maksimal penulisannya.

Acara seminar nasional berjalan lancar tanda adanya yang pingsan karena saking terpesonanya dengan Prabu Revolusi, tak ada juga yang kesurupan, ayan, atau lain-lainnya. Adanya paling mereka yang nge-fans artis. Karena aku gak nge-fans, jadi biasa saja lah ya. Biarkan yang hobi selfie berekspresi. Jadi, tadi yang lain asik ngajak selfie Prabu Revolusi, aku malah nonton saja. Haha… lupa tidak aku foto.

Setelah acara seharian tadi, besok masih ada acara yang menyambut. Yaitu acara jalan sehat penghuni-penghuni kampus. Karena organisasiku pers, jadi ditugaskanlah meliput acara tersebut. Selain meliput juga ikut sih, lumayan juga ada doorprizenya, walau aku jarang dapat doorprize, siapa tahu dewi fortuna tetiba menghampiriku. Jadi sambil menyelam minum jus gitulah.

Nah, dilanjutkan rapat keredaksian menbahas tentang tema majalah yang akan diterbitkan. Pasti akan memakan waktu yang lama. Dan itu tandanya besok aku pulang sore bingit lagi, tak jarang maghrib. Makanya nih tubuh jadi letoy, otak jadi penat, maka tulisan curcol inilah yang keluar.

Padahal, malamnya masih ada acara lagi nih. Acara maulid nabi yang diselenggarakan organisasi remaja di kampungku. Seharusnya besok jam sembilan acara gladi bersih, tapi karena ada acara kampus, terpaksa aku tinggalkan. Aku ikutnya pas acara saja, yaitu malamya. Maaf ken, tidak bisa ikut gladi bersih ketua.

Nah, itulah kegiatan yang membuatku lumayan loyo, letoy, lesu, lunglai dan sebagainya. Padet banget agendanya. Kadang ada yang bertanya sebetulnya apa sih yang aku cari dari ikut organisasi? Padahal kan capek, kuliah aja juga sudah capek. Ini malah ditambahi ikut organisasi?

Realita kehidupan mahasiswa saat ini sangat beragam. Meminjam analisis Ricardi seperti dikutip oleh Masrukhi  (2009), dalam konstelasi relasi sosial akan tampak lima wajah mahasiswa sebagai reaksi realitas diri dan sosialnya.

Pertama adalah kelompok idealis konfrontatif, dimana mahasiswa tersebut aktif dalam perjuangannya menentang kemapamanan  melalui aksi demonstrasi.

Kedua, kelompok idealis realistis adalah mahasiwa yang memilih koperatif dalam perjuangannya menentang kemapanan.

Ketiga, kelompok oportunis adalah mahasiswa yang cenderung mendukung pemerintah yang berkuasa.

Keempat adalah kelompok profesional, yang lebih berorientasi pada belajar atau kuliah.

Kelima adalah kelompok rekreatif yang berorientasi pada gaya hidup yang glamour dan menyukai pesta.

Dari survei yang dilakukan di bidang kemahasiswaan (Masrukhi, 2009), wajah terakhir menunjukkan kecenderungan yang tinggi yaitu 90%. Untuk kelompok 1 sampai dengan kelompok 4 berkisar hanya 10%. Namun demikian, kendatipun kelompok idealis persentasinya kecil dibandingkan dengan kelompok yang lain, akan tetapi secara bersama-sama mereka memiliki energi besar, yang disebut collective consciousness.

Organisasi itu penting bagi mahasiswa, Tapi sayangnya mahasiswa sekarang sudah terkapar oleh media sosial.

Melalui organisasi begitu banyak manfaat yang diperoleh. Semoga besok aku tidak cukup lelah untuk menuliskan kenapa sekaligus manfaat organisasi.

Inet Bean
26 Mei 2016

#OneDayOnePost

Rabu, 25 Mei 2016

KURA-KURA SEDANG LETOY


Kura-kura ternyata belum bisa melunasi hutangnya. Yang penting tidak nambah hutang deh. Padahal kura-kura sudah lelah dengan semua ini, aku lelah dipermainkan seperti ini. Lah malah baper.
Aku mau jawab sajalah kenapa kura-kura sampai ngutang?

Pertama, menjelang UAS. Dosen berlomba-lomba memberi tugas yang tidak berperi kemahasiswaan. Udah gitu, aku juga presentasi semua di akhir perkuliahan. Itulah yang menyebabkan kura-kura jadi kewalahan membagi waktu. Ada makalah-makalah yang menumpuk dan juga tugas yang melimpah.

Selain itu, kura-kura juga rapat tentunya. Karena agenda bulan ini dan bulan-bulan setelahnya sangat padat di organisasi kampus yang aku ikuti. Istilah kerennya sih aktivis. Tapi aku adalah aktivis yang elegan, karena tidak menyuarakan dengan retorika lisan, melainkan dengan tulisan. Contohnya dengan tulisan ini aku menggugat hutang. Eh, maksudnya berusaha melunasi hutang.

Dan sekarang-sekarang ini sedang persiapan acara seminar nasional tentang jurnalistik, yaitu Prabu Revolusi. Setelah itu ada acara training leadership. Jadi panitia pula, disamping itu mikirin tugas yang belum kelar. Semua ini benar-benar membuatku senang aja deh, karena toh emang itu sudah menjadi konsekuensi aktivis, cieh aktivis.

Besok adalah acara seminarnya, jika aku bisa mendengarkan tanpa adanya gangguan, pasti aku rangkumkan deh materinya, semoga bermanfaat, terutama bagi yang tidak tahu bagaimana menyikapi media yang dewasa ini pemberitaannya kadang berbeda-beda antar media. Karena temanya sadar atau terkapar media. Wuih, agak serem gimana gituh ya…

Media, dewasa ini memang tidak bisa dipercaya 100% keakuratannya. Padahal media esensinya sebagai wadah penyampai informasi untuk rakyat. Namun justru sekarang media terasa kabur, karena media yang satu dengan yang lain tak jarang terindikasi berseberangan.

Oke, kembali lagi ke kura-kura. Sesuai judulnya. Kura-kura sedang letoy, soalnya tadi pulang petang dari kampus, untuk gladi bersih acara besok. Besok kura-kura harus berangkat pagi juga. Maka dari itu, sebaiknya kura-kura segera tidur. Agar badan lebih fit besok.

Maka dari itu, aku akhiri tulisan ini dengan suatu puisi, entah aku rasanya sedang ingin berpuisi….

Alunan Malam

Hitam kemeja meluruskan jalan
Kelam berderu bersama hening
Kian alunan musik jiwa hakikat
Esok kan lebih berembun berendah
Menyatu dengan merah muda

Bisikmu mawar merah dan melati putih
Rasaku berselimut hangat kasih
Biar saja suara hentakan mengabur
Namun jiwa kita membahasakan hati
Resah kan memudar bersama purnama
Hakikat kan menuntunnya

Inet Bean
25 Mei 2016


#OneDayOnePost

Untukmu aku Menulis

Kenapa Aku menulis?

Ibu, Kau bilang, “Belajarlah pedih akan hidup ini!” setelah khotbah panjangmu yang kudengar dengan hati. Kuanggap itu adalah khotbah, hingga aku tak kuasa berkomentar apa pun. Bibirku kelu, nafasku berat, hatiku sesak. Aku mencoba bertahan agar tak menangis dihadapanmu, kutahan sekuat mungkin.

Maafkan, setelah itu aku mengurung diri di kamar. Aku tak kuat lagi, tersedu tanpa bisa kukendalikan keluarnya air mata. Kau tidak boleh melihatku menangis, aku ingin kau melihatku sebagai anak yang tegar. Bukan anak cengeng. Namun ternyata aku hanya perempuan biasa yang bersenjatakan air mata. Seberapa kutahan tetap saja air mata mengalir deras dipipiku.

Hingga aku terlalu lama di kamar. Kau mungkin khawatir apa yang sedang kulakukan. Kau memanggilku namun tak kuasa aku menjawab. Tangisku makin menjadi-jadi. Tidak mungkin aku menyahut dalam keadaan seperti itu, aku akan ketahuan menangis.

Kau menggedor pintu kamarku. Aku menahan tangisku. Ibu, tenang saja, anakmu ini tidak mungkin bunuh diri, tidak sependek itu pikiranku. Butuh beberapa menit untuk menenangkan diri sampai aku membuka pintu dengan wajah tertunduk.

Ibu, kau bilang aku itu pendiam. Mungkin karena itu terbesit dalam benakmu aku akan melakukan hal-hal bodoh. Sama sekali tidak Ibu. Karakterku memang begini. Kenapa aku pendiam? Karena aku dipertemukan dengan orang-orang yang suka bercerita. Maka rasa yang tertampung di hati hanya bisa kumuntahkan dengan kata-kata, kurangkai menjadi kalimat, dan selanjutnya menjelma paragraf secara bersambung-sambung.

Bukankah aku sudah belajar pedih, Ibu? Kau bilang aku yang paling beruntung diantara kakak-kakakku. Dari segi pendidikan mungkin iya, namun jiwaku begitu rindu. Rindu bersama keluarga utuh. Ketika aku mulai mengenal dunia, satu per satu kakak meninggalkan rumah. Hingga puncaknya Ayah bukan hanya meninggalkan rumah, namun dunia ini. Sejak saat itu aku lebih menghargai arti memiliki setelah ditinggalkan.

Kini hanya ada aku dan kau. Sudah seperti sinetron-sinetron saja hidupku. Kadang aku merasa iri pada kehangatan kebersamaan mereka. Tapi aku harus mencintai duniaku sendiri. Kenapa aku menulis? Karena itulah caraku menghibur diri, menceritakan keluh kesahku. Maaf Ibu, aku tidak bermaksud menyembunyikan apa yang kurasa. Namun cukuplah aku menjadi pendengar keluh-kesahmu akan hidup ini.

Keajaiban demi keajaiban datang dalam perjalananku dari masa ke masa. Keajaiban kerja keras mu, Ibu. Aku bisa mengenal dunia kepenulisan. Walau studi sastra yang kuinginkan tidak terwujud. Barangkali ini adalah ketersesatanku yang baik. Dia mendampingi tiap langkahku. Semua itu berkatmu, wahai Ibu.

Kau tidak tahu apa yang dicita-citakan anakmu ini. Tapi cukuplah tiap aku mencium tanganmu sebelum mencari ilmu, kau doakan aku sukses dalam tiap langkahku. Dan ketika aku sukses kau akan terkejut siapa anakmu ini.


Pada tanggal 25 bulan Mei tahun 2016. Demi kau, Ibu. Dengan rasa takjimku padamu, dengan rasa di kedalaman hatiku, aku mengizinkan diriku menjadi penulis dengan menerbitkan minimal satu buku pada tanggal 03 bulan November tahun 2018. Dan menjadikannya best seller atau lebih baik dari itu.

Dari kedalaman kalbu.
Aku, anakmu.
Inet Bean.

Selasa, 24 Mei 2016

Blue Rose (Lemping 9)


Bagaimana jika ingatan manusia abadi? Memorinya tidak timbul tenggelam. Kenangan dari masih berada di kandungan hingga lahir, balita, remaja, dewasa, sampai akhir hidup ingatannya tak timbul tenggelam. Mungkin aku tidak akan begini. Tapi apa? Nyatanya tiap aku berusaha menggali masa laluku yang ada hanya semut-semut ganas pengabur memori.

Telah rusakkah otakku? Orang bilang otak manusia adalah sebaik-baik memori. Jadi kupaksakan otak ini mencari-cari kenangan siapa yang berada disampingku ketika aku menangis di dunia ini untuk pertama kalinya. Hasilnya nihil, semua memori itu seperti telah terhapus habis. Tidak tersisa. Bukankah ini sebuah ironi?

Bahkan semua ini terasa paradoksal bagiku. otak, kenangan, memori, masa lalu, masa depan, sama saja. Tetap dan masih misteri. Masa lalu yang sejatinya sudah dilalui dan masa depan yang belum dilalui. Keduanya menjadi misteri, bagiku.

Apa yang sedang kulakukan ini adalah pencarian masa laluku. Aku mencari masa lalu pada masa yang terus berlaju. Bukankah ini suatu kelucuan? Ingin kutertawakan saja diri ini. Tapi rasaku telah lebur semuanya. Bagiku sedih dan bahagia, kini tak ada bedanya. Hambar saja yang kurasa.

Pada akhirnya setelah berperang dengan otakku sendiri, aku memilih bersahabat saja dengannya. ‘Hei otak, aku tak akan memaksamu mengingat bagaimana aku terlahir ke dunia ini, bukankah saat terbangun nanti dunia ini sudah lenyap? Terlupakan!’

Maka setelah berdamai dengan diri sendiri. Kuputuskan untuk berdamai dengan takdir. Takdir yang telah membawaku hingga bermata biru. Biru ini adalah identitasku, bukan hanya sebagai hereditas dari dia yang mewariskan kepadaku.

Aku memang mencarinya karena cinta. Rasa di masa lalu yang terpendam oleh tik-tok jam liar. Cinta yang kulihat pada binar mata Mama. Masihkah dia merasa akan cinta yang terwariskan padaku? Rasa itu termanifestasika di spektrum biru mataku. Ayah.

Sekali lagi kuteguhkan. Pencarian ini bukan karena sekedar formalitas karena aku butuh wali di pernikahanku. Lebih dari sekedar itu. ini adalah perjalanan masa lalu di masa depan. Waktu semakin melesat ke depan. Namun deminya kuseret diriku menuju masa yang telah terpendam dalam ruang penyimpanan kenangan.

Inilah dunia. Ada takdir yang bisa dirubah, ada pula takdir yang tidak bisa ditawar. Karenanya, aku menerima semua ini. Seperti penerimaan rerumputan yang hanyut dalam ritme angin. Bagai air yang menerima lekuk-lekuk aliran sungai. Dan takdir api yang selalu angkuh ke atas.

 “Hei bangun, kita sudah sampai di Pekalongan….” Cowok disebelahku dengan suara pelan. Tentu aku spontan menoleh. Aku tidak tidur, hanya memandang ke arah jendela tepat disebelahku.

“Oke, ayo kita turun,” Perintah cowok itu.

“Kita mau kemana?” tanyaku agak linglung.

“Ke Dieng lah, nanti mampir dulu di rumah pamanku.”

“Ngapain?”

“Ngambil sesuatu. Eh, btw kita belum kenalankan? Namaku Ray, Kau?” Ucapnya sambil menyodorkan tangannya untuk bersalaman.

“Rose,” Sahutku, hanya dengan tersenyum simpul.

Aku kira Pekalongan yang katanya Kota Batik semuanya serba batik. Temboknya batik, pohonnya batik, aspalnya batik, langitnya batik, semuanya batik. Ternyata itu hanya kelebayan ekspetasiku saja. Kota ini tetap kota yang wajar. Tidak seperti pada dongeng-dongeng yang apabila Kota Permen, maka rumahnya terbuat dari permen.

Dieng adalah pegunungan, di sana tidak ada kereta api. Bisa repot kalau kereta api ada di Dieng. Nanti jatuhnya bagai naik roller coaster yang maha dahsyat membuat jantung copot. Makanya sebelum ke Dieng, bermukim dulu di Pekalongan. Baru dari sini menuju Dieng. Welcome Dieng, Kota di atas awan.

Inet Bean
24 Mei 2016

#LanjutanCerbung

#OneDayOnePost

Senin, 23 Mei 2016

KURA-KURA NGUTANG

http://sikodokpesek.blogspot.com/2015_12_01_archive.html

Jadi dalam rangka melunasi hutang yang menumpuk, akan aku mulai dari melunasi hutang yang bahula alias terdahulu tentang kegiatan sehari-hariku. Sekaligus sebagai penjawab kenapa diriku sampai berhurang ria. Padahal utang yang menumpuk menyebabkan ketagihan, eh maksudnya dihantui tagihan.

Bicara mengenai tagihan. Hidupku gak jauh-jauh dari tagih-menagih. Karena hidup tanpa tagihan bagai hape jomblo yang sepi bagai kuburan. Sepi, sunyi, sendiri, aku benci. Jadi kuputuskan untuk berkecimpung di dunia tagihan. Agar hape ini ada notifikasi, walau itu tagihan dari operator agar mengisi ulang kuota.

Aku Adalah Kura-Kura.

Jika ditanya kegiatan sehari-hari ya kurang lebihnya jawabku kura-kura alias kuliah-rapat kuliah-rapat.  Jadi seorang Inet itu suka mencoba hal-hal baru. Apalagi yang menantang, memacu adrenalin, bikin dag dig dug, lah aku ngomongin apa sih?

Oke, sudah tahu maksud kura-kura kan? Jadi bukan binatang kura-kura, melainkan suatu akronim. Tapi kalau diamati, aku emang kek kura-kura deh, karena kura-kura itu sepertinya pemalas, bukan sih sebenernya kura-kura itu lambat. Nah, iya aku sepertinya lambat kalau tidak dipaksa cepat, jadi aku harus melawan kelambatanku itu dengan menyeburkan diri dalam ranah tagihan.

Karena aku lambat dan sedikit pemalas. Akhirnya terjebak dalam ranah hutang di ODOP. Apakah aku kalah dengan kelambatanku? Sama sekali tidak pernah terlintas dalam benakku untuk hutang, karena kalau sudah hutang aku jadi terbuai, terlena, terpuruk seperti ini. Help me …, help me, please…

Pernah nonton film animasi Turbo? Di situ dikisahkan seorang siput yang kita tahu jalannya lambat bermimpi ingin jadi seorang pembalap. Wait, tadi aku menyebut seorang siput? Koreksi, siput hewan ya, bukan orang.

Siput itu setiap hari berlatih agar bisa berjalan lebih cepat, tanpa rasa lelah dan letih. Namun, siput-siput lainnya hanya menertawakannya, bahkan menganggapnya gila. Lagian impiannya tinggi banget sih, pingin jadi pembalap. Haduh put, siput…

Sampai pada suatu hari siput itu menyendiri di malam hari. Dia menonton pertandingan balapan mobil liar. Hingga entah bagaimana, dia ada di salah satu mobil balap tersebut. Pada saat mobil itu melaju dengan kecepatan super, karena ada suatu cairan di mesin mobil yang menyebabkannya berpacu sangat cepat. Siput terjebak jatuh ke dalam cairan di mesin mobil.

Esoknya, tahukah apa yang terjadi? Siput itu mati. Bagaimana kalau akhirnya mati? Kecewa kah rasanya? Oke, jadi yang sebenarnya terjadi, impian siput itu terwujud. Jalannya secepat cahaya, efek dari percampuran gen siput dengan cairan mesin mobil balap. Dan, akhirnya siput itu bisa mengikuti lomba kejuaraan mobil balap internasional. Aneh emang, namanya juga film.

Setidaknya kita bisa mengambil hal yang sangat indah dari film itu. Oh ya, nama siput itu adalah Turbo, sesuai nama filmnya. Bagi yang mau nonton silahkan download sendiri. Jika melihat perjuangan dari siput itu yang berusaha melawan takdir. Memang lucu, sudah kodratnya lambat, tapi berkat impiannya yang kuat, akhirnya terwujud juga walau datang dari sudut yang tidak disangka-sangka.

Mungkin saat ini aku hanyalah siput yang bermimpi jadi pembalap. Berusaha melawan takdir lambat dengan tagihan-tagihan. Namun, suatu saat nanti. Aku yakin akan datang keajaiban dari sudut-sudut yang belum kuketahui.

Eh, ini jadi membahas siput. Padahal kan judulnya Kura-kura Ngutang?
Aku, Kura-Kura Ngutang…, Yang bermimpi melunasi hutang dulu deh…

Akankah Kura-Kura melunasi utang?
Apa sih yang dirapatkan Kura-kura, sampai ngutang?

Inet Bean
23 Mei 2016

#SemangatBayarUtang

#OneDayOnePost

Jumat, 13 Mei 2016

Blue Rose (Lemping 8)


Setelah seminggu mengurung diri. Aku memutuskan untuk pergi, mencari jejak-jejak tentangku. Aku ingin tahu, orang seperti apa ayah kandungku yang tidak pernah muncul dihadapan putrinya selama 21 tahun. Tidak rindukah dia padaku? Atau dia memang tidak peduli denganku. Baginya aku hanya seonggok buah dari pesakitan. Atau diriku anak haramkah? Tidak, aku bukan anak haram, Mama bilang aku bukan anak haram. Dan bukankah tidak ada anak haram?

Seorang diri pergi ketempat yang sebelumnya tidak pernah ke sana. Mendengar nama Kota itu pun hanya sesekali. Sudah tepatkah keputusanku untuk pergi sendiri? Ini adalah keputusanku, tapi sekarang kenapa timbul rasa takut, entah apa yang kutakutkan. Seharusnya aku tidak keras kepala saat Bang Haris menawarkan dirinya untuk menemaniku. Setidaknya aku merasa terjaga dan ada teman berbicara.

Kurutukki keputusan yang membuatku menyesal ini. Tapi beribu kurutukki pun tidak akan merubah keadaan. Aku sudah duduk di dalam kereta ini. Bahkan naik kereta api pun baru sekali ini kulakukan. Oke, harusnya aku berdamai saja dengan keputusan gila ini. Menatap ke depan dan menghadapi sendiri hal-hal yang akan terjadi.

“Di sini belum ada orangnya kan?” Tanya seseorang yang membuatku menoleh malas. Aku melihatnya sekilas, lalu mengangguk pelan.

“Wow, baru kali ini aku melihat mata secantik itu,” ucap cowok berpenampilan seperti seorang pendaki.

Aku tidak menjawab, tidak berselera menanggapi keterpukauannya pada mataku. Ah, aku jadi ingat, kata Mama, Ayah kandungku bermata biru, sepertiku. Dan aku harus menemui seseorang yang bernama Pak Suparto untuk tahu keberadaan ayahku, hanya dia yang tahu. Aku sempat berpikir mungkin Pak Suparto adalah orang yang sama dengan Pak Parto, orang yang ditolong Bang Fandi ketika hampir saja terjatuh ke jurang. Tapi, jika memang iya, rasanya itu adalah keajaiban bagiku.

“Mau kemana?” Tanya cowok itu.

“Wonosobo,” Jawabku tanpa menoleh kepadanya.

“Wah, sama..., aku juga mau ke Wonosobo, untuk mendaki sih,”

“Di Gunung apa?” tanyaku mendadak antusias, memalingkan wajah dari jendela ke kursi sebelahku.

“Gunung Prau, Dieng… kenapa?” Tanyanya seraya mengendikkan bahunya.

“Aku juga mau ke sana….”

“Kebetulan sekali, kalau gitu kita bisa ke sana bersama, tapi kamu sendirian?”

“Iya, aku mau mencari seseorang.”

“Kamu mau mendaki sendirian?”

“Kamu juga sendirian.”

“Aku sama temen-temen, cuma mereka udah di Dieng. Dari pada kamu sendiri, mending gabung aja denganku, bahaya cewek mendaki sendirian.”

“Sebenarnya aku hanya mau ke Dieng, tidak mendaki.”

“Oke, kita ke Dieng bersama.”

Mungkin dari pada aku sendirian, kusetujui saja tawaran cowok asing ini. Lagian tampangnya sepertinya tidak sadis, lumayan tampang protagonis lah. Mirip Herjunot Ali, hanya saja dia lebih kuning kulitnya. Sepertinya dari gerak-geriknya juga orang baik-baik, walaupun agak usil sih. Tapi mungkin itu caranya untuk mengatasi kebekuanku.

Kereta mulai berjalan. Kupandangi jendela. Melihat pemandangan di luar. Dapatkah aku menemui Ayah kandungku? Sekarang dia di mana? Mama tidak banyak bercerita tentangnya, dia bilang Pak Suparto tahu banyak soal Ayah kandungku. Kenapa hidupku jadi serumit ini sih.

Pak Suparto adalah pamanku. Mama bilang dia memutuskan untuk tinggal di Dieng seorang diri, dia begitu misterius. Bahkan aku baru tahu, aku mempunyai Paman bernama Suparto ketika aku mau mencari Ayah. Bukannya Mama tidak mau bercerita tentang Pamanku itu, tapi dia hanya bingung bagaimana menceritakan tentangnya, sampai akhirnya waktu tepat pun berpihak.

To be Continue…

13 Mei 2016
Inet Bean

#LanjutanCerbung
#OneDayOnePost


Blue Rose ( Lemping 7)


“Kau tahu Rose? Ayah sangat menyayangimu, kau adalah anak gadis Ayah. Tapi mungkin sudah saatnya kau tau rahasia ini, walau begitu, jangan pernah berubah pada Ayah. Ayah mohon kepadamu…” suara berat Ayah tertahan.

“Ada apa Yah? Katakan saja.”

“Ayah bukan Ayah kandung kamu, Rose,” Ayah tak kuasa memandangku, dia menyembunyikan wajah sedihnya.

Begitu mendengar kalimat itu aku seperti orang ling-lung, tenagaku berhasil meluruh secara sempurna. Dunia seakan terbalik. Bagai baru terbangun dari mimpi indah. Atau mungkin ini adalah mimpi burukku.

“Rose…”
“Rose…”

Aku menunduk, nafasku tersengal. Kudengar Mama dan Ayah memanggilku pelan. Tak kuhiraukan mereka. Aku belum bisa menguasai diriku yang bagai granat siap meledak. Apakah aku harus bertanya lalu siapa Ayah kandungku? Kenapa baru dikasih tahu sekarang? Atau kenapa aku bisa di sini? Aku harus bagaimana?

“Lalu siapa orang tua kandungku?” Hanya kalimat itu yang keluar dari mulutku.

“Ayah emang bukan Ayah kandung kamu, tapi Mama adalah Mama kandungmu Sayang…”  Aku didekap Mama.

“Ayah memberi tahu ini karena mungkin Ayah tidak bisa menjadi wali pernikahanmu, tapi Ayah tetaplah Ayahmu Rose, Ayah sangat menyayangimu.”

“Rose tidak paham dengan semua ini, bagaimana dengan Bang Haris dan Juna? Rose tidak sanggup mendengar apa-apa lagi. Rose pamit ke kamar, Yah, Ma…” tanpa menunggu persetujuan, aku melenggang dengan segera ke kamar. Mungkin saat ini yang kubutuhkan menyendiri.

Hampir bersamaan dengan aku ke kamar, Bang Haris menghampiri Ayah dan Mama. Terdengar keributan kecil sebelum hening, entah mereka meributkan apa. Tak jelas kudengar.

“Rose, buka pintunya Rose, Bang Haris mau bicara…” Bang Haris setengah berteriak di depan pintu kamarku, serta menggedor pintu.

Aku sengaja tidak merespon. Hatiku sedang kacau. Lebih baik kuredamkan dulu api dihatiku. Maafkan Rose Bang. Bukannya Rose tidak mau bicara sama Abang. Tapi Rose hanya butuh sendiri saat ini.

***
Terhitung 31 jam 20 menit sejak aku masuk kamar. Selama itu bukannya tidak ada yang menyuruhku keluar. Dari mulai Mama, Ayah, Bang Haris dan Juna berusaha membujukku keluar untuk makan. Mungkin aku terlalalu egois hingga mereka sama sekali tak kurespon. Aku hanya diam di pembaringanku. Rasa lapar terkalahkan oleh rasa sesak di hati ini.

“Rose, ini Bang Fandi…. Buka pintunya Rose….” Aku yakin, pasti Bang Haris yang memberi tahu Bang Fandi tentang masalah ini. Resek banget sih, nambahin hatiku dongkol.

Aku tetap diam tak merespon. Lalu Bang Fandi mulai menggedor pintu, “Rose, Abang hitung tiga kali, kalau kamu tidak mau buka juga, Abang dobrak pintu ini!”

“Satu…. Dua…. Ti….”

Segera kubuka pintu dengan wajah tertunduk. Mama menghambur memelukku, erat sekali tanpa kubalas pelukannya. Pundakku terasa basah diguyur kesedihan Mama. Tak terasa aku juga menumpahkan butiran hangat di pundaknya.

“Ma, siapa Ayah kandung Rose?” bisikku pelan.

“Mama akan ceritakan semuanya, tapi kamu harus makan dulu…,” sahut Mama dengan sesenggukan.
Tatapan mataku dan Bang Fandi bertemu. Terlihat sorot matanya seakan ikut sedih melihat keadaanku, kita hanya beradu hati, hingga merasakan tanpa adanya perkataan. Lalu seketika kutundukkan kembali wajahku.

To be Continue…

13 Mei 2016
Inet Bean

#LanjutanCerbung
#OneDayOnePost